Menuju konten utama

Kembalinya 472 Artefak Jarahan Kolonial ke Indonesia

Upaya Pemerintah Belanda untuk memulihkan warisan kolonialnya, sekaligus memperbaiki hubungan dengan bekas jajahannya di Asia dan Afrika.

Kembalinya 472 Artefak Jarahan Kolonial ke Indonesia
Header Mozaik Belanda Mengembalikan Barang Jarahan. tirto.id/Tino

tirto.id - Belanda telah mengumumkan akan mengembalikan 478 artefak sejarah ke Indonesia dan Sri Lanka. Benda dan sejumlah arca berharga yang akan dipulangkan tersebut diambil pada masa penjajahan Belanda atas Indonesia (1816–1941) dan Sri Lanka (1658–1796).

Dari 478 artefak, Indonesia mendapatkan 472 benda yang akan dikembalikan, terdiri dari 335 barang emas dan perak yang dijarah oleh pasukan Belanda pada Perang Lombok tahun 1894, empat patung peninggalan kerajaan Jawa kuno Singasari, sebuah keris tradisional Bali, dan 132 karya seni modern dari Bali yang dikenal dengan koleksi Pita Maha.

Sementara enam artefak lain milik Sri Lanka, termasuk meriam berdekorasi mewah yang dijarah dari Istana Kandy di Sri Lanka pada tahun 1765.

Repatriasi atau pemulangan kembali benda-benda tersebut ke negeri asalnya (Indonesia) dilakukan di Museum Volkenkunde, Leiden, pada 10 Juli 2023. Sedangkan pemulangan ke Sri Lanka akan dilakukan akhir tahun ini.

Repatriasi ini merupakan upaya Pemerintah Belanda untuk memulihkan warisan kolonialnya, sekaligus memperbaiki hubungan dengan bekas jajahannya di Asia dan Afrika.

Bulan lalu, Perdana Menteri Mark Rutte secara resmi mengakui “sepenuhnya tanpa syarat” tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang sebelumnya bersikeras bahwa kepulauan terbesar di Asia Tenggara tersebut memperoleh kedaulatan pada tahun 1949.

Rutte juga telah meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan pasukan Belanda selama perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sementara awal bulan ini, Raja Belanda Willem-Alexander secara terbuka meminta maaf atas peran Belanda dalam mengambil untung dari perbudakan selama masa kolonial, khususnya di Suriname dan bekas koloni Belanda di Karibia.

Keadilan Historis dan Pemulihan Hak

Gunay Uslu, Sekretaris Negara untuk Kebudayaan dan Media Kerajaan Belanda, menyatakan bahwa Pemerintah Belanda bertindak atas rekomendasi Komite Penasehat Khusus Pengembalian Benda Budaya yang dibentuk pada 2019.

“Ini pertama kalinya kami mengikuti rekomendasi panitia untuk mengembalikan benda-benda yang seharusnya tidak pernah dibawa ke Belanda,” tutur Uslu sebagaimana dilansir The Guardian.

Komite ini mulanya lahir dari sebuah penelitian bertajuk Pilotproject Provenance Research on Objects of the Colonial Era (PPROCE) yang diinisiasi secara bersama dengan melibatkan Nationaal Museum van Wereldculturen (Museum Nasional Kebudayaan Dunia), Rijksmuseum Amsterdam dan Expertisecentrum Restitutie bij het NIOD Instituut voor Oorlogs-, Holocaust- en Genocidestudies (Pusat Kepakaran Restitusi di NIOD Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida), lalu didukung dalam bentuk finansial oleh kementerian Onderwijs, Cultuur en Wetenschap (Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan).

Mitra dalam proyek ini ialah Open Universiteit (Universitas Terbuka), het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV; Insititut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia), Universiteit Leiden (Universitas Leiden) dan Reinwardt Academie (Akademi Reinwardt).

Secara garis besar, PPROCE menekan Pemerintah Belanda untuk mengakui bahwa benda-benda yang didatangkan pada masa kolonial ke Belanda adalah barang budaya tanpa kehendak pemiliknya, misalnya sebagai barang rampasan perang, dan Belanda harus bertanggung jawab akan keadilan historis dan transisinya selama pemulihan.

Pemerintah Indonesia kemudian membentuk tim khusus untuk mempelajari asal-usul benda-benda yang ditawarkan. Diwakili Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, dan mantan Dubes RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, meminta Pemerintah Belanda untuk memberikan kebebasan kepada Indonesia memilih benda budaya mana yang akan dipulangkan dan diberikan akses ke benda-benda tersebut untuk kajian yang komprehensif.

Obyek-obyek yang diprioritaskan terutama adalah artefak-artefak dari zaman Hindu di Indonesia dan regalia kerajaan yang mengandung pengetahuan penting tentang sejarah Nusantara.

Belanda merupakan salah satu dari beberapa negara Eropa yang menghadapi tekanan yang semakin besar untuk mengembalikan benda-benda budaya yang diperoleh melalui kekerasan dan eksploitasi selama masa kolonial.

Prancis juga telah mengembalikan artefak ke bekas jajahannya di Afrika dalam beberapa tahun terakhir. Presiden Emmanuel Marcon mulai melakukan repatriasi benda-benda jarahan tersebut saat mengumumkan langkah politik untuk mengembalikan warisan budaya asal Afrika pada 2016.

Menindaklanjuti keadilan dan pemulihan hak kepada negeri jajahan tidak hanya melalui restitusi benda jarahan, tetapi juga melalui sejarah perbudakan, rasisme, dan kolonialisme, seperti yang dilakukan Jerman pada tahun 1998 lewat perjanjian Washington Conference Principles on Nazi-Confiscated Art dan Washington Conference on Holocaust Era Asset.

Upaya yang Cukup Panjang

Repatriasi koleksi milik Indonesia merupakan bagian dari rangkaian panjang kesepakatan yang lebih luas antara Indonesia dan Belanda sejak tahun 1949 ketika Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Pada pasal 19 konferensi diterangkan kerangka bagaimana pengembalian warisan budaya yang diambil pada masa kolonial. Sayangnya, situasi politik terus memburuk sehingga upaya pengembalian benda-benda jarahan tidak pernah terjadi.

Memasuki era Orde Baru, hubungan Indonesia dan Belanda mengalami peningkatan seiring lahirnya Perjanjian Kebudayaan (Cultureel Akkoord) pada tahun 1968. Hasilnya beberapa benda berharga, termasuk manuskrip seperti Nagarakratagama dan arca Prajnaparamita berhasil dipulangkan ke tanah air antara tahun 1970-1978.

Meski ada janji pengembalian lebih lanjut oleh Pemerintah Belanda, upayanya tak pernah diwujudkan dan hanya sebatas wacana sampai Pemerintahan Indonesia berganti ke era Reformasi.

Pada 2005, 185 boneka wayang dipinjamkan Museum Dunia Rotterdam ke Museum Wayang, disusul penyerahan 55 artefak etnografis dari Tropenmuseum Amsterdam dan Orde Biarawan Kapusin Tilburg kepada beberapa museum regional di Kalimantan Barat dan Nias pada tahun 2008 dan 2009.

Warsa 2020, Museum Prinsenhof di Delft, Belanda, telah mengembalikan 1500 benda budaya bersejarah ke Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Koleksinya beragam jenis dan umur, mulai dari kapak berusia 5.000 tahun hingga benda-benda dari tahun 1940-an. Salah satu yang direstitusi ialah keris Diponegoro, yang sejak tahun 1970-an sudah dijanjikan oleh Belanda.

Masih banyak lagi koleksi yang ingin diambil Jakarta dari Belanda, termasuk Al-Quran milik Teuku Umar dan Fosil Manusia Jawa temuan Eugéne Dubois yang diminta sejak tahun 2022 lalu.

Pemerintah Indonesia belum menetapkan batas waktu tertentu untuk pengembalian benda-benda bersejarah tersebut.

472 Artefak yang Kembali

Pada tahun 1891, sekitar 8.000 tentara Bali dikirim ke Praya, Lombok Tengah, untuk menumpas pemberontakan suku Sasak yang tidak senang dengan mobilisasi penguasa Bali. Saat itu wilayah Mataram telah diduduki orang-orang Bali dari Kerajaan Karangasem.

Orang Sasak lalu meminta bantuan Belanda pada tahun 1894. Permohonan bantuan orang Sasak memberikan kesempatan kepada Belanda untuk ikut berperang.

Belanda melihat potensi untuk tidak hanya mengalahkan Mataram tetapi juga menguasai Bali dan Lombok. Mereka lalu memblokir pantai untuk mencegah Bali-Mataram mendapatkan lebih banyak senjata dan perbekalan yang dipasok dari Singapura.

Pada 11 Juli 1894, Belanda mengirimkan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Walikota Jenderal Petrus van Ham dan mulai menyerang Istana Cakranegara dan Karangasem, mengakibatkan kematian ribuan orang.

Belanda merampas hampir seluruh kekayaan Lombok, meliputi 230 kg emas, 7000 kg perak, dan batu mulia yang bernilai tinggi. Sedangkan barang jarahan lain yang dinilai biasa saja, dijual demi menutupi biaya perang.

Salah satu museum yang menyimpan harta karun Lombok adalah Rijksmuseum di Amsterdam dan dipajang sebagai pameran perayaan kemenangan pada tahun 1897-1898 yang menarik ribuan pengunjung, termasuk Ratu Wilhelmina.

Sebagian besar harta karun Lombok pernah dikembalikan ke Indonesia pada tahun 1977 dan sisanya, sebanyak 335 benda, dikembalikan pada 10 Juli tahun ini.

Selain harta karun Lombok, ada empat patung dari Kerajaan Singasari yang akan pulang ke tanah air. Patung-patung itu dibawa pada tahun 1804 oleh administrator kolonial Belanda Nicolas Engelhard, lalu memindahkannya ke Belanda sebagai hadiah bergengsi kepada Raja Willem I yang baru, untuk penghormatan dan pujian diri. Sampai akhirnya tiba di Leiden dan menjadi koleksi Museum Volkenkunde.

Keempat patung tersebut antara lain Durga, Mahakala, Nandishvara, dan Ganesha.

Pada awalnya, patung-patung itu dianggap sebagai objek pemujaan agama tertentu, digunakan dalam upacara keagamaan atau sebagai simbol spiritual. Keberadaan patung-patung ini juga menarik minat akademisi dan peneliti dalam bidang arkeologi atau etnografi untuk mempelajari sejarah dan budaya di baliknya.

Lama-lama patung-patung tersebut juga diapresiasi sebagai mahakarya seni Asia yang luar biasa. Keindahan dan keahlian dalam pembuatannya menarik perhatian penggemar seni. Beberapa dari patung ini dianggap sebagai representasi terbaik dari seni kuno di Asia.

Infografik Mozaik Belanda Mengembalikan Barang Jarahan

Infografik Mozaik Belanda Mengembalikan Barang Jarahan. tirto.id/Tino

Namun, dalam konteks perdebatan restitusi Belanda, patung-patung ini juga dilihat sebagai "roofkunst" atau "seni yang dijarah". Sehingga membuka perdebatan tentang kepemilikan sah barang ini oleh Belanda. Banyak orang yang berpendapat bahwa patung-patung ini seharusnya dikembalikan ke negara asal mereka, tempat mereka diambil secara tidak sah selama periode penjajahan.

Objek ketiga yang dipulangkan adalah keris dari Klungkung, Bali, yang menjadi koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen dengan nomor inventaris RV-3600-193.

Keris tersebut diambil oleh tentara kolonial Belanda pada tahun 1908 saat kampanye militer melawan Keraton Klungkung, Raja Dewa Agung Jambe II. Kampanye ini merupakan hukuman karena menentang monopoli perdagangan opium Belanda.

Pertempuran mengakibatkan kematian Raja Klungkung dan lebih dari seratus pengikutnya, menandai berakhirnya ekspedisi militer Belanda di Bali sejak tahun 1846.

Koleksi Pita Maha kemudian menjadi objek keempat dari artefak yang dikembalikan Belanda pada 10 Juli 2023, sebagai bagian dari kesepakatan yang lebih besar untuk mengembalikan warisan budaya, benda-benda yang diambil dari Indonesia pada masa penjajahan.

Koleksi Pita Maha merupakan kumpulan dari 132 benda seni modern asal Bali. Koleksinya dikumpulkan oleh sekelompok seniman dan cendekiawan Bali pada awal abad ke-20, termasuk lukisan, patung, tekstil, dan benda-benda lainnya. Koleksi ini dinamai dari asosiasi Pita Maha yang didirikan pada tahun 1936 untuk mempromosikan seni modern Bali.

Pita Maha terdiri dari koleksi beberapa karya seniman, seperti I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, dan Rudolf Bonnet. Koleksinya juga mencakup karya-karya seniman asing yang dipengaruhi seni Bali, seperti Walter Spies dan Miguel Covarrubias.

Koleksi Pita Maha diakuisisi oleh Belanda pada tahun 1930-an dan telah dipamerkan di Museum Volkenkunde di Leiden sejak tahun 1938. Karya seni dalam koleksi ini mencerminkan isu sosial, politik, dan lingkungan yang relevan dengan Bali dan masyarakatnya.

Baca juga artikel terkait REPATRIASI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi