tirto.id - Ketika menjabat menjadi bupati Sorong, Johny Kamuru, mendapatkan warisan berupa izin delapan perusahaan kelapa sawit yang sudah diteken. Lima di antara delapan izin perusahaan tersebut ia cabut sejak tahun lalu. Menurutnya, berbagai perusahaan tersebut melanggar aturan.
“Keputusan ini semua melalui kajian secara menyeluruh dengan pertimbangan yang matang,” kata Johny Kamuru.
Beberapa perusahaan yang ia cabut iziinya, ialah: PT Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, PT Sorong Agro Sawitindo, PT Cipta Papua Plantation, dan PT Mega Mustika Plantation.
Tujuan utama dari pencabutan izin berbagai perusahaan itu, bagi Kamuru, selain mendengar masukan dari suku Moi, ia berusaha melindungi hak masyarakat adat dan masa depan alam Papua Barat. Sebab menurutnya, kehadiran kelapa sawit merusak lingkungan. Habitat di hutan yang terusir, mempersulit masyarakat untuk bertahan hidup.
“Masyarakat punya air yang menjadi kehidupan mereka di sekitar areal kampung, sekarang dengan adanya kelapa sawit airnya menjadi kering. Flora dan fauna yang ada di hutan sudah lari, jadi susah bagi masyarakat,” ujarnya.
Langkah progresif Kamuru mendapat dukungan yang kuat. Dukungan mengalir mulai dari Majelis Rakyat Papua Barat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Pemuda Adat Papua Wilayah III Doberai, Green Peace Indonesia, Wakil Ketua I Komie I DPD RI Filep Wamafma, sampai Keuskupan Manokwari-Sorong.
“Apalagi masyarakat Papua punya kehidupan itu benar-benar tergantung kepada alam. Kalau rusak, ya masyarakat kesulitan untuk mempertahankan hidup yang lebih baik, yang lebih layak,” tuturnya.
Hasilnya, Kamuru digugat oleh tiga perusahaan kelapa sawit di PTUN Jayapura. Namun ia tak takut dan menegaskan, tanah itu akan dia bagikan ke masyarakat adat sebagai hak ulayat dan sebagian lainnya dijadikan hutan sosial.
“Ini adalah celah yang tepat, sesuai di aturan untuk membela hak masyarakat. Apalagi kami didukung Undang-Undang, pengakuan hak asasi manusia, kelanjutan pembangunan, dukungan alam yang ada,” ungkapnya.
Berikut perbincangan lengkap antara Haris Prabowo, reporter Tirto.id dengan Johny Kamuru, Kamis (2/9/2021):
Apa benar ada delapan izin konsensi perusahaan sawit di sana, ketika awal Anda menjabat?
Iya, waktu saya menjabat memang ada delapan perusahaan kepala sawit yang ada di sana. Satu yang kami sudah cabut di tahun lalu. Kemudian tersisa tujuh.
Delapan itu izinnya sebelum era Anda?
Benar.
Ketika era Bapak, apakah ada izin baru yang terbit?
Tidak ada.
Dari delapan, ada satu yang dicabut pada 2020, kemudian pada 2021 itu ada berapa izin yang dicabut?
Pada 2021 itu ada empat. Itu PT Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, PT Sorong Agro Sawitindo, PT Cipta Papua Plantation.
Ada satu lagi kah, itu PT Mega Mustika Plantation?
Itu yang tahun lalu dicabut.
Secara garis besar, apa saja masalah dari berbagai perusahaan ini sampai izinnya dicabut?
Itu memang karena berdasarkan hasil evaluasi aturannya. Kemudian memang ketiga perusahaan ini melanggar beberapa poin yang sebetulnya diisyaratkan dalam izin-izin. Jadi yang paling dasar adalah terkait perolehan tanah dan realisasi pembangunan kebun yang tidak dilaksanakan hingga jangka waktu yang telah diberikan. Izin yang diberikan memang tidak dipergunakan secara baik, terkesan itu ditelantarkan.
Memang ada beberapa perusahaan yang belum beroperasi?
Perusahaan yang belum beroperasi sesungguhnya itu ada satu atau dua.
PT Mega Mustika Plantation yang izinnya Bapak cabut tahun lalu, itu luasan tanahnya berapa?
Sekitar 30.000 hektare. Itu ada di daerah sebuah lembah di daerah Distrik Mega dan Distrik Klaso.
PT Cipta Papua Plantation itu kan totalnya 15 ribu hektare, itu di mana areanya?
Itu lokasinya di daerah Distrik Sayosa dan sekitarnya.
Nah yang PT Inti Kebun Lestari itu kan 34 ribu hektare, itu lokasinya di mana?
Itu di daerah Distrik Klaso dan Distrik Segun.
Kalau PT Sorong Agro Sawitindo itu benar 48 ribu hektare?
Iya. Itu lokasinya daerah Distrik Seget dan Distrik Segun.
Kemudian PT Papua Lestari Abadi itu 15 ribu hektare?
Iya. Itu juga sebetulnya di daerah Distrik Klamono sampai arah ke Distrik Segun juga.
Sejauh ini ada berapa perusahaan yang menggugat keputusan Anda ke PTUN?
Ada tiga perusahaan yang menggugat. Itu dari empat perusahaan yang kami cabut izinnya.
Saya cek di PTUN Jayapura, itu cuma dua: PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi. Itu satu lagi apa?
Yang satu lagi itu PT Inti Kebun Lestari.
Anda sudah mencabut izin berbagai perusahaan ini, selanjutnya tanahnya akan diapakan? Apakah akan dikembalikan ke masyarakat adat?
Iya. Kami akan kembalikan ke masyarakat adat sesuai dengan peruntukkan. Kami harus serahkan ke hak ulayat, masyarakat adat.
Apakah memang ada proses untuk pembagian tanah ulayat ke marga-marga, itu kan desakan dari ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi?
Iya. Itu karena memang ada Perda perlindungan masyarakat adat. Itu juga sudah diatur di dalam peraturan tersebut. Sehingga saya pikir ini hal yang wajar ya. Kami juga melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan dan aturan yang ada. Misalnya skema area eks izin konsensi yang berstatus HPK [Hutan Produksi yang dapat dikonversi] akan kami dorong menjadi perhutanan sosial. Sedangkan yang berstatus APL [Area Penggunaan Lain] akan kami dorong menjadi hutan adat dan tanah objek reforma agraria ya. Tetapi tetap ujungnya adalah untuk kepentingan masyarakat adat.
Langkah mencabut izin-izin perusahaan sawit ini diapresiasi oleh banyak pihak. Anda dianggap berani mengambil kebijakan yang cukup progresif. Apakah karena Anda ini salah satu anak masyarakat adat Moi?
Iya. Saya pikir itu memang salah satu poin. Kemudian setelah mempertentangkan, saya merasa bahwa kapan lagi? Ini adalah celah yang tepat, sesuai di aturan untuk membela hak masyarakat. Apalagi kami didukung Undang-Undang, pengakuan hak asasi manusia, kelanjutan pembangunan, dukungan alam yang ada. Sehingga ini menjadi pertimbangan yang tepat untuk menyampaikan diatur dan dijamin Undang-Undang, kami harus mencabut. Kerja bupati ini kan melayani masyarakat kan.
Apa Bapak tidak takut berbenturan dengan Pemerintahan Provinsi atau Kementerian?
Takut seperti apa ya? Kalau ada di jalur yang benar, tetap di pihak yang benar, saya pikir cepat atau lambat kebenaran akan menjadi pemenang. Itu saya punya keyakinan ya. Itu keyakinan dengan hati. Selain itu secara iman, saya percaya Tuhan yang saya sembah akan melindungi saya dan memberkati masyarakat adat Kabupaten Sorong. Kecuali kalau kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan untuk kepentingan diri sendiri atau melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat. Tetapi saya pikir keputusan ini semua melalui kajian secara menyeluruh dengan pertimbangan yang matang.
Selain gugatan hukum setelah pencabutan izin perusahaan, ada intimidasi atau ancaman yang Anda dapatkan?
Sejauh ini belum.
Ada berbagai protes terkait perkebunan sawit di Papua Barat. Sebagai anak masyarakat adat Moi, menurut Anda apa dampak terburuk yang paling nyata dialami masyarakat adat ketika ekspansi sawit besar-besaran?
Dampak buruk dari kehadiran kelapa sawit itu flora dan fauna, habitat yang ada, dulu masyarakat berburu bisa mendapatkan hasil hutan yang gampang. Tetapi dengan adanya kelapa sawit sudah tidak bisa. Masyarakat punya air yang menjadi kehidupan mereka di sekitar areal kampung, sekarang dengan adanya kelapa sawit airnya menjadi kering. Flora dan fauna yang ada di hutan sudah lari, jadi susah bagi masyarakat. Apalagi masyarakat Papua mereka punya kehidupan itu benar-benar tergantung kepada alam. Kalau rusak, ya masyarakat kesulitan untuk mempertahankan hidup yang lebih baik, yang lebih layak.
Salah satu alasan masyarakat adat mempertahankan hutan karena mereka banyak menemukan obat-obatan tradisional di sana. Itu menjadi salah satu alasan penolakan kelapa sawit?
Iya, benar.
Jumlah masyarakat adat Moi di Sorong itu ada berapa?
Kami sebetulnya belum punya data soal ini. Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab kami. Tetapi kalau kita lihat per wilayah kecamatan atau kampung, kurang lebih setengah dari jumlah penduduk Kabupaten Sorong yang sekitar 117 ribu.
Sejauh ini bagaimana proses program vaksinasi untuk masyarakat adat di sana?
Ini yang menjadi persoalan. Kalau masyarakat adat atau masyarakat yang tidak heterogen di kecamatan-kecamatan yang ada di pusat kota, pusat pemerintahan, itu ada mereka yang secara sukarela untuk mengikuti vaksinasi, proaktif. Tetapi masyarakat adat yang ada di pinggiran kecamatan, kampung-kampung jauh, mereka malah menghindar tidak mau divaksin. Ini menjadi problem pemerintah untuk menyadarkan mereka. Mereka anggap ini hanya hal yang menakutkan dan vaksin berbahaya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana