tirto.id - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebut terdapat tiga dosa besar pendidikan selama 2022. Tiga dosa besar tersebut, yakni: kasus perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Data yang dikumpulkan FSGI, diperoleh jumlah total kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang sampai proses hukum pada 2022, total sejumlah 17 kasus. Terjadi penurunan sedikit dibandingkan 2021 yang berjumlah 18 kasus.
Berdasarkan jenjang pendidikan, kasus kekerasan terjadi di jenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 kasus, SMP sebanyak 3 kasus, jenjang SMA 2 kasus, pondok pesantren 6 kasus, madrasah tempat mengaji/tempat ibadah 3 kasus, dan 1 tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD. Rentang usia korban antara 5 hingga 17 tahun.
Korban berjumlah 117 anak dengan rincian 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan pelaku total berjumlah 19 orang yang terdiri dari: 14 guru, 1 pemilik pesantren, 1 anak pemilik pesantren, 1 staf perpustakaan, 1 calon pendeta, dan 1 kakak kelas korban.
“Adapun rincian guru yang dimaksud di antaranya adalah guru pendidikan agama dan pembina ekskul, pembina OSIS, guru musik, guru kelas, guru ngaji, dan lainnya. Dari total 19 pelaku KS di satuan pendidikan, 73,68% berstatus guru,” kata Dewan Pakar FSGI, Retno Listiyarti melalui keterangan tertulis, Senin (2/1/2023).
Modus pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan di antaranya adalah mengisi tenaga dalam dengan cara memijat, memberikan ilmu sakti (khodam), dalih mengajar fikih akil baliq dan cara bersuci, mengajak menonton film porno, hingga pelaku mengirimkan konten pornografi melalui WhatsApp kepada anak korban yang meminjam buku di perpustakaan.
Sedangkan menurut wilayah kejadian terdiri dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Bekasi dan Kota Depok, Jawa Barat; Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan Kabupaten Kediri, Jawa Timur; Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Banten; Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, Jawa Tengah; Kabupaten Karimun, Kepulauan Rian dan Kabupaten Alor, NTT.
Kasus kekerasan seksual yang menimbulkan jumlah korban terbesar 2022, yaitu mencapai 45 siswi. “Bahkan 10 di antaranya diduga mengalami perkosaan, terjadi di salah satu SMPN di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pelaku adalah guru agama yang juga menjabat sebagai pembina OSIS," ucapnya.
Kasus Perundungan atau Bullying
Kemudian terdapat kasus perundungan berupa bully dan kekerasan fisik yang terjadi di dunia pendidikan. Baik yang dilakukan oleh pendidik maupun sesama peserta didik, bahkan sampai korban meninggal dunia.
Seperti kematian salah satu santri di Ponpes Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur yang meninggal pada 22 Agustus 2022, karena diduga ada tindak kekerasan yang dilakukan kakak kelasnya.
“Bahkan ada seorang santri di salah satu ponpes di Rembang yang disiram pertalite dan dibakar kakak kelasnya saat sedang tidur, hingga korban mengalami luka bakar yang parah,” ungkap Retno yang pernah menjabat Kepala SMAN 3 Jakarta.
Komisioner KPAI ini menuturkan, kekerasan fisik dan pembullyan masih terus terjadi di satuan pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dikarenakan dalih mendisiplinkan.
Jika merujuk pada kasus-kasus perundungan yang terjadi sepanjang 2022, alasan mengapa guru mendisiplinkan dengan kekerasan, yaitu peserta didik ribut saat di kelas, siswa tidak mengembalikan buku cetak yang dipinjamkan sekolah, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru, dan siswa tidak ikut pembelajaran.
“Namun pelaku perundungan di satuan pendidikan selama 2022 lebih didominasi peserta didik terhadap peserta didik lainnya,” tuturnya.
Kasus Intoleran
Menurut pemantauan Sekjen FSGI, Heru Purnomo, kondisi saat ini literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik. Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.
FSGI mencatat sejak 2014 sampai 2022 terdapat sejumlah kasus intoleransi yang terjadi di satuan pendidikan, seperti pelarangan peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala sebanyak 6 kasus (2014-2022); pemaksaan (mewajibkan) peserta didik menggunakan jilbab/kerudung sejumlah 17 kasus (2017-2022); diskriminasi kesempatan peserta didik dari agama minoritas untuk menjadi Ketua OSIS ada tiga kasus (2020-2022); dan kewajiban sholat dhuha sehingga sejumlah peserta didik perempuan harus membuka celana dalamnya untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan benar sedang haid/menstruasi sejumlah dua kasus (2022).
Kasus-kasus tersebut terjadi di Rokan Hulu (Riau), Banyuwangi (Jawa Timur), Sragen (Jawa Tengah), Bantul dan Gunung Kidul (DI Yogjakarta), Kota Padang (Sumatera Barat), Kota Tangsel (Banten), Kota Depok, Kabupaten Bogordan Kab. Bandung (Jawa Barat), Denpasar dan Singaraja (Bali), Maumere (NTT), Manokwari (Papua), dan DKI Jakarta.
Ia sebut sekolah negeri merupakan lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh negara dan dioperasikan menggunakan anggaran negara secara langsung maupun tidak, baik melalui APBD maupun APBN yang dihimpun dari pembayaran pajak yang disetorkan oleh seluruh warga negara yang beragam.
“Umumnya sekolah-sekolah negeri siswanya pasti beragam agama, suku dan status sosial, oleh karena itu kebijakan sekolah negeri juga harus menghargai keberagaman, tidak menyeragamkan,” kata Heru yang juga Kepala SMPN di Jakarta.
Heru menuturkan, seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang memaksakan siswinya memakai jilbab. Sebab hal itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, dirawat dan dikokohkan.
“Apalagi pendidikan secara prinsip harus berorientasi pada kepentingan siswa, non-kekerasan dari simbolik, verbal hingga tindak kekerasan lainnya," tuturnya.
Atas kondisi tersebut, FSGI meminta kepada satuan pendidikan harus memberikan jaminan perlindungan dan rasa aman kepada semua anak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 54 UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di satuan pendidikan.
FSGI mendorong Kemendikbudristek, Kementerian Agama, dan dinas-dinas pendidikan untuk bersinergi melakukan pembenahan sumber daya manusia dan perubahan mindset tenaga pendidik terkait bahayanya kekerasan terhadap anak, mengingat pendekatan kekerasan dalam pendidikan sering kali ditiru anak-anak untuk melanggengkan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, pendekatan dalam pembelajaran harus ramah anak dan berbasis disiplin positif.
FSGI juga mendorong semua stakeholder pendidikan, baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat untuk memperkuat dan menciptakan tiga area dalam ekosistem pembelajaran harus berintegrasi, artinya selain pihak sekolah, peran keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus mendukung pencegahan kekerasan.
“FSGI mendorong sistem pelatihan bagi pendidik dan kepala sekolah secara masif dan berkesinambungan untuk menginternalisasi dan penguatan skill bangaimana mengembangkan literasi dan moderasi beragama dilingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas,” kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz