tirto.id - Kedua kaki Anas Pajung tenggelam sampai betis saat berdiri di atas timbunan lumpur dan batu kerikil di area Teluk Moronopo. Butuh tenaga ekstra bagi lelaki berusia 28 tahun ini untuk berjalan pelan-pelan, langkah demi langkah. Sandal yang dipakainya beberapa kali tersangkut ke dalam lumpur.
Ia ingin membuktikan tempatnya berdiri merupakan timbunan sedimentasi limbah perusahaan pelat merah PT Aneka Tambang (Antam) yang sudah menahun. Perusahaan dengan profit bersih Rp1,15 triliun per tahun ini menjalankan operasi pertambangan nikel di atas bukit, yang limbahnya mengalir ke arah pesisir pantai.
Anas berkata limbah lumpur dan batu dari perusahaan yang sudah beroperasi sejak 2006 tersebut mencemari pesisir pantai. Di bawah tempat Anas berdiri, awalnya area terumbu karang yang menjadi rumah bagi para ikan.
Ayah Anas adalah nelayan yang ikut dalam program transmigrasi besar-besaran dari Sulawesi ke Halmahera pada 1980-an. Orangtuanya sering bercerita dahulu banyak nelayan yang mencari ikan di Teluk Moronopo, tapi sekarang sudah lenyap.
“Ikan kembung yang biasa dikonsumsi masyarakat yang jadi primadona,” kata Anas kepada saya, pertengahan Mei lalu. “Sekarang rumah-rumahnya [ikan kembung] sudah hancur.”
Teluk Moronopo berada di Desa Soasangaji, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Butuh waktu lima jam untuk menempuh perjalanan dari ibu kota Provinsi Maluku Utara, Sofifi.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Timur mencatat luasan sedimentasi limbah sudah mencapai empat hektare. Di bagian paling menjorok ke laut, yang berjarak sekitar 100 meter dari sumber pembuangan limbah, timbunan lumpur dan batu setinggi nyaris satu meter dari permukaan pantai.
Pihak perusahaan berupaya menanam bakau untuk menutupi limbah tersebut, tapi Anas mengatakan cara tersebut sia-sia karena limbah terus mengalir. Mangrove pun tak terlihat tumbuh, kontras dengan hutan bakau alami yang sudah lebih dulu hadir.
Di salah satu sudut area bakau yang baru ditanam, ada palang bertuliskan “Konservasi Penanaman Mangrove PT. Antam”, dengan tahun tanam pertama kali pada 2009.
“Jadi mangrove yang diberdayakan akibat dari pencemaran dari limbah ini, sudah beberapa kali upaya mereka tanam, cuma tidak seiring dengan masifnya kegiatan tambang mereka,” kata Anas.
Keadaan yang memburuk itulah yang membuat warga berdemonstrasi menuntut PT Antam untuk menghentikan aktivitas tambangnya pada 7 April 2021. Namun, tak ada respons dari pihak perusahaan.
Operasi pertambangan nikel di atas bukit Teluk Moronopo merupakan bagian dari wilayah konsesi izin pertambangan PT Antam hingga 2040. Luas konsesinya mencapai 39.000 hektare, atau lebih dari setengah wilayah DKI Jakarta. Konsesi itu mencakup Kecamatan Maba dan Kecamatan Kota Maba.
Selain di Teluk Moronopo, PT Antam masih melakukan pengerukan nikel di Tanjung Buli, Desa Wayafli, Kecamatan Maba, sejak 2001; dan di Pulau Pakal, Kecamatan Kota Maba, sejak 2011.
Sebelumnya, PT Antam mengeksploitasi Pulau Gee, Kecamatan Maba, sejak 1998. Saat ini pulau tersebut sudah masuk tahap rehabilitasi, kendati bukti eksploitasi seperti pembukaan lahan masih belum sepenuhnya pulih.
Satu lagi, PT Antam sudah membangun pabrik smelter pemurnian nikel di Tanjung Buli sejak 2012. Izinnya hingga 2032, tapi belum beroperasi saat ini.
Itu artinya, sudah lebih dari dua dekade PT Antam, perusahaan negara yang dibentuk tak lama setelah Orde Baru berdiri, mengeksploitasi dua kecamatan di Kabupaten Halmahera Timur, berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Imbas Limbah Nikel: Ikan Tak Layak Tangkap
Tangan kanan Nur Santi, 32 tahun, tengah menjemur ragam ikan di atas jaring panjang yang ditopang kayu-kayu di depan rumahnya. Tangan kirinya memegang ember hitam berisi ikan teri hingga ikan kembung. Tak jauh dari tempatnya, beberapa lelaki mengumpulkan ikan-ikan yang sudah kering dan dimasukkan ke dalam karung-karung untuk siap dijual.
Santi, orang Sangir Talaud, Sulawesi Utara, merantau ke Pulau Belemsi, Kecamatan Maba, bersama suaminya yang seorang nelayan sejak 2007.
Ia bercerita pendapatan para nelayan di pulau itu semakin berkurang dari tahun ke tahun. Santi ingat ada masa saat hasil total tangkapan nelayan di pulau itu dalam satu bulan bisa mencapai 22 ton. Angka itu disebut bisa mencukupi kebutuhan pangan ikan untuk se-Kabupaten Halmahera Timur. Sedangkan untuk saat ini, 500 kilogram dalam satu bulan sudah merupakan prestasi.
“Saat ini rata-rata pendapatan kepala keluarga per bulan hanya Rp3 juta,” kata Santi kepada saya, akhir Mei lalu. “Tahun 2008, bisa Rp10 juta per bulan.”
Bagi Santi, penghasilan Rp3 juta tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biaya hidup serba tinggi, sebab bahan pangan mesti dibeli di pulau lain. Menggunakan kapal pula.
“Karena di sini tak bisa berkebun. Cuma ada ikan. Sayur harus beli,” katanya. “Ambil air bersih juga butuh naik kapal, dan itu butuh ongkos untuk bensin.”
Apa yang dirasakan Santi pernah diungkap dalam penelitian di lokasi para nelayan Pulau Belemsi melaut, kawasan Kecamatan Maba dan Kota Maba, oleh tiga akademisi pada 2016. Berjudul "Dampak Pertambangan Nikel terhadap Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Kabupaten Halmahera Timur," riset ini menunjukkan masifnya aktivitas tambang di sekitar perairan tersebut berdampak ke menurunnya kualitas perairan dan menurunnya ukuran ikan layak tangkap untuk alat tangkap bagan.
Riset itu juga menyimpulkan ikan teri, yang menjadi salah satu tangkapan utama para nelayan di Pulau Belemsi, sudah masuk kategori tidak layak tangkap.
“Namun keberadaan nikel di perairan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota, termasuk ikan karena nikel bersifat racun,” tulis peneliti. “Kandungan logam berat dapat memengaruhi keberadaan ikan bahkan dapat menyebabkan kontaminasi bagi tubuh ikan, sehingga memengaruhi keamanan ikan untuk dikonsumsi.”
Dalam penelitian lain, kandungan nikel terlalu besar sangat berbahaya dan dapat menyebabkan “gangguan sistemik, gangguan imunologi, gangguan neurologis, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan, efek karsinogenik, dan kematian.”
Menjaring Limbah Alih-alih Ikan
Pulau Belemsi adalah salah satu pulau kecil di Kecamatan Maba. Ia berada tepat di tengah kepungan pulau-pulau yang menjadi tempat operasi PT Antam. Sebelah barat ada Tanjung Buli, Pulau Gee dari arah utara, dan Pulau Pakal di sebelah timur. Jumlah warga pulau itu tak sampai 200 orang dari 32 kepala keluarga, hanya diisi 23 rumah dan satu gedung gereja tempat berkumpul warga.
Semua warga menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Saya melihat deretan kapal-kapal, atau warga menyebutnya bagan, tertambat di pesisir pantai di hadapan rumah Santi.
Namun, menurut suami Santi, Ronaldo Riung, 46 tahun, masalah yang dialami para nelayan tak hanya soal turunnya hasil tangkapan ikan, melainkan ancaman dari kapal-kapal besar milik perusahaan tambang yang melintasi perairan tempat mereka melaut.
Ronaldo sudah menjadi nelayan kapal bagan sejak 1995. Metodenya masih tradisional. Untuk menangkap ikan, Ronaldo biasa menghabiskan satu-dua malam di satu titik tertentu hingga hasil tangkapan terkumpul.
Namun, beberapa tahun terakhir Ronaldo mengaku kapal bagan para nelayan sering dipindahkan secara paksa oleh kapal-kapal besar pemilik tambang tanpa sepengetahuan pemilik bagan. Karena kekuatan yang besar, bagan-bagan yang dipindahkan berakhir dengan sobeknya jaring hingga tempat tangkapan ikan yang rusak.
“Karena katanya bagan kami mengganggu jalur kapal [tambang],” kata Ronaldo.
Tak hanya itu, kapal-kapal besar milik perusahaan tambang juga membuang limbah ke laut lepas di area tempat para nelayan mencari ikan. Satu minggu sebelum saya menemui Ronaldo dan Santi, ada beberapa unit bagan yang terkena buangan oli kotor dari kapal tambang.
Kepada saya, Ronaldo menunjukkan beberapa dokumentasi para nelayan berupa foto jaring dan terpal kapal bagan yang terpapar limbah tambang nikel dan oli di laut.
“Setelah kena buangan limbah tersebut, maka hilang semua ikan yang sudah ditampung dalam bagan,” kata Ronaldo. “Enggak mungkin, kan, tanah [bawah laut] mengeluarkan oli?”
Para nelayan di Pulau Belemsi terpaksa harus rutin mencuci jaring dan terpal minimal satu kali sepekan; perihal yang tak pernah dilakukan Ronaldo dan nelayan lain pada 1990-an.
“Kalau enggak dicuci dalam seminggu, sudah enggak mampu angkat jaring karena banyak lumpur berwarna merah,” katanya. “Bisa kita pastikan bahwa itu limbah tambang.”
Belakangan, pada 10 Maret 2021, PT Antam mengakui salah satu faktor menurunnya hasil tangkap nelayan karena perusahaan tambang beraktivitas di perairan Kecamatan Maba. Mereka berjanji menggelontorkan dana bantuan hingga Rp500 juta ke para nelayan.
Menanggapi banyaknya keluhan tersebut, Sekretaris Korporat PT Antam, Yulan Kustiyan, mengklaim bahwa pihaknya telah memastikan pelaksanaan praktik penambangan mengikuti kebijakan lingkungan yang harus dipatuhi semua pihak. Pihaknya berkomitmen untuk melaksanakan kewajibannya untuk melakukan tanggung jawab sosial kepada masyarakat di sekitar wilayah operasi.
Namun, Yulan mengklaim bahwa para nelayan di sekitar lokasi tambang tak berdampak apapun dan tetap bisa beraktifitas normal.
“Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh akademisi dari Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, sedimentasi yang terjadi di pesisir Moronopo sifatnya sementara dan tidak akan mengganggu aktivitas nelayan,” kata dia kepada Tirto (4/6), tanpa menjelaskan lebih rinci penelitian yang dimaksud.
Ia malah memberikan informasi bahwa wilayah Moronopo merupakan Kawasan Pertambangan dan Pertumbuhan Ekonomi, sesuai yang tercatat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2010-2029.
Profesi Nelayan Terancam Tinggal Kenangan
Bagi masyarakat Kecamatan Maba dan Kecamatan Kota Maba, Pulau Belemsi kerap disebut “kampung nelayan terakhir” yang masih menyalurkan tangkapan ikan. Sayangnya, profesi nelayan terancam hilang jika ekspansi tambang nikel tak mempedulikan dampak lingkungan.
Selama dua dekade terakhir terjadi tren penurunan profesi nelayan di Kabupaten Halmahera Timur. Angka terbesar pernah mencapai 8.587 orang pada 2004, tapi jumlahnya terus merosot dari tahun ke tahun, hingga tersisa 3.532 orang pada 2018.
Tren yang sama terjadi di Kecamatan Maba, jumlah nelayannya pernah mencapai 2.338 orang pada 2004 tapi hanya tersisa 245 orang pada 2018. Begitu juga di Kota Maba, 347 nelayan pada 2011 tapi tinggal 115 pada 2018.
Saat saya menyodorkan data-data itu ke Iqbal Djurubasa, ia tak terkejut. Nelayan Desa Maba Pura berusia 39 tahun ini berkata pada 1990-an, saat ayahnya masih melaut, hasil tangkapan per bulan bisa mencapai 4 ton. Nelayan tak perlu berlayar ke laut lepas sebab ikan melimpah di pesisir, kata Iqbal yang menjadi nelayan pada 2016.
Iqbal menduga, menurunnya hasil tangkapan ikan memaksa banyak nelayan, di pulau-pulau yang sumber utama mata pencahariannya seharusnya ikan, beralih profesi demi bertahan hidup.
“Di sisi lain, ada penyerapan tenaga kerja, yang tadinya nelayan berpindah ke tambang,” katanya.
========
Catatan redaksi: Pada pukul 11:45 pihak PT Antam telah memberikan keterangannya terkait aktivitas tambang dan pembuangan limbahnya.
Adlun Fiqri turut berkontribusi untuk dokumentasi.
Liputan ini merupakan hasil dari serial kelas belajar "Journalist Fellowsea: Menjaga Laut dengan Jurnalisme Data", didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi