Menuju konten utama

Larangan Mencegah & Wajib Berjilbab di Sekolah Memupus Intoleransi

Penegakan aturan jadi tantangan terhadap SKB 3 Menteri berisi larangan memaksa dan mewajibkan seragam agama tertentu di sekolah negeri.

Larangan Mencegah & Wajib Berjilbab di Sekolah Memupus Intoleransi
Ilustrasi siswi sekolah mengenakan jilbab. Foto/ANTARA FOTO/Regina Safri/aww/16.

tirto.id - Sejak Indonesia merdeka, aturan seragam sekolah negeri berubah-ubah, terutama menyangkut jilbab. Sempat dilarang berjilbab pada dekade 1970-an, muncul kebijakan wajib jilbab pada 1990-an di sekolah negeri hingga kini. Namun, ke depan situasi akan berubah lewat aturan baru.

Tiga menteri Jokowi menerbitkan regulasi baru yang melarang mewajibkan sekaligus melarang pengekangan pemakaian seragam "agama tertentu" kepada siswa hingga guru.

Ketiga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani aturan bersama.

“Institusi sekolah tidak boleh lagi mewajibkan siswa maupun tenaga kependidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. Agama apa pun itu. Penggunaan seragam sekolah dengan atribut keagamaan di sekolah negeri merupakan keputusan murid dan guru sebagai individu,” kata Nadiem dalam penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri secara daring di Jakarta, Rabu (3/2/2021), melansir Antara.

Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri memuat enam aturan:

  1. Regulasi seragam hanya berlaku untuk sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah daerah;
  2. Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: a) seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau b) seragam dan atribut dengan kekhususan agama;
  3. Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama;
  4. Pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan;
  5. Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar: a) Pemerintah daerah memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan. b) Gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota. Kemendagri memberikan sanksi kepada gubernur Kemendikbud memberikan sanksi kepada sekolah terkait Bantuan Operasional Sekolah dan bantuan pemerintah lainnya. c) Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. d) Kemenag melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi;
  6. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan terkait pemerintahan Aceh.
Mendagri Tito mengatakan tujuan SKB untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Keutuhan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut dia, aturan ini merupakan perhatian pemerintah terhadap kualitas sesuai nilai-nilai Pancasila, menjunjung toleransi.

Tito juga mengatakan jenjang pendidikan SD hingga SMP negeri dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, sedangkan SMA dijalankan di bawah pemerintah provinsi.

Tantangan Peraturan

Terbitnya regulasi seragam di sekolah muncul di tengah polemik pemaksaan jilbab terhadap siswi Kristen di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Bukan hanya di Sumbar, pewajiban jilbab ditemui di berbagai daerah.

Pada 2017 muncul pewajiban jilbab di Banyuwangi, Jawa Timur. Setahun kemudian, muncul imbauan berjilbab di sekolah negeri di Riau. Kemudian, pada 2019, ada aturan siswa SD negeri di Gunungkidul, D.I. Yogyakarta untuk memakai jilbab. Setiap tahun disuguhi fenomena sama. Dari tingkat SD hingga SMA. Itu pun belum termasuk kasus lain yang tak terpublikasi.

Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, menilai SKB 3 Menteri adalah langkah baik demi melindungi hak anak perempuan maupun perempuan dewasa untuk memilih pakaian tanpa diwajibkan atau dipaksa.

“Sudah lebih dari 10 tahun banyak sekolah negeri mewajibkan pakaian tertentu saja,” kata Andreas kepada Tirto, Rabu (3/2/2021).

Dalam wawancara dengan ratusan korban pewajiban jilbab di sekolah pada 15 provinsi, Human Rights Watch menemukan bukan hanya siswi jadi korban, tetapi banyak guru dan kepala sekolah; bahkan terjadi juga di kampus.

“Mereka diintimidasi, ditekan, bahkan diberi sanksi bila tak memenuhi kewajiban seragam. Ada yang stres, minta bantuan psikolog maupun psikiater. Ada guru dan dosen mengundurkan diri,” ungkapnya.

Mewajibkan seragam seperti jilbab, katanya, jelas melanggar hak-hak asasi manusia. Menurut dia, setelah aturan dalam SKB ini terbit, tantangannya pada ketegasan ketiga kementerian tersebut.

Retno Listyarti, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menilai perlunya sosialisasi aturan baru ini. Menurut dia, sebelum memberikan sanksi tegas, perlu sosialisasi sekaligus pemahaman peraturan lain mengenai pentingnya sekolah menyemai keberagaman, menguatkan persatuan, mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan menjunjung tinggi HAM. Pada akhirnya adalah memupus intoleransi.

“Harus diberikan pengetahuan juga tentang hierarki peraturan perundangan, bahwa aturan di level sekolah dan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya,” ujar Retno.

Baca juga artikel terkait ATURAN WAJIB JILBAB atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino