tirto.id - “Indonesia termasuk negara dengan polusi terkotor di dunia!”
Ucapan tersebut keluar dari mulut Atta Halilintar yang memakai blazer dan bandana berwarna hitam. Dia didaulat menjadi Presiden Motor Listrik Indonesia, pada awal Maret lalu. Untuk posisi itu, Atta ditunjuk langsung oleh Bambang Soesatyo (Bamsoet), politikus Partai Golkar yang menjabat sebagai ketua umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) sekaligus ketua MPR RI.
“Dengan adanya gerakan mobil listrik, motor listrik, menurutku,” lanjut Atta. “ini gerakan yang bagus banget.”
Kendati sebelumnya tak pernah mencoba motor listrik, Atta mengaku siap menerima jabatan dari Bamsoet tersebut. Sebab menurutnya, kendaraan listrik banyak memberikan keuntungan ke masyarakat Indonesia, terutama dari sisi finansial. Kata dia, masyarakat tak perlu lagi membeli bensin atau ganti oli secara rutin.
Apa yang dibicarakan Atta kurang lebih senada dengan yang dipromosikan oleh Bamsoet satu bulan sebelumnya. Dia mengklaim akan banyak kemudahan yang didapat jika masyarakat mau berpindah ke kendaraan listrik. Mulai dari diskon listrik, parkir gratis, hingga bebas ganjil-genap.
“Kami ingin mendorong anak-anak bangsa yang memiliki motor berbahan baku fosil atau BBM, segera berpindah ke listrik,” kata Bamsoet saat mempromosikan motor listrik Bike Smart (BS) Electric lewat program pribadinya di YouTube, Februari lalu.
“Kalau 143 juta pemilik motor di Indonesia beralih ke motor listrik, kalau [pemakaian BBM] sebulan 10 liter, maka ada 14 juta liter BBM yang bisa dihemat. Itu bisa kurangi beban APBN kita. APBN kita sepanjang 2014-2019, hampir Rp700 triliun,” terangnya.
Beberapa tahun belakangan, pria yang akrab disapa Bamsoet itu menjadi salah satu politikus yang gencar mempromosikan kendaraan listrik. Pada 2019, saat masih menjabat sebagai ketua DPR RI, ia datang ke sebuah pameran motor listrik dan sudah mengkampanyekan jargon kendaraan listrik: lebih efisien dan ramah lingkungan pada masa mendatang.
Saat awal penanganan pandemi di Indonesia, Bamsoet menjadi salah satu inisiator konser amal virtual. Salah satu agendanya adalah lelang motor listrik bertanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Motor itu laku dengan harga Rp2,5 miliar. Belakangan, konser itu ramai dikritik karena melanggar protokol kesehatan dan Bamsoet akhirnya meminta maaf.
Tahun ini makin gencar. Sudah beberapa kali Bamsoet bikin agenda yang bersinggungan dengan kendaraan listrik: bertemu Menteri ESDM Arifin Tasrif, menghibahkan mobil listrik Tesla dan 10 motor BS Electric ke Korlantas Polri, hingga menerima kunjungan dari Universitas Budi Luhur (UBL) yang ingin menggelar touring kendaraan listrik Jakarta-Mandalika, pada Agustus mendatang.
Orang-orang berpengaruh seperti Atta dan Bamsoet ini, kampanye melawan polusi sekaligus mempromosikan bisnisnya. Mereka mungkin tak sadar, ada harga yang harus dibayar mahal masyarakat adat dengan adanya mimpi besar kendaraan listrik di Indonesia. Hak hidup mereka diganggu kerusakan lingkungan hidup akibat hulu produksi mobil listrik, pertambangan nikel.
Elite Politik Penguasa Kendaraan Listrik
Ragam manuver Bamsoet menggencarkan program percepatan kendaraan listrik Pemerintah—yang aturannya diteken oleh Jokowi pada 2019—ini segendang sepenarian dengan dirinya yang mempromosikan BS Electric. Motor ini diproduksi oleh PT Bhakti Satia Elektrik. Nama perusahaan itu beberapa kali disebut di laman resmi MPR RI dan akun Instagram milik Bamsoet.
Redaksi Tirto tak menemukan informasi legal mengenai perusahaan itu di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen AHU Kemenkumham). Namun, Bamsoet sendiri yang mengungkap jajaran direksi perusahaan: Abraham Partomoan Pardede, Raffael Kardinal, dan Atta Halilintar.
Atta dan Bamsoet saling mendukung agenda satu sama lain: Atta menemani Bamsoet saat hibah kendaraan listrik ke Polri, Bamsoet mendukung Atta mengakuisisi klub sepakbola, hingga datang menjadi saksi pernikahan Atta.
Singkatnya: ada simbiosis mutualisme antara keduanya.
Nama lain dalam jajaran direksi perusahaan itu adalah Raffael Kardinal. Dia lulusan sarjana hukum dari Universitas Indonesia pada tahun 2018. Dalam akun LinkedIn miliknya tercantum, ia sudah terlibat dalam proyek BS Electric sejak Januari lalu. Raffael merupakan putra dari Robert Joppy Kardinal. Robert adalah salah satu elite Partai Golkar yang masuk di struktur kepengurusan yang sama dengan Bamsoet.
Kembali ke Bamsoet, pada 1 Juni lalu, ia didapuk menjadi ketua dewan pengawas Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo). Asosiasi itu baru dibentuk dua bulan sebelumnya oleh Moeldoko, seorang purnawirawan jenderal yang saat ini menjadi kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Jokowi. Dalam asosiasi itu, Moeldoko menjabat sebagai Ketua Umum.
Hampir senada dengan Bamsoet dan Atta, Moeldoko dalam rapat koordinasi sebagai kepala KSP menyebut kembali narasi besar kendaraan listrik yang digaungkan: bisa mengurangi BBM dan meningkatkan kualitas udara di Indonesia.
Di luar sebagai pejabat pelat merah, Moeldoko memiliki sebuah perusahaan otomotif bernama PT Mobil Anak Bangsa (MAB), dibentuk pada tahun 2017. Perusahaan itu memproduksi ragam kendaraan berbasis listrik seperti bus, mini van, hingga sepeda motor. Jajaran komisaris dan direksi perusahaan itu diisi oleh taipan dan anak-anaknya.
Dalam dokumen PT MAB yang redaksi Tirto dapatkan dari Ditjen AHU Kemenkumham, kursi komisaris utama diduduki oleh Stephen K. Sulistyo. Dia juga menjabat komisaris utama di PT Arkadia Digital Media—induk dari media daring Suara.com. Kursi komisaris lainnya diisi oleh Randy Bimantoro, anak pertama Moeldoko.
Dalam jajaran direksi PT MAB, Leonard menjabat sebagai direktur utama. Dia tercatat sebagai Deputi I KA Badan Intelijen Negara (BIN) dan pernah menjadi komisaris perusahaan pelat merah PT Bukit Asam periode 2012-2017. Perusahaan tambang batu bara milik BUMN itu pernah dituding merusak lingkungan di Muara Enim, Sumatera Selatan. Jabatan direktur lainnya diisi oleh Kelik Irwantono, saat ini ia juga menjabat sekretaris korporat salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang berlokasi di Kalimantan, PT Eagle High Plantations Tbk.
Yang menarik, dua kursi direktur lainnya diisi oleh Arif Rahman dan Joanina Novinda. Arif saat ini menjabat sebagai wakil direktur M-Tani Group, sebuah perusahaan budidaya pertanian yang dibentuk oleh Moeldoko. Joanina adalah anak ke-2 Moeldoko.
Belakangan, ada juga satu perusahaan yang “sowan” ke Bamsoet perkara kendaraan listrik bernama PT Mahakarya Sukma Abadi. Perusahaan itu berniat ingin membuat mobil Maung berbasis listrik, dengan menggandeng IMI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan perusahaan pelat merah PT Pindad. Mobil Maung merupakan salah satu kendaraan off-road andalan PT Pindad—yang kursi komisaris utamanya diduduki oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Andika Perkasa.
Tak mengherankan, mengingat PT Pindad pernah berencana membuat mobil listrik bersama Esemka—perusahaan berbasis di Solo yang produksinya menjadi mobil dinas Jokowi saat menjabat wali kota—beberapa tahun lalu, namun berujung mandek.
PT Mahakarya Sukma Abadi ini tercatat pernah memenangi tender pengadaan barang di Kementerian Pertahanan, pada Maret 2019 lalu. Saat ini, salah satu jabatan komisarisnya diisi oleh Akhmad Hadian Lukita, ia juga menjabat sebagai direktur utama PT Liga Indonesia Baru (LIB).
Reporter Tirto telah mencoba meminta konfirmasi Bamsoet mengenai perusahaan yang terafiliasi dengan program Bike Smart (BS) Electric miliknya. Begitu juga kepada Direktur Utama PT Pindad Abraham Mose, mengenai rencana pembuatan mobil Maung versi listrik. Upaya konfirmasi dilakukan via pesan singkat WhatsApp dan telepon, namun belum ada jawaban.
Reporter Tirto juga telah mencoba mengonfirmasi ke Atta Halilintar terkait produksi mobil listrik di hulu yang merusak lingkungan, melalui pesan pribadi di Instagram, namun tak ada respons. Nomor teleponnya juga tidak aktif. Dua orang manajernya, Shinta dan Andreas, yang nomornya didapat dari akun Instagram Atta Halilintar dan beredar di kalangan wartawan desk selebriti, juga tidak merespons pesan singkat WhatsApp dari reporter Tirto.
Sedangkan Moeldoko membenarkan bahwa PT MAB yang fokus ke kendaraan listrik tersebut adalah miliknya. Dia mengklaim, sudah banyak yang memesan bus listrik dan berpotensi permintaan makin tinggi kedepannya. Namun Moeldoko minim komentar saat ditanya mengenai, kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat adat akibat praktik tambang nikel yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
“Tambang nikel membuat kerusakan lingkungan, terhadap hal ini diperlukan kontrol yang ketat dan tegas bila ada tambang liar dan para pelanggar,” kata Moeldoko kepada reporter Tirto, Sabtu (24/7/2021) lalu.
Buah Simalakama Kendaraan Listrik
“Sebagian komponen masih impor, dinamo dan baterai masih impor. Tapi spion, velg, ban, itu produksi dalam negeri,” kata Bamsoet dalam sebuah program pribadinya di YouTube, Jumat (19/2/2021) lalu.
Sebagai pebisnis kendaraan listrik, apa yang diucapkan Bamsoet bisa diartikan, keluhan pasar mengenai ketidaktersediaan komponen penting dalam perancangan kendaraan listrik. Padahal percepatan migrasi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik, sudah menjadi program nasional yang diteken oleh Presiden Jokowi.
Hal tersebut juga pernah ditegaskan oleh Kementerian Perindustrian, pada tahun 2020. “Baterai merupakan komponen kunci untuk kendaraan listrik dan berkontribusi sekitar 25-40% dari harga kendaraan listrik,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi.
Kekurangan inilah yang menjadi ambisi Menteri BUMN Erick Thohir membentuk sebuah perusahaan baterai bernama PT Industri Baterai Indonesia (IBC) pada Maret lalu. Ini terdiri dari konsorsium empat BUMN: Mining and Industry Indonesia (MIND IND), PT Pertamina, PT PLN, dan PT Aneka Tambang (Antam). Jokowi memberi mandat ke mereka untuk mengelola industri baterai kendaraan bermotor listrik dari hulu hingga hilir.
Pada 29 April 2021, perusahaan itu meneken kerja sama dengan konsorsium baterai LG dari Korea Selatan, dengan nilai investasi 9,8 miliar dolar AS. Bamsoet, sebagai salah satu pebisnis, tentu saja senang dan mendukung rencana pemerintah itu.
Salah satu bahan baku utama yang dibutuhkan oleh baterai kendaraan listrik adalah nikel. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 72 juta ton dari total cadangan dunia 139,4 juta ton atau 52 persen. Sebanyak 90 persen sumber nikel Indonesia tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Masalah utamanya dimulai dari sini.
Kepada reporter Tirto, Jumat (4/6/2021) lalu, Sekretaris Korporat PT Antam Yulan Kustiyan mengaku, pihaknya yang menyuplai kebutuhan nikel itu. Namun praktik pertambangan nikel perusahaan yang berlangsung di Halmahera Timur, Maluku Utara menghancurkan mata pencarian warga dan lingkungan wilayah Maba.
Akibat pengerukan bijih nikel yang masif selama lebih dari 20 tahun: nelayan merugi, penggundulan hutan di pulau-pulau, hingga endapan sendimentasi limbah merusak pesisir pantai dan terumbu karang di Teluk Moronopo. Namun Yulan berdalih: Kami berkomitmen melaksanakan kewajiban untuk melakukan tanggung jawab sosial kepada masyarakat di sekitar wilayah operasi.
Dalam peta industri pertambangan nikel di Indonesia, PT Antam memang tidak sendirian. Di Provinsi Maluku Utara saja, ada total 41 perusahaan tambang mengeruk nikel. Dua di antaranya, PT Alam Raya Abadi dan PT Haltim Mining, limbah korporasi mereka mencemari pemukiman warga sekitar wilayah pertambangan.
Ini juga terjadi di Pulau Sulawesi. Dalam catatan tahunan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan pada 2018 lalu, PT Vale Indonesia dituding merusak hutan dan menyebabkan terjadinya sendimentasi di Danau Mahalona, Sulawesi Selatan. Bantahan mereka, mengklaim telah berkomitmen: membangun ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta memitigasi dampak operasi. PT Vale Indonesia adalah salah satu anak perusahaan dari korporasi multinasional asal Brasil—beberapa waktu lalu sempat ramai dibahas karena salah seorang komisarisnya adalah Rektor Universitas Hasanuddin Makassar.
Kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas air bersih—berdasarkan investigasi Mongabay—juga terjadi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Ini diduga akibat praktik pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Central Omega Resources Industri (CORII) sejak 2018 lalu.
Apalagi, per Januari 2020, Pemerintah sudah melarang seluruh perusahaan tambang untuk melakukan ekspor bijih nikel ke luar Indonesia, terutama bijih nikel dengan kadar rendah. Salah satu alasannya, nikel dengan kadar rendah akan digunakan untuk baterai kendaraan listrik, sesuai dengan program Presiden Jokowi.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di dunia untuk memproduksi baterai lithium ion yaitu, bijih nikel kadar rendah atau yang biasa disebut limonite (kandungan nikel 0,8-1,5%) ini,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono.
Dengan melihat peta seperti ini, akan sulit untuk menyebut proyek kendaraan listrik di Indonesia—yang dilegalkan oleh Presiden Jokowi dan dibisniskan oleh elite politik seperti Bamsoet dan Moeldoko—ramah lingkungan, jika dari hulunya pertambangan nikel sudah sedemikian destruktif.
Laporan terbaru dari Badan Energi Internasional juga menyatakan demikian. Mereka menyebut bahwa kendaraan listrik justru membutuhkan lebih banyak mineral ketimbang kendaraan konvensional biasa. “Sebuah mobil listrik biasa membutuhkan enam kali input mineral dari mobil konvensional,” kata mereka.
Sengkarut masalah di atas masih perkara nikel, belum berbicara dari mana sumber energi yang didapat untuk pasokan listrik PT PLN—salah satu perusahaan konsorsium PT Industri Baterai Indonesia. Institute for Essential Services and Reform (IESR) mencatat selama satu dekade terakhir, 88 persen pasokan listrik berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Per 2018, data IESR menunjukkan porsi batubara mencapai 60 persen, diikuti minyak dan gas bumi di posisi kedua dan ketiga.
Semuanya masih bergantung dengan energi kotor.
Makanya tak heran, Hendro Sangkoyo, peneliti senior bidang energi sekaligus pendiri Sekolah Ekonomika Demokratika (SED) mengatakan, jargon kendaraan listrik yang ramah lingkungan hanya hanya omong kosong belaka. Kata dia, skema tersebut tidak benar-benar terjadi transisi energi—dari energi kotor ke energi bersih.
“Ini tidak terjadi transisi, hanya seperti seolah-olah bertransisi saja menjadi energi bersih. Padahal tidak. Yang terjadi kini adalah energi kotornya tetap,” kata Hendro saat saya temui, Senin (7/7/2021).
“Bahkan ditambah sekarang. Intensitas yang jauh lebih tinggi untuk mengeruk berbagai macam mineral yang akan menjadi sumber-sumber bahan untuk membentuk energi maupun penyimpanan energi baru. Jadi, itu akan menambah energi lagi,” terangnya.
Apalagi, kata Hendro, dengan semakin masifnya program pemerintah merealisasikan kendaraan listrik, itu artinya akan semakin banyak sumber daya alam mineral nikel yang harus dikeruk. Ini untuk memenuhi permintaan pasar sebagai bahan baku baterai.
Dengan demikian akan semakin masif pula praktik pertambangan yang merugikan lingkungan dan masyarakat adat.
“Oleh karenanya, cerita ini tidak bisa diperdebatkan hanya dari sisi harus lebih sopan terhadap manusia dan alam. Itu nonsense. Karena tidak ada pertambangan yang sopan,” ujarnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana