tirto.id - Komnas Perempuan menyebut masih menerima beberapa aduan terkait kekerasan seksual berbasis gender, khususnya pada perempuan, yang dibalut sebagai tradisi budaya lokal.
Salah satu contoh yang pernah diteliti Komnas Perempuan ialah pada tradisi ‘Kawin Tangkap’ di Sumba.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, ada penyimpangan dalam budaya yang masih menerapkan kekerasan seksual dalam tradisinya.
Kawin tangkap, jelas dia, menyebabkan pihak perempuan biasanya terpaksa untuk menjalankan tradisi tersebut sehingga harus menikah dengan laki-laki yang tak hendak ia pilih.
“Ada penyimpangan dari budaya setempat yang terkait dengan kawin tangkap,” ujar Satyawanti dalam peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2023 di Hotel Santika Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa (7/3/2023).
“Ini sebagai bagian dari pemaksaan perkawinan, di mana perempuan ditangkap dipaksa kawin dengan seseorang,” sambungnya.
Satyawanti menuturkan, bahwa memang ada kasus di mana pihak keluarga dari kedua belah pihak sudah melakukan persetujuan untuk melakukan kawin tangkap. Namun ia menyoroti, biasanya pihak perempuan yang akan menikah tidak mengetahui kesepakatan ini dan terpaksa mengikut kemauan dari keluarga.
“Atau ada persetujuan dua keluarga tanpa pengetahuan perempuan (yang akan menikah), kadang situasi ini oleh hukum diabaikan karena adanya persetujuan tadi jadi dianggap bisa diselesaikan tanpa jalur hukum, padahal tidak,” tegas Satyawanti.
Menurut Satyawanti, pemaksaan perkawinan bisa dijerat oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia menyatakan tradisi kawin tangkap di Sumba bisa dilaporkan sebagai tindakan melanggar hukum.
“Ada kasus seorang perempuan itu dia tidak ingin menikah dengan lelaki tersebut. Kemudian dalam UU TPKS ya itu tindakan pidana pemaksaan perkawinan. Dan sudah di proses hukum ya di daerah Sumba, itu sudah,” terang Satyawanti.
“Itu budaya memang, tapi itu penyimpangan,” pungkasnya.
Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2022. Pada Pasal 10 Ayat (1) UU TPKS dijelaskan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.
Termasuk pemaksaan perkawinan yakni perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan yang dirinci dalam Pasal 10 Ayat (2).
Sementara itu, data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38,21 persen) dan diikuti oleh kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72 persen).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri