tirto.id - Sejak berlakunya biaya tambat di galangan kapal Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada Oktober 2016, kegiatan perbaikan dan pemeliharaan kapal menurun drastis. Penyebabnya, biaya tambat—bersandar di dermaga—lebih mahal daripada perbaikan kapal. Selisihnya sampai nyaris 700 persen dari Malaysia.
Novi Hasni Purwanti, kepala harian Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA) mengungkapkan, harusnya tak ada biaya jasa tambat.
"Di PP Penerimaan Negara Bukan Pajak [PNBP], kami dibebaskan, tetapi di Peraturan Kepala BP Batam kami dikenakan," kata Purwanti kepada reporter Tirto, Senin (19/7/2021).
Dalam pasal 5 ayat 1 Peraturan Pemerintah 15/2016 tentang PNBP disebutkan, untuk kegiatan tertentu dikenakan tarif Rp0. Aturan itu diperkuat, surat edaran Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Nomor UM.003/74/5/DJPL-16 yang menyebutkan, jasa tambat di galangan kapal tidak dipungut biaya.
Peraturan Kepala BP Batam 17/2016 berkebalikan dengan itu. Di Pasal 30 disebutkan, pembebasan tarif tambat hanya diberikan ke kapal yang melakukan perbaikan di atas dermaga. Kemudian dalam lampiran, terkait tarif khusus, berbunyi: kapal yang berada di Tersus atau TUKS dalam rangka kegiatan bongkar atau muat, repair atau docking, dan standby dikenakan tarif 50 persen dari tarif dasar.
Purwanti membandingkan, Kapal MV Vasco Da Gama dengan bobot 36.567 GT, hanya membayar biaya tambat selama sebulan sebesar Rp126.628.136 di Port Dickson, Malaysia, untuk kepentingan perbaikan. Sementara di Batam dengan kapal, bobot dan durasi waktu yang sama, dikenakan jasa tambat sebesar Rp883.312.452.
Perbedaan tarif nyaris 700 persen, atau tepatnya 698 persen, lebih mahal.
"Saya yang punya kapal dan galangan kapal aja enggak mau perbaiki di Batam. Bahkan anggota asosiasi saja banyak perbaiki di luar Batam. Lebih baik perbaikan dan pemeliharaan di Malaysia dibandingkan di Batam,” ujarnya.
“Perbedaannya bisa Rp756 juta,” lanjut Purwanti, sembari memperlihatkan bukti jasa tambat di galangan Malaysia, “jomplang banget."
Sebelum ada aturan tarif jasa tambat, jelas Purwanti, galangan kapal milik anggota BSOA dibanjiri kapal asing dan nasional yang melakukan perbaikan, pemeliharaan, dan pembuatan baru. Dalam setahun, anggotanya yang berjumlah 60 galangan itu, memberikan jasanya ke 1.500 kapal. Jumlah itu belum termasuk galangan di luar anggota BSOA sebanyak 45 galangan.
"2010-2016, anggota kami sampai nolak kalau ada kapal mau repair, full. Kapal buatan Batam, mereka repair di Batam juga. Ada juga kapal luar negeri yang posisinya di Selat Malaka, mending repair di Batam daripada balik ke Cina dulu. Suplly chain sudah lengkap," terangnya.
Namun, kondisi itu berubah 180 derajat. Mereka hanya bisa memperbaiki, memelihara, dan membuat kapal baru sekitar 750 per tahun sebelum pandemi. Kondisi itu, kata Purwanti terbantu karena program tol Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekitar 2017-2018. Akan tetapi perbaikan, pemeliharaan, dan pembuatan kapal baru dari pelanggan asing turun drastis sampai 80 persen.
Osman Hasyim, ketua DPC Indonesian National Shipowners Association (INSA) Batam berujar, BP Batam membuat kebijakan pelabuhan yang justru menghancurkan industri maritim.
"Karena banyak di situ yang seharusnya tidak boleh dipungut malah dipungut. Sementara seluruh indonesia enggak dipungut, di Batam dipungut. Itu yang membuat Batam ditinggal orang, seperti jasa tambat di galangan, pungutan panduan di luar kewajiban," ujarnya kepada reporter Tirto, pekan lalu.
Nelson Idris, direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam membantah, turunnya pelanggan galangan kapal terjadi karena kebijakan tarif jasa tambat. Menurutnya, penyebabnya justru pelayanan yang tidak bagus, tidak profesional, dan kualitas kerja galangan kapal yang buruk.
"Jadi enggak ada hubungannya dengan tarif. Fenomena yang terjadi menyalahkan jasa tarif," klaim Idris kepada reporter Tirto, Rabu (21/7/2021).
Mengakali Aturan dengan Pasal Siluman
Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA) dan Indonesian National Shipowners Association (INSA) Batam pernah melakukan protes dan mendesak perubahan Perka Kepala BP Batam 17/2016, khususnya terkait masalah tarif jasa tambat sebesar 50 persen di galangan kapal. Setelah dua tahun, perjuangan itu belum membuahkan hasil.
Osman Hasyim mengatakan, BP Batam akhirnya melibatkan mereka dalam proses revisi Perka Kepala BP Batam 17/2016. Dalam kesepakatan antara BP Batam dan asosiasi, menurutnya, pasal tarif jasa tambat 50 persen untuk galangan, sempat direncanakan akan dihapus.
Pada tahun 2018, lanjut Osman, perka lama direvisi dengan terbitnya Perka 11 tahun 2018. Dalam Pasal 30 disebutkan, pembebasan tarif tambat kapal diberikan kepada kapal yang sedang melakukan perbaikan di atas dermaga. Pasal ini dikuatkan dengan lampiran, berbunyi: kapal yang berada di Tersus atau TUKS dalam rangka kegiatan bongkar atau muat, repair atau docking, dan standby untuk kepentingan galangan kapal diberikan tarif Rp0, tetapi dengan menunjukan dokumen pendukung.
Osman bilang, awalnya asosiasi bersuka cita karena bisa menghapus tarif 50 persen. Akan tetapi, ketika dibaca lagi lampirannya sampai bawah, ternyata pasal pengenaan tarif tambat sebesar 50 persen untuk perbaikan kapal di galangan masih ada.
"Pas lihat hasilnya kok begini. Kami kecolongan pasal siluman soal tarif jasa tambat," kata Osman. "Ini berarti di luar kesepakatan."
Novi Hasni Purwanti, kepala harian Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA) mengatakan, Peraturan Kepala BP Batam 11/2016 membuat syarat dokumen pendukung, jika mau dibebaskan dari biaya jasa tambat. Syaratnya, kapal itu harus milik perusahaan galangan, dibuktikan dengan dokumen kepemilikan saham sebesar 51 persen.
Aturan itu juga tertuang dalam surat edaran BP Batam 23/2018 ,diterbitkan pada 7 Desember 2018 oleh Kepala Kantor Pelabuhan Laut BP Batam Nasrul Amri Latif. Surat itu, hingga kini belum dicabut BP Batam.
"Surat edaran BP Batam jasa tambat gratis jika kapal itu 51 persen milik galangan. Harus ada sahamnya, ini kan akal-akalan. Sudah Perka-nya ada pasal siluman, sekarang surat edaran enggak jelas dan belum dicabut," kata Purwanti.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam Nelson Idris membantah adanya surat edaran itu. Dia mengklaim, pimpinannya sekarang maupun yang dulu tidak pernah mengeluarkan syarat gratis jasa tambat, jika 51 persen saham kapal milik galangan.
"BP Batam tidak pernah mengeluarkan surat itu," klaimnya dengan percaya diri.
Selanjutnya, ia mengklaim, biaya jasa tambat Rp0 untuk kapal yang sedang perbaikan di galangan Batam. Akan tetapi, tarif Rp0 tidak berlaku bagi kapal yang mengakali docking untuk menghindari biaya jasa tambat. Dia bilang, ada perbaikan kapal sampai tiga tahun. Bahkan enam bulan perbaikan aja kelamaan.
"Enak aja, docking sampai 3 tahun. Selama docking normal, itu gratis," kata Nelson.
Normal yang ia maksudkan, "untuk ukuran kapal Pelni 20 ribu GT, hanya membutuhkan waktu 15-20 hari."
Osman menimpali, Nelson perlu membaca lagi tugas dan kewenangan penyelenggara pelabuhan. Lebih baik, ia mengurus pelabuhan umum dan sarana prasarana. Bukan mencampuri bisnis galangan kapal. Persoalan mau berapa lama perbaikan kapal di galangan, kata Osman, tidak ada undang-undang yang melarang.
"Tidak ada larangan mau berapa lama perbaiki. Mau 5 tahun, terserah mereka. Jadi jangan diartikan sendiri aturannya," kata Osman dengan nada kesal.
Uang Bisa Berputar Lebih Deras di Industri Galangan Kapal
Novi Hasni Purwanti menuturkan, jasa perbaikan dan perawatan kapal bisa menyokong industri galangan kapal di Batam. Itu tetap terjadi meski pesanan pembuatan kapal baru sepi.
"Pokoknya dengan repair, galangan bisa hidup," kata Purwanti.
Dia menjelaskan, kapal masuk galangan pasti membawa minimal 10 kru anak buah kapal (ABK). Selain itu, jika mereka tidak turun kapal, pasti minta disiapkan air bersih, makanan, hingga BBM untuk kapal. Kalau kru ABK turun dari kapal, maka penginapannya penuh, kulinernya juga penuh. Jadi galangan memicu peningkatan perekonomian masyarakat Batam.
Selain itu terkait produksi kapal. Untuk membuat satu kapal tongkang baru, galangan kapal bisa menyerap 300 pekerja. Setiap galangan paling banyak bisa membuat 40 dan paling sedikit 10 kapal. Artinya, jika ada 10 tongkang, galangan kapal bisa menyerap 3.000 pekerja. Selain itu, per kapal tongkang bisa selesai dalam waktu 4-6 bulan.
"Dulu, Hotel Harris dekat galangan enggak pernah sepi. Kru pasti nginap di sana. Sekarang, penginapan banyak sepi karena kapal enggak yang masuk. Warteg dan restoran pada tutup karena enggak ada pekerja dan kru kapal," ujarnya.
Berdasarkan data Indonesian National Shipowners Association (INSA) Batam, jumlah kunjungan kapal keluar dan masuk Batam tertinggi pada 2016, mencapai 51 ribu. Akan tetapi, jumlah kunjungan kapal berangsur terus menurun. Pada 2017 hanya ada 4.701 kunjungan kapal dan pada 2018 sebesar 4.346 kunjungan kapal.
Sedangkan Osman Hasyim mengklaim, ada 20 ribu kapal yang teregistrasi di Kementerian Perhubungan. Dengan jumlah itu, harusnya perbaikan dan perawatan kapal tidak berhenti. Satu perbaikan kecil kapal aja, bisa menghabiskan biaya Rp1 sampai Rp2 miliar untuk cuci pantat, dicat ulang, dan sebagainya. Sedangkan untuk kapal besar, rata-rata mencapai Rp4 sampai Rp5 miliar untuk perbaikan.
Sekarang kondisinya berubah, kapal Indonesia lebih banyak diperbaiki di luar negeri. Bahkan, kata Osman, kapal BUMN milik Pertamina aja perbaikinya di galangan kapal Vietnam.
"Dulu BP Batam dibuat untuk mengembangkan industri dalam rangka menyejahterakan ekonomi rakyat. Sekarang BP Batam terbalik, seperti mesin uang. Kebijakan mematikan industri maritim Batam," kata Osman.
Dia menambahkan, pengelolaan sekarang ini, memunculkan tidak hanya kerugian ekonomi akan tetapi psikologis juga. Sebab tidak adanya kepastian hukum dan hilangnya kepercayaan bagi kapal-kapal untuk melakukan kegiatannya di Batam.
Saat ini, jelas Osman, dari 115 perusahaan shipyard di Batam, diperkirakan hanya 30 persen yang masih aktif mengerjakan proyek kapal. Sebagai industri padat karya, penurunan proyek pembuatan dan perawatan kapal menyebabkan anjloknya serapan tenaga kerja.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia Perwakilan Kepri, tahun 2012 tenaga kerja galangan kapal di Batam mencapai 250 ribu orang. Sebanyak 100 ribu tersebar di berbagai industri anjungan lepas pantai atau offshore dan industri penunjang minyak dan gas. Sementara saat ini hanya mencapai 15 ribu orang. Sekitar 335 ribu orang di kehilangan pekerjaan.
“Fakta bahwa di periode krisis ekonomi tahun 1998, 2008, 2010 dan 2014 Batam selamat dari krisis. Akan tetapi, sejak 2017 sampai dengan saat ini industri maritim dan pelayaran Batam jeblok,” ujar Osman.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Dieqy Hasbi Widhana