Menuju konten utama

DPR: UU TPKS Sudah Bisa Digunakan Aparat Penegak Hukum

Jika dipandang perlu, Badan Legislasi DPR dapat membentuk Panja Pemantauan dan Peninjauan Pelaksanaan UU TPKS.

DPR: UU TPKS Sudah Bisa Digunakan Aparat Penegak Hukum
Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya, tirto.id/Bayu

tirto.id - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya mengungkapkan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa langsung diterapkan dan digunakan oleh aparat penegak hukum (apgakum) dalam proses penyidikan suatu kasus. Proses penegakkan hukum bisa menggunakan delik pidana atau hukum acara sebagaimana yang diatur dalam UU TPKS.

“Panja telah selesai melaksanakan tugasnya setelah pengambilan keputusan dalam pembicaraan tingkat I di Badan Legislasi bersama pemerintah. Selanjutnya seluruh pihak, mulai dari anggota DPR baik secara perorangan maupun sesuai dengan penugasan di komisi terkait, sama-sama melakukan pengawasan dalam pelaksanaan UU TPKS,” kata Willy dalam rilis tertulis pada Rabu (29/6/2022).

Willy menerangkan bahwa kewenangan DPR adalah sebagai fungsi pengawasan dalam upaya penegakkan UU TPKS. Selain itu juga menjadi pengawas anggaran, dan legislasi, sebagaimana tugas dan fungsi DPR. Fungsi pengawasan dapat langsung dilakukan oleh komisi terkait begitu UU TPKS diundangkan.

“Jadi misalnya, Komisi 8. Dia bisa mengawasi dan memastikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah membentuk UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota dan provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU TPKS paling lambat 3 tahun. Kemudian memastikan dibentuknya dana bantuan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU TPKS dengan Peraturan Pemerintah,” jelas Willy.

Willy menegaskan kepada pemerintah untuk membentuk pelayanan terpadu sebagai bentuk hak korban dalam proses penanganan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

“Selain itu, mereka juga bisa memastikan pemerintah untuk membentuk pelayanan terpadu sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 72-75 yang diatur dengan Peraturan Presiden; memastikan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban,” terang Willy.

Willy meminta Komisi III untuk menjadi pengawas bagi aparat penegak hukum dalam penggunaan UU TPKS. Selain itu Komisi III berkewajiban memastikan dibentuknya unit khusus pengaduan korban tindak pidana kekerasan seksual di seluruh struktur kepolisian dan kejaksaan; dan juga memastikan LPSK agar langsung berkolaborasi dengan aparat penegak hukum agar hak korban terpenuhi.

“Demikian juga Komisi 9. Mereka bisa mengawasi dan memastikan visum dan layanan Kesehatan diberikan oleh rumah sakit dan unit layanan kesehatan lainnya dengan pendanaan yang disediakan dari APBN dan APBD sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 87 UU TPKS,” tambah Willy.

Adapun komisi lainnya, menurut Willy, dapat memastikan kepada mitra-mitra di komisinya agar membentuk unit atau peraturan internal yang bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual di lembaga masing-masing.

Di bidang anggaran, DPR juga bisa mengoptimalkan fungsi anggarannya dengan memastikan alokasi anggaran untuk pelaksanaan UU TPKS bisa berjalan dengan baik, melalui rapat-rapat mengenai penentuan anggaran dengan lembaga kementerian dan non-kementerian terkait.

Adapun fungsi legislasi, dapat dilakukan oleh Badan Legislasi sebagaimana menjadi tugas dan fungsinya dalam melakukan pemantauan dan peninjauan undang-undang. Secara khusus, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 91 UU TPKS, peraturan pelaksanaan dari UU TPKS harus telah ditetapkan paling lambat 2 tahun setelah diundangkan dan pemerintah pusat harus melaporkan pelaksanaan UU TPKS kepada Badan Legislasi paling lambat 3 tahun setelah diundangkan.

“Jika dipandang perlu, Badan Legislasi dapat membentuk Panja Pemantauan dan Peninjauan Pelaksanaan UU TPKS apabila dalam pelaksanaan UU TPKS pemerintah tidak membentuk peraturan pelaksana dari UU TPKS tepat waktu dan/atau amanat UU TPKS tidak dilakukan sebagaimana mestinya,” kata Willy.

Di sisi lain, lanjutnya, terdapat lima Peraturan Pemerintah dan lima Peraturan Presiden yang harus dibentuk berdasarkan amanat UU TPKS. Untuk PP misalnya, PP dana bantuan korban, PP penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yg bermuatan TPKS, PP tentang tata cara penanganan, perlindungan dan pemulihan korban, PP tentang penyelenggaraan pencegahan TPKS, serta PP koordinasi dan pemantauan TPKS.

Adapun untuk Perpres, dibutuhkan Perpres tentang tim terpadu penilaian penyediaan layanan, Perpres tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu di tingkat pusat, Perpres tentang UPTD PPA, Perpres tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk APH dan tenaga layanan, serta Perpres tentang kebijakan nasional tentang pemberantasan TPKS.

“Selain itu, DPR dan pemerintah, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat melakukan sosialisasi UU TPKS kepada seluruh pemangku kepentingan dan warga masyarakat agar UU TPKS dapat optimal dilaksanakan,” pungkas Willy.

Baca juga artikel terkait UU TPKS atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Hukum
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky