tirto.id - Pada mulanya adalah foto dalam unggahan Andreas Alex di Facebook. Lima orang siswi tampak mengenakan jilbab dengan seragam putih abu-abunya. Sekilas tak ada yang ganjil, namun kalimat yang menyertai foto tersebut cukup menghenyak: Siswi Kristen Wajib Pakai Jilbab di Riau.
Kelima siswi bersekolah di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu, Riau. Sejak diunggah pada tanggal 26 Agustus pekan lalu, foto tersebut telah mengundang ribuan reaksi warganet. Banyak yang mengecam, namun tak sedikit yang menganggapnya lumrah.
Pihak sekolah pun bergegas memberikan klarifikasi. Norman sang kepala sekolah menegaskan, penggunaan jilbab bukan aturan melainkan imbauan.
"Kami tidak pernah sampaikan itu hal wajib […] Kalau wajib berarti sanksi. Selama saya menjadi kepala sekolah, tidak pernah ada yang disanksi. Saya juga pernah lihat siswi tidak berjilbab. Ini sekadar motivasi bagi anak didik," ujar Norman, seperti dikutip dari BBC(28/8).
Tahun lalu, kontroversi serupa muncul di Yogyakarta dan Banyuwangi.
Yemina Swandina Alfa urung melanjutkan studinya di SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi karena sekolah tersebut mewajibkan seluruh siswinya berjilbab. Bupati Banyuwangi pun segera turun tangan, memerintahkan Dinas Pendidikan mengambil langkah yang diperlukan terhadap sekolah yang memberlakukan aturan diskriminatif.
Di Yogyakarta, SMPN 5, 7 dan 11 diberitakan mewajibkan jilbab. Lagi-lagi, pihak terkait segera mengklarifikasi. Kepala SMPN 5 Yogyakarta Suharno mengatakan, aturan sekolahnya tidak mewajibkan penggunaan jilbab bagi siswi muslim. Ketika dimintai keterangan oleh Tirto, ia menambahkan bahwa penggunaan jilbab hanyalah imbauan dari guru agama, bukan keputusan sekolah.
Geger kontroversi ‘wajib’ jilbab di sekolah juga sempat mewarnai Jakarta kala masa kepemimpinan mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di tahun 2016. Kala itu dalam sebuah pengarahannya kepada kepala-kepala sekolah di DKI Jakarta, Ahok meminta sekolah negeri untuk tidak memaksa para siswi mengenakan jilbab.
Situasi ini berdampak pada kehidupan para siswi secara umum. Meski hanya anjuran, sejumlah guru kerap menyindir mereka yang tidak mengenakan jilbab.
Alumni SMAN di Yogyakarta Dian Haryasari mengungkapkan hal senada tahun lalu. "Kalau pas pelajaran jadi sasaran pertanyaan," jelasnya. Ia menegaskan, ia merasakan tekanan psikologis saat tidak menggunakan jilbab.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Peraturan Menteri No. 45 tahun 2014 pasal 3 ayat 4, menetapkan sekolah berwenang mengatur pakaian seragam murid-muridnya. Namun sekolah harus "tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing".
Melalui peraturan ini, siswi muslim yang ingin mengenakan jilbab tentu saja dijamin haknya sebagai warga negara.
Hanyut dalam Islamisasi
Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada mengatakan, imbauan berjilbab di sekolah umum adalah inisiatif tak langsung untuk menguatkan identitas Islam yang nantinya berujung pada islamisasi di ruang publik.
Inisiatif ini, lanjut Iqbal, sesungguhnya sudah berlangsung lama dan memuncak pada 2009 hingga 2010 melalui penerbitan berbagai peraturan daerah dan regulasi pro-syariah.
"Konteks Perda-Perda Syariah memang cenderung politis. Maka bisa dimaklumi jika inisiatornya adalah bupati, walikota, tokoh-tokoh pemerintahan. Itu memang bagian dari strategi politik untuk mendapatkan simpati publik," ujarnya kepada Tirto, Senin (3/9/2018).
Menurut Iqbal, fenomena imbauan wajib jilbab ini menandai pergeseran tren islamisasi, yang awalnya dari tokoh politik ke inisiatif sekolah atau masyarakat. Fenomena ini mungkin tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari proses pewacanaan aturan soal moralitas yang muncul pada 2000-an.
"Ketika tren itu bergeser, wacananya diambil alih oleh masyarakat, karena saya kira memang pengaruh Islamisasi di lembaga-lembaga pendidikan memang kuat sekali," lanjutnya.
Iqbal menyebut dua faktor, masing-masing internal dan eksternal. Yang pertama, faktor guru yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang ingin mendefinisikan ruang publik melalui agama. Yang kedua, pihak-pihak yang ini mewajibkan jilbab sebagai bagian dari strategi pasar di dunia pendidikan.
"Kalau dulu orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri ingin yang bermutu, bagus, rangking tinggi, sekarang permintaannya bertambah lagi, tidak hanya pintar tapi juga saleh," terangnya.
Mengacu survei nasional yang dilakukan oleh The ISEAS – Yusof Ishak Institute pada 2017, dari produk-produk dan layanan Islam yang paling diinginkan oleh masyarakat di Indonesia, pendidikan yang 'islami' menempati peringkat kedua. Lebih jauh, sebanyak 49 persen dari responden survei merasa bahwa pemerintah harus memprioritaskan Islam dibandingkan agama lainnya, tak hanya di bidang politik tetapi juga dalam kehidupan masyarakat.
Menurut survei yang sama, lebih dari 80 persen responden memandang bahwa pemakaian jilbab adalah tanda kesalehan perempuan di Indonesia.
Islamisasi di dunia pendidikan memang bukan sekadar perkara wajib berjilbab, tapi juga hal-hal terkait seleksi masuk kampus dan beasiswa. Sejumlah universitas di Jawa seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Sebelas Maret, dan Universitas Diponegoro, misalnya, memberikan beasiswa dan kemudahan kepada Hafidz (penghafal) Al-Quran melalui jalur khusus.
Iqbal mengatakan, banyak tempat di Indonesia saat ini mengalami apa yang dia sebut ‘denormalisasi kultur keragaman’. Ia menilai, ada kombinasi perubahan, tidak hanya demografi tetapi juga pola interaksi dalam masyarakat sehingga nilai-nilai keragaman lambat laun dipandang asing bagi masyarakat itu sendiri.
"Masyarakat kita berubah. Masyarakat kita sebelumnya punya sejarah hidup dalam situasi keragaman. Keragaman yang dulu dianggap normal sekarang tidak dianggap normal lagi," terangnya.
Ia menambahkan, mungkin imbauan berjilbab di sekolah umum hanyalah tindakan defensif dari rasa cemas atas dunia yang dianggap semakin membahayakan kepercayaan.
"Tentu itu bukan cara yang tepat, tapi mungkin hanya itu yang mereka pahami," pungkas Iqbal.
Editor: Windu Jusuf