tirto.id - Pulau Lombok sejak lama dijuluki Pulau Seribu Masjid. Selain secara harfiah memang banyak sekali masjid berdiri di sana, julukan ini juga mengindikasikan kuatnya kaitan antara Lombok dan syiar Islam. Tak hanya di masa kini, Islam juga mewarnai perjalanan sejarah masyarakat Lombok.
Seturut studi Basarudin yang diterbitkan dalam jurnal Sangkep (Vol. 2, No. 1, 2019, PDF), ada beberapa versi terkait bagaimana dan kapan syiar Islam sampai di Lombok. Versi pertama menyebut bahwa Islam diperkirakan mulai masuk ke Lombok sekira abad ke-13 hingga ke-14. Biangnya adalah kontak dagang yang terjalin antara masyarakat Lombok dan pedagang muslim yang saat itu sudah lazim berkitar di Kepulauan Nusantara.
Sementara itu, versi kedua menyebut bahwa syiar Islam dibawa ke Lombok oleh Sunan Prapen, putra dari Sunan Ratu Giri IV dari Jawa Timur. Peristiwa ini diperkirakan terjadi di akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17.
“Teori ketiga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Lombok pada abad yang sama, yakni abad ke-16, namun melalui jalur Timur, yakni dari Pulau Sumbawa yang kemudian disebarkan oleh para pedagang dan pelaut dari Makasar,” tulis Basarudin.
Kerajaan yang mula mendapat pengaruh Islam di Lombok adalah Selaparang. Kerajaan ini diperkirakan sudah eksis sejak era Majapahit dan kemudian mengalami islamisasi di akhir abad ke-16.
“Selaparang adalah nama dari sebuah kerajaan Islam terbesar di Lombok yang didirikan oleh Prabu Rangkesari, meski pada saat yang bersamaan di Lombok terdapat kerajaan-kerajaan lain seperti Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong, Suradadi, dan Parwa. Namun demikan supremasi Kerajaan Selaparang diakui oleh semua kerajaan tadi,” papar Jamaluddin dalam bukunya Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok (2019, hlm. 103).
Pusat Kerajaan Selaparang diperkirakan bertitik di Pulau Lombok bagian timur. Kerajaan ini sempat menjadi kerajaan Islam yang berpengaruh hingga runtuh pada abad ke-18.
Sumber primer untuk menelusuri kepurbakalaan Selaparang dapat di temukan dalam Babad Lombok. Naskah bertarikh 1301 Hijriah (1883 Masehi) ini ditulis dengan huruf jejawen (huruf Sasak) danberbahasa Kawi. Dalam babad ini, disebut tentang konflik politik yang terjadi di Kerajaan Selaparang sampai jatuhnya ke penguasa Bali Karangasem.
Selain itu, kita bisa pula membaca karya sarjana Belanda W.F. Stutterheim berjudul “Een Inscriptie Van Lombok” yang dimuat dalam majalah Djawa (1937), banyak membahas tentang inskripsi-inskripsi yang ditorehkan di nisan-nisan dalamPemakamanKuno Selaparang.
Pemakaman Kuno Selaparang agaknya merupakan titik yang tepat untuk memulai memasuki sejarah islamisasi di Lombok.
Pemakaman Kuno Selaparang
Pemakaman Kuno Selaparang merupakan salah satu dari empat makam kuno yang diperkirakan berkaitan dengan Kerajaan Selaparang. Selain makam yang akan kita bahas ini, masyarakat Sasak juga meyakini Makam Tanjung, Makam Pesabu’an, dan Makam Pekosong sebagai persemayaman akhir raja-raja dan pejabat Kerajaan Selaparang.
Kini, Pemakaman Kuno Selaparang dan Makam Tanjung telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan dipugar.
Kompleks Makam Kuno Selaparang terletak di Jalan Kramat Raja, Desa Selaparang, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur. Kompleks makam ini memiliki luas sekira 1.584 m2. Denah Pemakaman Kuno Selaparang menyerupai huruf L dan terbagi menjadi tiga halaman.
Akses ke situs bersejarah ini terbilang mudah karena berada di tengah pemukiman. Dari luar, pengunjung bakal melihat fasad pagar kelilingnya yang khas dibangun dari susunan batu kali. Pintu masuk utama menuju kompleks makam berada di bagian selatan.
Hingga kini, pemakaman ini masih dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Sejak dulu, ia manjadi destinasi ziarah di momen-momen penting.
“Pada masyarakat Sasak saat menjelang keberangkatan jemaah haji ke tanah suci, menjelang atau setelah Ramadhan atau setelah mengadakan sukuran atau selamatan biasanya masyarakat tidak pernah melupakan untuk berziarah ke makam Selaparang,” tulis Jamaluddin dalam artikel ilmiahnya yang terbit di jurnal Manuskripta (Vol. 11,No. 2, 2021, PDF).
Menurut Libra Hari Inagurasi dalam studinya yang terbit di jurnal Kalpataru (vol. 19, no.1, 2009), Pemakaman Kuno Selaparang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17. Tata ruang pemakaman kuno ini yang terdiri dari tiga halaman mengingatkan akan bentuk pura di Bali.
Di halaman pertama yang disebut jaba, hanya terdapat sebuah bangunan rumah penjaga makam. Lalu, halaman kedua yang disebut tengah merupakan tempat istirahat bagi para peziarah. Sementara itu, halaman ketiga atau jero merupakan titik paling suci dan di sinilah makam-makam berada.
“Tata ruang kompleks makam yang terdiri dari halaman atau teras berlapis-lapis juga dijumpai pada kompleks makam para Wali di Jawa. Tata ruang seperti tersebut jelas terlihat pada makam Sunan Giri di Gresik dan makam Sunan Kudus di Kudus. Bahkan tingkat kesakralan/kesucian halaman kompleks makam Sunan Giri dan Kudus dipertegas dengan terdapatnya pintu gerbang berbentuk candi bentar dan paduraksa,” tulis Inagurasi dalam studinya.
Selain itu, menurut Tawalinudin Haris dalam “Makam Kramat Raja Selaparang, laporan penelitian Fakultas Sastra Universitas Indonesia” (1996), fitur-fitur yang tampak pada makam di Selaparang juga menunjukkan unsur budaya pra-Islam. Itu paling terlihat pada bentuk jiratnya yang bertingkat serupa punden berundak.
Fitur jirat berundak itu kemungkinan menunjukkan ketinggian status sosial dari tokoh yang disemayamkan di sana.
Ragam Nisan yang Unik
Makam-makam kuno seluruhnya berjumlah 30 pusara berada di halaman ketiga. Seturut studi Inagurasi, makam-makam tersebut terkonsentrasi di dua tempat, yakni di sebelah selatan dan utara. Kebanyakan strukturnya terdiri dari jirat dan nisan.
“Jirat berdenah empat persegi panjang dibuat dari bahan batu kali. Ada pula satu buah makam yang jiratnya berdenah lingkaran atau bulat. Nisan dibuat dari bahan batu basalt dan batu padas (limestone),” tulis Inagurasi dalam studinya.
Nilai khas dari komplek makam ini adalah ragam bentuk batu nisannya yang unik. Sebagian nisan-nisan itu punya bentuk silindris yang mengingatkan kita pada bentuk lingga. Lain itu, ada pula nisan-nisan pipih berbentuk gunungan.
Menurut para peneliti, bentuk-bentuk itu kemungkinan merepresentasikan jenis kelamin tokoh yang dimakamkan. Terdapat beberapa makam bernisan gunungan berdampingan dengan makam bernisan lingga. Makam-makam dengan nisan gununganitu dibuat tidak bertingkat laiknya makam bernisan lingga.
Juga, bentuk nisan itu menjadi tengara bahwa unsur-unsur budaya pra-Islam masih berlanjut penggunaannya dalam masyarakat Selaparang yang terislamisasi.
Menurut Haris, unsur-unsur budaya pra-Islam itu tetap eksis lantaran Islam sendiri tidak mengatur bentuk fisik suatu bangunan makam. Islam hanya mengatur dalam bahwa jenazah hendaknya dibaringkan membujur arah utara-selatan dengan posisi miring ke kanan agar mukanya menghadap ke arah kiblat.
Ketiadaan ketentuan bentuk fisik bangunan makam dalam ajaran Islam lantas membuka kemungkinan untuk mengadopsi tradisi bentuk makam yang sudah ada. Demikian juga berlaku untuk unsur-unsur budaya yang sudah ada tetap dilanjutkan dan dimanfaatkan selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Meski telah jamak dikaitkan dengan Kerajaan Selaparang, perihal siapa saja tokoh yang dimakamkan di makam kuno ini belum dapat diidentifikasi hingga kini. Pasalnya, setiap nisan di sini tidak mencantumkan nama orang yang dikubur. Maka para peneliti pun hanya sebatas manaksir—dari bentuk makam dan ragam hias yang diaplikasikan padanya—bahwa mereka yang dikuburkan di sini adalah para raja atau pembesar kerajaan.
Keterangan lain bisa didapat dari tradisi lisan yang turun-temurun hidup di masyarakat setempat. Salah satu yang menarik adalah makam yang disebut-sebut milik Penghulu Gading atau Ki Gading. Makam ini terdapat dalam kelompok makam para penghulu kerajaan di bagian timur kompleks pemakaman.
Makam Penghulu Gading juga istimewa lantaran inskripsi yang ditorehkan pada salah satu nisannya. Dua setengah baris inskripsi tersebut ditulis dengan aksara Arab, sedangkan sisanya dengan huruf-huruf yang merupakan peralihan dari huruf Jawa Kuno ke huruf Bali.
Seturut dokumentasi W.F. Stutterheim, inskripsi tersebut berbunyi: Laa ilaaha illallaah wa muhammaddun rasuulullah maesan gagawayanpara yuga.
Tulisan Arab itu jelaslah merupakan kalimat syahadah, sedangkan kalimat lainnya merupakan kronogram atau candrasengkala. Jika diurai, ia menunjuk tarikh 1142 Hijrah atau 1729 Masehi.
Stutterheim memperkirakan bahwa tarikh tersebut berkaitan dengan tanggal kematian seorang raja Selaparang yang pada enam tahun sebelumnya (1723 Masehi) berperang melawan pasukan aliansi Sumbawa dan Bali. Dalam perang itu, Selaparang kalah dan Lombok pun jatuh dalam pengaruh politik Bali.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi