Menuju konten utama

Babak Belur Fasilitas Kesehatan di Papua Melawan Covid-19 & Malaria

Papua melawan Covid-10, Malaria, dan Kusta. Namun fasilitas kesehatannya buruk. Bahkan ada puskesmas tanpa nakes yang akhirnya dijadikan kandang binatang.

Babak Belur Fasilitas Kesehatan di Papua Melawan Covid-19 & Malaria
Ilustrasi HL Indept Faskes Kolaps di Papua. tirto.id/lugas

tirto.id - “Tahun ini," kata Dora Balubun, "lebih mengerikan dibanding tahun kemarin.”

Kasus Covid-19 terus menanjak di Papua, sejak Rabu (7/7/2021). Semula per hari bertambah 15 kasus baru, lalu terus naik hingga 357 kasus pada seminggu berikutnya. Bahkan sepekan terakhir, tertinggi ada 338 kasus baru per hari, sedangkan terendah hanya 173 kasus. Dora Balubun beruntung, mendapatkan fasilitas isolasi Covid-19 di rumah sakit sebelum kasus memuncak.

“Puji Tuhan, saya mikir, beruntung sekali bisa memperoleh pelayanan dengan baik karena enggak lama setelah itu di IGD banyak pasien Covid-19 mengantre untuk dapat kamar,” kata perempuan yang akrab dipanggil Mama Dora itu kepada reporter Tirto.

Dia dirawat inap di RSUD Jayapura selama sepuluh hari, sejak Kamis (29 Juni 2021). Situasi waktu itu belum banyak pasien. Namun keadaan berubah drastis tiga hari setelah ia dirawat: RSUD Jayapura penuh pasien Covid-19. RSUD Jayapura penuh. Pasien dirawat di teras ruang IGD sampai tenda.

“Ketika saya kontrol [rawat jalan], tenda di luar RSUD Jayapura sudah didirikan dan penuh oleh pasien,” ujar pendeta dari Sinode GKI Papua itu.

“Ini enggak hanya di [RSUD] Jayapura saja, ya. Bahkan di RS Provita juga penuh,” imbuhnya.

Memang RS Provita sampai menutup layanannya selama sepekan, sejak Rabu (14/7/2021). Alasannya, memuncaknya kasus Covid-19 membuat 36 tenaga kesehatan mereka juga terjangkit virus mematikan itu. Pada hari yang sama, RS Bhayangkara menyatakan tak menerima layanan IGD lagi bagi pasien umum maupun Covid-19. Bed occupation rate (BOR) tujuh rumah sakit rujukan Covid-19 di daerah itu mencapai 100 persen.

Kondisi di Papua belakangan, hanya ada sedikit perubahan. "[BOR] sudah 97 persen,” papar Silwanus Sumule, juru bicara Satgas Covid-19 Papua sekaligus wakil Direktur RSUD Jayapura. Saya menghubungi Sumule, Senin (26/7/2021) lalu.

Bahkan kemarin, dari 34 provinsi, Papua berada pada urutan ke-8 dengan kasus aktif Covid-19 tertinggi. Totalnya ada 14.713 kasus.

Babak Belur Dikepung Covid-19

Kini di Papua, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sudah ada 217 orang meninggal dunia karena terjangkit Covid-19. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Robby Kayame memperjelas kondisi yang lebih riil di lapangan.

“Di Jayapura saja, misalnya, ada 10 sampai 15 orang yang meninggal [karena Covid-19] tiap malam,” ujarnya kepada reporter Tirto, Sabtu (24/7/2021).

Berdasarkan rekapitulasi Satgas Covid-19, per 2 Agustus 2021, jumlah kasus positif di Papua menyentuh kisaran 27 ribu, atau setara dengan 0,8 persen dari angka nasional. Daerah yang menyumbang kasus terbanyak antara lain Jayapura (1.841 kasus), Biak Numfor (1.155), Mimika (1.061), Kabupaten Jayapura (740), Jayawijaya (384), hingga Merauke (351).

Statistik di atas, menurut Robby, kemungkinan besar jauh lebih tinggi ketimbang yang tercatat lantaran masih lemahnya lacak dan tes, yang berkelindan dengan faktor sosial—seperti ketidakpercayaan terhadap Covid-19—maupun geografis.

Masalah lainnya yang muncul: krisis pasokan oksigen medis. Selain itu, menyebarnya varian Delta Covid-19 yang menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan: sulit dikendalikan. Berdasarkan data GISAID, terdapat 10 temuan varian Delta di Papua.

Ironisnya, kesiapan di lapangan masih buruk. Ini bisa dilihat dari fasilitas kesehatan yang ada. Di Papua, hanya tersedia 16 RS rujukan Covid-19 dari total 45 RS yang ada. Berdasarkan data Siranap, per hari ini pukul 00.30, sebanyak 10 rumah sakit penuh. Bahkan terdapat antrian 9 calon pasien di RS Dian Harapan dan 4 di RS Umum Daerah Kabupaten Mimika.

Infografik HL Indept Faskes Kolaps

Infografik HL Indept Faskes Kolaps di Papua. tirto.id/lugas

Selain penuh, rata-rata RS di Papua hanya berstatus C dan D. RSUD Merauke, berstatus RS kelas C, hanya punya 10 kamar khusus Covid-19 di IGD dan 6 ICU untuk tekanan negatif dengan ventilator. Padahal seluruh temuan varian Delta ada di daerah ini. Sampai pada akhirnya, RS ini sempat menutup layanan IGD dan ruang bersalin karena sejumlah tenaga kesehatan mereka terjangkit Covid-19.

Ketersediaan tenaga kesehatan juga berbanding lurus dengan minimnya fasilitas yang ada di setiap RS. Di RSUD Merauke misalnya, hanya memiliki 26 dokter umum, 2 dokter spesialis penyakit dalam, dan 2 dokter spesialis radiologi. Sedangkan RSUD Paniai memiliki 9 dokter umum dan satu dokter spesialis penyakit dalam. RSUD Paniai ini juga sempat menutup pelayananya karena 48 tenaga kesehatannya terpapar Covid-19.

Di level sistem kesehatan paling bawah, Puskesmas, situasinya jauh lebih miris. Berdasarkan catatan Kemenkes, hampir 200 puskesmas tidak memiliki dokter. Laporan yang pernah dihimpun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) turut memperlihatkan kenyataan serupa. Pada medio 2016 sampai 2017, proses rekrutmen dokter umum di beberapa daerah di Papua tidak menarik banyak pihak. Estimasinya, Papua kekurangan sekitar lebih dari 3.000 tenaga kesehatan.

Koordinator KontraS Papua Sam Awom menyampaikan kesaksiannya: Di daerah pedalaman Papua, bangunan Puskesmas kosong, tidak ada perawat, dan malah dipakai jadi kandang binatang.

Prioritaskan Kesehatan daripada Infrastruktur Non-Medis

Baru-baru ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), lewat TA 2021, menyediakan Rp6,12 triliun untuk membangun jalan, jembatan, perumahan, hingga penyelenggaraan PON. Rencananya PON XX Papua akan digelar Oktober tahun ini. Semula PON akan dilaksanakan Oktober tahun 2020 namun ditunda. Kali ini tetap akan digelar meski kasus Covid-19 lebih banyak daripada tahun lalu.

Gubernur Papua Lukas Enembe sempat mendeklarasikan akan melakukan lockdown, menutup akses keluar dan masuk, mulai 1 Agustus 2021. Namun Jakarta, pemerintah pusat mencampuri urusan daerah yang memiliki otonomi khusus (Otsus) ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta, jangan lockdown tetapi PPKM level 4. Pemerintah provinsi Papua akhirnya menganulir rencananya sendiri dan mematuhi Karnavian.

Padahal, kata Sam Awom, lockdown harusnya menjadi prioritas. Sebab saat ini penyebaran virus di Papua kencang sementara fasilitas kesehatan belum cukup maksimal untuk menghalaunya.

“Pemerintah harus tahu bahwa kondisinya tidak ideal. Yang perlu diperhatikan adalah fasilitas kesehatan di Papua cukup rentan,” ujarnya ketika dihubungi reporter Tirto.

Sedangkan Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University menegaskan, kondisi Papua akan semakin rawan jika PON XX tetap digelar saat positivity rate masih di atas 10 persen, seperti halnya saat ini.

“Ini bicara soal kematian yang lebih banyak kalau tidak diantisipasi, meski kasusnya tidak banyak karena faktor demografis,” ujarnya.

Di sisi lain, kata Budiman, tes, lacak, serta vaksinasi harus dilakukan secara masif dan agresif. Ini agar kejadian buruk dapat dicegah. Dia berharap, jangan sampai kejadian di Jawa dan Bali terulang di Papua.

“Mengingat fasilitas kesehatan di Papua banyak yang memadai, maka langkah itu perlu dilakukan dengan baik karena kalau tidak dampaknya akan jauh lebih besar ketimbang Jawa,” ujarnya.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menegaskan, sebelum pandemi Covid-19, ada malaria dan kusta yang susah dikendalikan di Papua. Bahkan sekarang kondisinya semakin memburuk.

Di Nabire, bahkan ada satu kampung yang masyarakatnya kena kusta. Situasi itu belum tertangani sebelum pandemi. Sekarang, kondisinya lebih kompleks karena salah satunya tenaga kesehatan yang terbatas,” terang Elisabeth.

Berdasarkan data Kemenkes, angka kesakitan akibat malaria paling tinggi ada di Papua, 64,03 per 1.000 penduduk, melebihi angka nasional. Sedangkan kusta, dari 2015 sampai 2017, angka kasus berada di sekitar 900 hingga 1.000, dengan NCDR—penemuan kasus baru—menyentuh masing-masing 34,42 persen (2015), 39,5 persen (2016), dan 29,65 persen (2017). Statistik tersebut bikin Papua diganjar predikat daerah high burden (beban kusta tinggi).

Meski begitu, pendekatan pemerintah sering kali tidak menjawab kebutuhan yang ada. Alih-alih memperbaiki fasilitas kesehatan beserta segala instrumennya, pemerintah justru menggenjot pembangunan infrastruktur.

“Kesehatan itu sektor prioritas, yang menentukan maju atau mundurnya IPN [Indeks Pembagunan Nasional] selain pendidikan. Di Papua, melihat faktor tangible seperti sistem kesehatan dan intangible seperti kelembagaan dan jaringan, sektor kesehatan tidak maju secara maksimal,” ujarnya,.

Urusan pandemi di Papua cukup kompleks dan pemerintah sayangnya merespons dengan taktik yang tak tepat sasaran. Ini juga terjadi pada kasus Otsus di mana gelontoran uang diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah—yang sayangnya tidak demikian.

“Pandemi ini membuka banyak kelemahan di berbagai sektor di Papua, utamanya kesehatan. Dan pemerintah seharusnya fokus ke situ,” pungkas Elisabeth.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Dieqy Hasbi Widhana