tirto.id - Kasus pungutan liar (pungli) di Pelabuhan Batam diduga terjadi sejak lima tahun yang lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mendengar kabar ini. Dia sempat menginstruksikan bawahannya untuk menuntaskannya. Akan tetapi, hingga kini tak ada perubahan. Pungli di Pelabuhan Batam belum padam.
Holmen Pacific, kapal berbendera Singapura, masuk perairan wajib pandu menuju Pelabuhan Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pertengahan Juni 2021 lalu. Kapal berbobot 25 ribu GT yang panjangnya 160 meter atau 5 kali panjang lapangan basket itu, membayar biaya resmi Rp43 juta. Namun mereka juga harus membayar pungli yang jumlahnya dua kali lipat yakni, Rp115,5 juta.
Biaya resmi BP Batam itu ditagih oleh Badan Pengusahaan (BP) kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam. BP Batam, penguasa yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan daerah industri, dibentuk pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat ini, Wali Kota Batam Muhammad Rudi, merangkap jabatan sebagai kepala BP Batam.
Pungli itu datangnya dari PT Gemalindo Shipping Batam sebesar Rp48 juta dan PT Pelayaran Kurnia Samudra sebesar Rp67,5 juta. Ini berdasarkan dokumen tagihan ke PT Kaesfape Jaya Shipping, perwakilan kapal Holmen Pacific. PT Gemalindo Shipping Batam membantah, sedangkan Direktur Utama PT Pelayaran Kurnia Samudra Syahrul, tak merespons panggilan telepon dan pesan WhatsApp dari reporter Tirto.
"Hari sama, waktu sama dan kapal tunda yang dipakai sama. Dengan kata lain satu kegiatan yang sama tapi dua tagihan," kata Erdi Steven Manurung, ketua Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) Batam kepada reporter Tirto, Rabu (14/7/2021).
Dua perusahaan yang diduga melakukan pungli tersebut, terikat kerja sama operasi (KSO) dengan BP Batam. Ini terkait bisnis penyedia jasa tunda menuju Pelabuhan Batam. Tugas perusahaan KSO, mengatur setiap kapal perusahaan pelayaran atau agen kapal yang merapat ke Pelabuhan Batam.
Lantas, apa itu jasa pandu dan tunda?
Pandu ini, seorang pelaut yang memiliki keahlian di bidang nautika dan memenuhi syarat pemanduan kapal. Pemandu ini naik ke atas kapal perusahaan pelayaran dan duduk di samping kapten kapal. Tugasnya, seperti juru parkir untuk kapal-kapal yang mau bersandar di dermaga. Sedangkan jasa tunda, merupakan kapal tugboat yang digunakan untuk membantu mendorong, menarik, atau bermanuver ketika kapal perusahaan pelayaran akan bersandar.
Bagaimana prosedur perusahaan pelayaran menggunakan jasa pandu dan tunda?
Perusahaan pelayaran harus mengajukan permintaan registrasi Pernyataan Umum Kapal (PUK), sehari sebelum kegiatan kepada BP Batam. Setelah PUK didapatkan, BP Batam melakukan hold dana rekening perusahaan pelayaran untuk biaya jasa pandu atau tunda. Lalu BP Batam menerbitkan surat perintah kerja (SPK) yang dinotifikasi kepada kapal perusahaan pelayaran dan KSO. Besoknya, kapal tunda dan pandu merapat ke kapal perusahaan pelayaran, untuk dikawal menuju dermaga sesuai jadwal yang ditetapkan.
Bukan hanya PT Kaesfape Jaya Shipping, akan tetapi PT Internusa Bahtera juga mengeluhkan pungli jasa tunda. Sudah dua bulan berturut-turut, mereka tidak mendapat pelayanan tunda meskipun sudah hold dana ke BP Batam, masing-masing: Rp1.764.4487, pada Februari lalu untuk kapal MV Sigap dan Rp1.750.000, pada 9 Maret untuk kapal Fitria 3301.
Namun pada waktu yang telah ditentukan, ada pembatalan sepihak, perusahaan KSO tak memfasilitasi jasa tunda. PT Internusa Bahtera sempat meminta pengembalian dana, akan tetapi hanya biaya jasa tunda MV Sigap yang dikembalikan BP Batam. Itu pun tak utuh, hanya Rp1.235.113.
Budi Dwi Indratno, direktur operasional PT Internusa Bahtera sempat mengirim surat keberatan ke BP Batam. Ini terkait pungutan tarif tunda tanpa ada pelayanan. Dia meminta, agar tidak terjadi pembiaran kegiatan wajib tunda tanpa pelayanan yang tidak sesuai dengan Peraturan Kepala BP Batam 11/2018. Budi juga meminta BP Batam menegur KSO karena tidak sanggup melaksanakan kewajiban.
Celah Hukum dan Empat Modus Pungli
Ada berbagai celah dalam prosedur jasa pandu dan tunda, pertama yaitu, harus melalui sistem Kerja Sama Operasi (KSO). Ini membuka ruang bagi tindakan pungutan liar (Pungli). Sistem KSO ini, pelibatan perusahaan pelat merah atau swasta pemilik kapal tunda atau pandu yang ditunjuk oleh BP Batam. Tugasnya, mempersiapkan kapal tunda atau pandu, untuk mengatur setiap kapal perusahaan pelayaran yang merapat ke Pelabuhan Batam.
Permasalahannya, perusahaan KSO tersebut, terang-terangan meminta ongkos tambahan di luar biaya resmi yang ditetapkan BP Batam. Hal ini diungkapkan Erdi Steven Manurung, ketua Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) Batam.
"Pak, kami enggak bisa layani. Kalau tetap mau tunda, bapak harus bayar lebih,” kata Manurung menirukan permintaan perusahaan KSO kapal tunda.
“Ada biaya di luar biaya resmi BP Batam dan bayar langsung ke kami. Kalau bapak enggak mau ya sudah, kami enggak akan layani," lanjutnya.
Jika perusahaan pelayaran tidak memenuhi tuntutan itu, pihak KSO akan menggunakan alasan kapal rusak, habis bahan bakar, atau sedang bekerja di tempat lain.
Dengan ancaman tidak dilayani, anggota asosiasinya kebingungan untuk mencari kapal tunda pengganti lain dengan waktu yang mepet. Alternatif KSO juga cuma sedikit, hanya yang bekerja sama dengan BP Batam. Dengan segala tekanan dan rumitnya birokrasi akhirnya perusahaan pelayaran terpaksa membayar.
Beberapa perusahaan yang terlibat dalam sistem KSO jasa tunda BP Batam, yaitu: PT Pelindo I, PT Gemalindo Shipping Batam, dan PT Pelayaran Kurnia Samudra. Sedangkan KSO jasa pandu: PT Pelindo I dan PT Bias Delta Pratama.
Dugaan pungli kedua, Manurung menjelaskan, ada modus pembatalan sepihak pelayanan jasa tunda dan pandu oleh perusahaan KSO. Ini terjadi saat perusahaan pelayaran telah melakukan pembayaran awal, istilah mereka hold dana, namun kapal tunda dan pandu tak kunjung datang. Perusahaan pelayaran sudah menghubungi BP Batam dan KSO, akan tetapi tak ada respons.
Kebanyakan, perusahaan pelayaran akhirnya masuk sendiri ke perairan wajib pandu tanpa jasa dari KSO. Pertimbangan mereka: bahan bakar habis karena menunggu berjam-jam tanpa kepastian.
Keputusan masuk sendiri ini, diduga menjadi jebakan yang dimanfaatkan oleh pegawai BP Batam. Mereka akan menjerat dengan Pasal 152 dan 152 dalam Peraturan Kepala Batam 11/2018. Poin pasal itu, kapal agensi yang melakukan pergerakan tanpa ada pandu dan tunda dikenakan tarif tambahan sebesar 200 persen dari tarif dasar. Suka tidak suka, agensi membayarnya biaya meskipun tidak ada pelayanan.
Dugaan pungli ketiga, jika perusahaan pelayaran tidak melunasi biaya meski jasa tunda atau pandu tak ada, PUK kapal tidak akan ditutup oleh BP Batam. Dampaknya, jika kapal tersebut datang kembali ke Pelabuhan Batam, tak akan dilayani.
"Kapal selesai, PUK tidak di-close. Kalau tidak close, kapal yang sama datang lagi tidak bisa dilayani BP Batam kecuali melunasi biaya tunda dan pandu," ujarnya.
KSOP Khusus Batam pernah turun tangan terkait masalah ini. Mereka menerbitkan surat edaran KSOP.Btm 20/2021. Isinya, mereka mengingatkan para petugas pandu di perusahaan KSO yang sudah mendapatkan tugas, untuk melaksanakan pemanduan dan penundaan sesuai dengan prosedur pelayanan KSOP Khusus Batam 2019.
Jika perusahaan KSO tidak melaksanakan kewajiban tersebut, Kemenhub akan memberikan sanksi berupa peninjauan ulang izin pandu dan tunda. Lagi-lagi surat edaran ini dianggap angin lalu. Kasus tidak ada pelayanan untuk pengguna jasa kembali terulang. Catatan ISAA, setelah surat edaran KSOP Khusus Batam itu, ada dua kasus serupa yang terulang.
"Anggota asosiasi enggak mau melapor karena takut dipersulit di BP Batam," tuturnya.
Terlebih, harusnya perusahaan pelayaran tak dipungut biaya. Ini merujuk Pasal 25 ayat (3) Peraturan Menteri Perhubungan 72/2017, penyelenggara pelabuhan dan BUP dilarang memungut tarif jasa kepelabuhan yang tidak ada pelayanan jasa.
Dugaan pungli keempat, BP Batam menagih biaya wajib pandu kepada kapal perusahaan pelayaran, meski mereka tak melintasi wilayah perairan wajib pandu. Ini dianggap meresahkan. Ini membuat Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam—pelaksana teknis Kementerian Perhubungan (Kemenhub)—turun tangan.
Dalam surat bernomor AL.325/2/8/KSOP.Btm/2021, Kepala KSOP Khusus Batam Mugen Suprihatin Sartoto melayangkan surat kepada Direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam Nelson Idris. Dalam surat itu, Sartoto mengingatkan BP Batam: pengenaan tarif jasa pemanduan dan penundaan kapal pengguna jasa, hanya pada area yang sesuai dengan Keputusan Menhub Nomor KM 22 Tahun 1990.
Surat itu dianggap angin lalu. Manurung mengatakan, BP Batam tidak menggubrisnya. Malah mempersulit dengan berbagai syarat yang tidak masuk akal.
"Pengguna jasa [perusahaan pelayaran] diminta untuk membuktikan, kapal tersebut tidak di daerah wajib pandu dengan meminta surat persetujuan dan pernyataan KSOP. Jika tidak dapat persetujuan maka tidak dilayani," kata Manurung.
Permintaan BP Batam itu, lanjut Manurung, tidak mungkin didapatkan dalam waktu singkat. Terlebih KSOP Batam merasa tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan surat persetujuan itu. Dengan waktu yang minim, perusahaan pelayaran terpaksa melakukan hold dana untuk pembayaran, walaupun kapal mereka tak berada di wilayah wajib pandu.
"Memang sudah jadi senjata BP Batam untuk masalah waktu ini. Sengaja dipersulit dan diperlambat, mereka tahu jika kapal terlambat maka demurrage kapal jauh lebih besar biayanya, bisa puluhan juta per hari,” ujarnya.
Demurrage ini istilah untuk kerugian kapal karena kelebihan masa pemakaian sewa kapal. Umumnya tidak semua perusahaan dalam perdagangan itu milik sendiri, rerata perusahaan melakukan sewa.
“Sehingga,” lanjut Manurung, “mau enggak mau pasti pengusaha akan menyerah dan lebih baik bayar pungli tersebut.”
Dalam laporan keuangan BP Batam 2019, pendapatan dari jasa pandu mencapai Rp6,2 miliar, sementara jasa tunda mencapai Rp9,2 miliar. Jika melihat jumlah pendapatan jasa tunda dan pandu selama setahun, maka nilai tersebut kecil sekali. Sebab, ada tagihan jasa tunda dan pandu kepada asosiasi tapi tidak ada pelayanan.
"Kalau lihat pendapatan setahun itu kecil sekali, apa benar itu real-nya?" kata Manurung mempertanyakan data tersebut.
Akar Pungli: Bagi Hasil yang Hanya Menguntungkan BP Batam
Osman Hasyim, ketua DPC Indonesian National Shipowners Association (INSA) Batam mengatakan, praktik pungutan liar oleh perusahaan KSO tunda atau pandu, disebabkan kerja sama yang dengan BP Batam. Dia menjelaskan, BP Batam secara sepihak, mematok bagi hasil pendapatan kapal tunda.
Rincian bagi hasilnya: 75 persen untuk KSO, 5 persen PNBP ke KSOP Khusus Batam, dan 20 persen untuk BP Batam.
Ibaratnya, Osman bilang, “dagingnya sudah habis untuk BP Batam, pihak KSO tinggal tulangnya saja”, alias buntung.
Padahal, perusahaan KSO membiayai investasi yang besar. Beberapa di antaranya: pembelian kapal, perawatan tahunan, sertifikat kapal, sertifikat pegawai, gaji pekerja, hingga bahan bakar. Bagi hasil 75 persen, bagi KSO, tak ada untung-untungnya. Sedangkan untuk BP Batam, angka 20 persen itu besar, sebab mereka tidak memiliki aset maupun investasi dalam kerja sama tersebut.
Perusaahaan KSO kapal tunda, kata Osman, menutupi kerugian itu dengan memungut biaya tambahan atau pungli, kepada perusahaan perkapalan. Jika tidak, kapal tunda tidak akan melayani pengguna jasanya.
"Ada pungutan yang mereka cari supaya enggak rugi. Ini yang terjadi dan tidak benar," kata Osman kepada reporter Tirto, pertengahan Juli.
Osman mengaku mengetahui modus pungli ini. Sebab beberapa pemilik kapal tunda atau perusahaan KSO, merupakan bagian dari anggota INSA.
Menurut Osman, masalah pungli ini sudah terjadi hampir lima tahun. Dia mengaku turut frustasi karenanya. Dia sudah berdiskusi dan memberikan masukan kepada BP Batam, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan Kemenhub. Akan tetapi masalah itu belum selesai sampai saat ini.
"Kalau di Batam, premannya BP Batam sendiri. Yang enggak perlu bayar, harus bayar. Bukan kata UU, tapi apa kata mereka," kata Osman, kesal.
Kekesalan Osman, merujuk pada surat Dirjen Perhubungan Laut UM.003/74/5/DJPL-16 yang menguatkan PP 15/2016 tentang Jenis dan Tarif Atas PNBP yang Berlaku Pada Kemenhub. Isinya, jasa tambat di wilayah Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) atau Terminal Khusus (Tersus) tidak dipungut biaya. Namun di Peraturan Kepala BP Batam 11/ 2018 sebaliknya, pemilik kapal wajib membayar jasa tambat.
Allan Roy, manajer PT Gemalindo Shipping Batam—salah satu perusahaan KSO— menceritakan keluhan seperti yang diutarakan Osman. Dia mengatakan, tak bisa mengambil keuntungan dari jasa pandu atau tunda. Menurutnya, untuk biaya bahan bakar kapal saja tak cukup.
"Pemilik tunda itu untungnya 10 sampai 15 persen. Begitu dipotong 25 persen, ya teriak. Istilahnya enggak masuk," kata Roy kepada reporter Tirto, Minggu (18/7/2021).
"Dia Tuan Takur,” kata Roy menuding BP Batam. “Kami yang investasi, kami yang bingung. Mereka enggak mau tahu".
Dia menuturkan, suka atau tidak, kesepakatan dengan BP Batam harus dijalani.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam Nelson Idris membantah mematok besaran bagi hasil secara sepihak. Dia mengklaim, telah mengikuti aturan Kementerian Keuangan dan kesepakatan para pihak terkait.
Terlebih, menurut Nelson, hingga saat ini tak ada yang komplain ke BP Batam.
"Enggak ada yang mengeluh. Bapak bisa tunjukkan suratnya enggak. Kalau ngeluh enggak usah berusaha di situ kan gampang. Kenapa mereka masih berusaha di situ, apa betul itu tulangnya," kata Nelson.
Berbagai Bantahan soal Pungli
Kepala KSOP Khusus Batam Mugen Suprihatin Sartoto mengaku, berulang kali meminta kepada A Indonesian National Shipowners Association (INSA) dan Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) melaporkan, jika jasa pandu atau tunda tak datang.
"Kalau enggak mau lapor, mereka [INSA dan ISAA] dirugikan," kata Sartoto kepada reporter Tirto, Jumat (23/7/2021).
Selain itu, dia menanggapi terkait permintaan surat pernyataan bahwa kapal agensi bukan di daerah perairan wajib pandu. Ini terkait permintaan BP Batam ke Erdi Steven Manurung, ketua Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) Batam. Menurut Sartoto, masalah administratif itu bukan kewenangan pihak KSOP. Tugas KSOP sesuai UU Pelayaran adalah melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran.
"Bagaimana BP Batam menyikapi, biarkan masyarakat yang menilai. Surat KSOP, dasarnya jelas," ungkap Sartoto.
Saat dikonfirmasi terkait tidak datangnya pandu dan tunda setelah order, Direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam Nelson Idris mengatakan, pengguna jasa bisa komplain ke pihaknya sehingga bisa didatangkan petugas pandu dan tunda baru.
"Kapal enggak datang, kapal [perusahaan pelayaran] sudah tunggu, kami bisa ganti," klaim Nelson saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (21/7/2021).
Ahmad Jauhari, ketua Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI) Provinsi Kepri menanggapi adanya dobel kuitansi. Ini terkait kasus PT Kaesfape Jaya Shipping yang diminta membayar Rp115,5 juta oleh dua perusahaan KSO untuk jasa tunda satu kapal.
Jauhari tak membantah adanya persoalan dobel kuitansi yang dibebankan ke perusahaan pelayaran itu.
"Tidak semua dobel kuitansi, mungkin ada satu dua kasusnya," kata Jauhari kepada reporter Tirto, Sabtu (17/7/2021).
Dia mengatakan, ketika kapal masuk wilayah galangan kapal, itu bukan wilayah wajib pandu dan tunda lagi. Tetapi masuk wilayah pemilik galangan. Biasanya pemilik galangan memiliki dock master atau penanggung jawab dok, untuk membawa kapal ke dalam dengan perangkat kerja tugboat galangan.
"Kesannya double kuitansi, padahal enggak. Itu dua pekerjaan berbeda," klaimnya.
Sedangkan Direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam Nelson Idris, saat ditanya reporter Tirto terkait kasus dobel kuitansi, malah meminta menanyakannya kepada perusahaan KSO dan galangan kapal. Sebab menurutnya, biaya tersebut tidak ada urusannya dengan BP Batam. Dia mengklaim tidak mengetahui persoalan dugaan pungli itu.
Di sisi lain, Allan Roy, Manajer PT Gemalindo Shipping Batam membantah pihaknya memungut pungli atau biaya jasa di luar biaya resmi BP Batam. Dia berdalih, pihak perusahaan pelayaran selalu menghubunginya untuk memasukkan kapal ke galangan. Sehingga terjadi tawar-menawar dengan pemilik tunda. Enggak mungkin, katanya, mengeluarkan invoice tanpa persetujuan perusahaan pelayaran.
"Itu hanya rumor aja [KSO melakukan pungli], permainan agensi saja. Jadi agensi ke owner bisa dapat dua, tapi bayarnya cuma satu. Kadang ada agensi nakal juga," klaim Roy kepada reporter Tirto.
Berdasarkan catatan PT Gemalindo Shipping Batam, dalam sehari bisa melayani 10-15 kapal. Jika diambil angka paling kecil 10 kapal per hari, dalam sebulan Gemalindo bisa melayani 300 kapal. Artinya dalam setahun bisa mencapai 900 kapal. Tentu angka tersebut cukup besar, apalagi jika semua kapal tersebut dibebani pungli.
Campur Tangan Jokowi Tak Manjur?
Erdi Steven Manurung, koordinator Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam mengirim surat tuntutan kepada Presiden Jokowi, pada 5 April 2021. Dia meminta Jokowi melakukan pembenahan penyelenggaraan Pelabuhan Batam dan menghentikan pungli yang melanggar UU.
Dua minggu usai mengirim surat tuntutan itu, anggota asosiasi perusahaan pelayaran diundang rapat oleh Muhammad Rudi, Ketua BP Batam sekaligus Wali Kota Batam.
Dalam rapat itu, seingat Manurung, Rudi mengungkapkan dirinya langsung dihubungi Presiden Jokowi untuk menyelesaikan masalah Pelabuhan Batam. Rudi langsung membentuk tim kecil yang diketuai Wahjoe Triwidijo Koentjoro untuk menyelesaikan berbagai masalah yang diadukan Manurung, dalam tempo dua Minggu. Namun masalah tak kunjung selesai.
"Memang realisasi riilnya itu belum ada, diajak meeting ditunda, diajak meeting ditunda sehingga asosiasi pada kesal. Masalah tagihan yang enggak sesuai UU berjalan terus, apalagi tagihan yang enggak ada layanannya. Itu jalan terus," kata Manurung.
Namun Shanti Purwono, staf khusus Presiden Jokowi bidang hukum mengaku, tak mendapatkan informasi terkait adanya surat tuntutan ke Jokowi tersebut. "Saya tidak punya info terkait hal ini," katanya singkat kepada reporter Tirto, Minggu (25/7/2021).
Karena berbagai kasus pungli di Pelabuhan Batam masih terus terjadi, pada 28 Juni 2021, Manurung juga mengirim surat ke Agung Laksono, ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Tuntutannya sama dengan surat ke Presiden Jokowi. Dia bilang, usai PPKM Darurat atau PPKM level 4, pengurus asosiasi perusahaan pelayaran dijanjikan untuk bertemu Agung.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Dieqy Hasbi Widhana