tirto.id - Kasus dugaan korupsi beasiswa Aceh tahun 2017 mangkrak. Penanganan kasusnya berlarut sejak tahun 2019. Uang beasiswa ini diduga dikorupsi dan menjadi bancakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari berbagai latar belakang partai politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap melakukan supervisi kasus ini.
Alfian, koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menegaskan, dugaan korupsi dilakukan para politisi, membuat penegak hukum memperlambat penanganan kasus ini.
"Kasus mangkrak ini bisa dilihat karena yang terlibat punya akses atau pengaruh politik sehingga aparat penegak hukum agak lambat atau sengaja memperlambat," kata Alfian kepada reporter Tirto, awal Agustus lalu.
Indikasi korupsi ini awalnya diendus Inspektorat Aceh. Mereka mewawancarai para penerima beasiswa Aceh dan menganalisis arus keuangan. Hasilnya, berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang kata Kepala Inspektorat Aceh Zulkifli, diserahkan ke Polda Aceh.
"Enggak ingat tanggalnya, tapi sudah lama. Berkas LHP sudah kami serahkan kepada penyidik tahun 2019," kata Zulkifli kepada reporter Tirto, Jumat (6/8/2021).
"Pentingnya sudah di Polda," lanjutnya, tanpa tahu perkembangan kasusnya.
Kemudian Polda Aceh bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh, melakukan audit investigasi Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN). Hasilnya, kata Kepala BPKP Aceh Indra Khaira Jaya, ditemukan kerugian negara senilai Rp10 miliar.
"Sudah final, kerugian lebih dari Rp10 miliar," kata Indra kepada reporter Tirto, Rabu (4/8/2021).
Sedangkan pagu anggaran yang dialokasikan untuk beasiswa ini Rp21,7 miliar. Ini artinya, ada 46,50 persen yang dikorupsi.
Dalam penanganan kasus ini, kata Indra, arus politiknya sangat tinggi. Sehingga tahun 2019 proses audit investigasi sempat terhenti. Masalah lainnya, ketika proses audit dilanjutkan, tenaga ahli anggota DPRA tidak kooperatif. Selain itu, ada pihak tertentu yang sengaja menyembunyikan dokumen penting dari BPKP Aceh.
"Itu yang buat [audit] lama," keluhnya.
BPKP Aceh dan penyidik Polda Aceh juga sudah memeriksa sekitar 600 saksi. "Ada juga saksi penerima beasiswa yang sudah jadi warga negara asing," tuturnya.
Walaupun berbagai data, saksi sudah diperiksa penyidik, hingga kini belum ada satupun tersangka. Hal ini menggerus kepercayaan publik terhadap penanganan korupsi oleh Polda Aceh. Kami sudah berupaya mengonfirmasi perkembangan kasus ini kepada Kabid Humas Polda Aceh Kombes Winardy, melalui pesan WhatsApp dan telepon lebih dari empat kali. Namun hingga laporan ini tayang, belum ada respons dari Winardy.
Menanggapi mangkraknya kasus beasiswa Aceh yang ditangani Polda Aceh, Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan, pihaknya akan melakukan pengawasan di lapangan.
"Saya teruskan ke Dirtipikor [Bareskrim Polri] untuk monitor dan bila perlu asistensi," kata Kabareskrim kepada reporter Tirto, Senin (9/8/2021).
Sedangkan Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan, pihaknya sudah menerima informasi mangkraknya kasus korupsi beasiswa Aceh. Dia bilang, KPK bisa melakukan supervisi.
"Benar perkara tersebut masih dalam proses supervisi KPK sebagaimana tugas pokok fungsi KPK dalam UU," kata Ali kepada reporter Tiirto, Selasa (10/8/2021).
Sebagai bentuk sinergi antar APH tentu KPK berharap melalui supervisi dan koordinasi perkara ini dapat tertuntaskan. Dia berujar, supervisi merupakan salah satu tugas pokok KPK.
“Perlu kami sampaikan bahwa pengambilalihan kasus tidak begitu saja dapat dilakukan,” tuturnya.
Enam Anggota DPRA Diperiksa di Tingkat Penyidikan
Dari dokumen yang kami dapatkan, setidaknya ada 24 nama anggota DPRA 2014-2019 yang mengusulkan 852 penerima beasiswa Aceh 2017. Penjaringan penerima beasiswa ini dilakukan secara tertutup dan berdasarkan usulan anggota DPRA. Jika mengacu pada pasal 20 peraturan Gubernur Aceh 58/ 2017, harusnya informasi beasiswa Aceh diumumkan secara resmi melalui kanal informasi pemerintah Provinsi Aceh.
Setiap anggota dewan, bisa mengusulkan ratusan orang. Iskandar Usman Al Farlaky misalnya, mengusulkan 341 orang atau 40 persen dari keseluruhan penerima beasiswa.
Sedangkan lainnya, Dedi Safrizal, anggota komisi II sekaligus ketua DPW PNA Kota Lhokseumawe mengusulkan 221 orang. Kemudian Muhammad Saleh, anggota komisi I dari Partai Golkar mengusulkan 54 orang. Lalu Yahdi Hasan, anggota komisi II mengusulkan 18 orang. Dari seluruh fraksi di DPRA, hanya kader PKB dan PKS tidak ada yang mengusulkan.
Bareskrim Mabes Polri telah melayangkan panggilan pemeriksaan anggota DPRA melalui Mendagri Tito Karnavian. Setidaknya ada enam anggota DPRA yang diperiksa dalam kasus korupsi beasiswa Aceh ini di tingkat penyidikan. Mereka adalah Iskandar Usman Al Farlaky, Yahdi Hasan, Zulfadli, Asrizal H. Asnawi, dan Asib Amin.
Saat dikonfirmasi, Iskandar Usman Al Farlaky tidak membantah maupun membenarkan keterlibatannya dalam kasus ini. "Prosesnya sekarang di Polda [Aceh], jadi silakan tanya kepada penyidik," katanya kepada reporter Tirto, Senin (9/8/2021).
Begitu pula dengan Muhammad Saleh, ia tak membantah maupun membenarkan. "Semua sudah ditangani Polda Aceh, tinggal konfirmasi ke polda saja," katanya singkat kepada reporter Tirto, Kamis (12/8/2021).
Sedangkan Yahdi Hasan membantah, "Saya tidak pernah melakukan pemotongan dana tersebut dan tuduhan kepada saya adalah tidak benar adanya.”
Alfian menekankan, ada dugaan penegak hukum tebang pilih. Jika terduga koruptor tak memiliki jaringan atau jabatan tertentu, kasus akan diproses lebih cepat. Namun apabila melibatkan politisi atau pengusaha yang berpengaruh, seperti dalam kasus ini, penanganan akan lambat.
"Kita enggak tahu alasan belum ditetapkan tersangka sekarang. Kalau dulu alasan [belum ada tersangka] karena belum ada audit, sekarang sudah keluar audit BPKP, bahkan diumumkan kerugian negara," ujar alfian.
Selain itu, kata Alfian, Komisi I DPRA memiliki kewenangan pengawasan di bidang hukum. Akan tetapi tidak ada yang menggunakan kewenangan tersebut untuk mendorong penegakan hukum di Aceh, khususnya korupsi. Kondisi ini memperlihatkan ada conflict of interest sebab pelakunya diduga melibatkan anggota dewan di komisi tersebut.
"Komisi I tidak pernah ngomong terkait masalah korupsi ini sehingga banyak pihak mempertanyakan peran komisi I," ujarnya.
Modus Pemotongan Rp28 Juta Uang Beasiswa Per Orang
Hamatan Alim, mahasiswi Magister Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala awalnya tak mengetahui besaran bantuan beasiswa Aceh Rp35 juta. Dia baru mengetahuinya, setelah Inspektorat Aceh memanggilnya untuk melakukan pemeriksaan. Selama ini, ia hanya tahu beasiswa Aceh sebesar Rp7 juta, sesuai dengan yang ia terima.
Dia mengungkapkan, ketidaktahuan itu dikarenakan buku rekening, ATM, beserta pin diserahkan langsung kepada pihak yang mengurus beasiswa alias “penghubung” atau istilah lainnya “koordinator”. Sehingga Alim tak bisa mengetahui dana yang masuk rekeningnya. Alim hanya menerima uang beasiswa secara tunai dalam amplop yang diserahkan “penghubung” kepadanya.
"Kemarin itu kami pada lugu alias polos semua sama teman. Cuma kasih cash, itu aja. Ketika tahu nilainya beasiswa segitu [Rp35 juta], kecewa banget," kata Alim kepada reporter Tirto, Rabu (4/8/2021).
Seorang “penghubung” ini memiliki peran penting dalam kasus pemotongan beasiswa. Jadi, usulan nama penerima beasiswa ditentukan anggota DPRA. Sedangkan “penghubung”, merupakan kaki tangan anggota DPRA. Umumnya berasal dari kerabat, adik ipar, atau bahkan anak kandung. Tugas “penghubung” ini, pada akhirnya memotong beasiswa perorangan dengan jumlah yang bervariasi, dari Rp10 juta hingga Rp28 juta.
Kasus Alim merupakan salah satu modus pemotongan beasiswa. Berdasarkan penelusuran kami, modus lainnya berupa: “penghubung” meminta uang secara tunai kepada mahasiswa dan bahkan ada yang membuat rekening atas nama mahasiswa secara sepihak.
Selain itu, penerima beasiswa Aceh lainnya, Eko Setya Nugraha kesal karena “penghubung” meminta duit beasiswa itu segera ditransfer kembali. Jika Eko tak melakukannya, ia akan dihubungi “penghubung” melalui pesan WhatsApp dan telepon secara beruntun.
"Kami kesal, hanya dapat 20 persen dari Rp35 juta. Ini korbannya bukan satu, banyak. Kalau 50:50 mungkin penerima masih legowo, ini terlalu jomplang," kata Eko kepada reporter Tirto, Jumat (6/8/2021).
Berdasarkan penelusuran kami, berdasarkan uji petik Inspektorat Aceh, salah satu yang bertugas sebagai “penghubung” di Program Magister Manajemen FEB Unsyiah adalah Muhammad Yusuf. Dia merupakan mahasiswa magister manajemen FEB Unsyiah angkatan 69. Yusuf, satu dosen pembimbing dengan mahasiswa penerima beasiswa Aceh lainnya, Arjanri Roza Nizar dan Elvita Mauliana.
Kami mendapatkan informasi, Yusuf ini terkoneksi dengan Politikus Partai Aceh Iskandar Usman Al Farlaky. Saat dikonfirmasi, Al Farlaky justru membantah mengenal Yusuf.
"Saya tidak tahu. Maaf, saya lagi ada kegiatan pansus di dapil," jawab Al Farlaky, singkat.
Jawaban itu itu bertolak belakang dengan temuan kami. Rekam jejak digital menunjukan kedekatan antar keduanya. Akun Facebook Yusuf, bernama Yusuf Asy Syuhada, ia berasal dari Peureulak, Aceh Timur, satu daerah dengan Al Farlaky. Kami mengonfirmasi ke sejumlah penerima beasiswa dengan menunjukan foto Yusuf Asy Syuhada. Mereka sebut Yusuf Asy Syuhada dengan Muhammad Yusuf adalah orang yang sama.
Yusuf, rajin memposting kegiatan Al Farlaky baik pada masa kampanye, kunjungan dapil, hingga kegiatan di DPRA. Salah satu postingan Yusuf, "anggota DPRA Iskandar Usman Al Farlaky menjemput kepulangan adek-adek nelayan yang ditahan kerajaan Thailand, mereka juga dijamu sarapan pagi oleh sekretaris komisi V ini."
Postingan lainnya, "selamat hari milad pak ketua," yang dikomentari langsung Al Farlaky, "terima kasih adik atas ucapan dan doanya.” Kami berupaya konfirmasi terkait keterlibatannya Yusuf dalam kasus beasiswa Aceh ini melalui pesan privat Facebook. Sampai laporan ini tayang, Yusuf belum merespons.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Dieqy Hasbi Widhana