tirto.id - Ratusan barang koleksi Museum Sulawesi Tenggara yang terletak di Jalan Abunawas, Kendari, seperti keris, logam, baju adat, dan samurai peninggalan Jepang, raib digondol maling pada Selasa (26/1) malam. Diberitakan Antara, benda-benda bersejarah tersebut lenyap usai pancuri membobol pintu samping belakang gudang koleksi museum, tempat ratusan koleksi disimpan, yang menurut kepala UPTD Museum dan Taman Budaya Dinas Pendidikan Sultra Dody Syahrulsyah "tidak terpantau CCTV".
Dilaporkan Detik, Dody menyebut bahwa gudang tersebut pernah terpasang CCTV, tetapi kemudian rusak dan tak diperbaiki hingga kejadian pencurian. Namun, ia mengklaim sistem keamanan gudang museum telah memenuhi standar, yakni dengan pintu berlapis dua. Sementara itu, atas kejadian pencurian ini, Dody menuturkan pihak museum "belum mengetahui pasti jumlah keseluruhan koleksi benda-benda bersejarah yang hilang diambil maling", tetapi sangat mungkin mencapai angka ratusan.
Kasus pencurian yang dialami Museum Sulawesi Tenggara terasa ironis, khususnya jika mengaitkannya dengan museum-museum di Eropa dan Amerika Serikat. Bukan karena museum di Eropa dan AS menggunakan sistem keamanan tingkat tinggi untuk menjaga koleksi mereka, melainkan fakta pahit bahwa banyak museum di sana adalah penadah barang curian, bahkan menolak mentah-mentah tatkala pemilik sah barang-barang koleksi mereka menuntut pengembalian.
Ketika Benda-Benda Curian Dipamerkan
"Suatu sore di bulan Juni lalu," tulis Farah Nayeri untuk The New York Timespada September 2020, "aktivis asal Kongo bernama Mwazulu Diyabanza berjalan menuju Quai Branly Museum, institusi Paris yang memajang harta benda berharga dari bekas koloni Perancis, dan membeli tiket". Ditemani empat rekannya, Diyabanza berkunjung ke museum tersebut dan melihat-lihat barang koleksi asal Afrika di sana. Persis seperti seorang turis.
Tak lama kemudian, sikap yang ditunjukkan Diyabanza berubah. Diyabanza berteriak, menyebut bahwa barang yang dipajang Quai Branly Museum hasil curian dari bekas koloni Perancis. Empat rekannya merekam aksi Diyabanza dengan ponsel dan menyiarkan aksinya secara langsung di Facebook. Tak cukup berteriak, Diyabanza lantas mengambil patung kayu abad ke-19 milik museum yang berasal dari wilayah yang kini menjelma menjadi Chad atau Sudan secara paksa, dan berniat membawanya kabur. Nahas, penjaga museum kemudian mencegat dan menangkapnya.
Tak kapok, Diyabanza melakukan aksi serupa sebulan kemudian, tepatnya di Museum of African, Oceanic and Native American Arts yang berada di Marseille, Perancis. Aksi itu ia ulangi lagi di Africa Museum yang terletak di Berg en Dal, Belanda.
Aksi yang dilakukan Diyabanza punya satu tujuan: mengambil kembali barang miliknya, barang-barang koleksi museum yang ia klaim dimiliki secara sah adalah milik rakyat Afrika, tepatnya Kongo, tetapi dicuri oleh bangsa Eropa ketika mereka menjajah Afrika dan menyimpannya sebagai pajangan museum. Di Quai Branly Museum, terdapat 90.000 benda bersejarah asal sub-Sahara Afrika, yang mayoritas berlabuh di Eropa pada zaman penjajahan. "Meskipun barang-barang koleksi museum tersebut milik kami," tutur Diyabanza "faktanya saya harus membayar tiket museum untuk melihat apa yang diambil secara paksa oleh mereka. Benda-benda bersejarah ini sudah seharusnya dipulangkan ke tempat di mana saya berasal."
"Tidak ada hukuman bagi pemilik yang mengambil barangnya sendiri," tegas Diyabanza. Sial, otoritas Perancis berkata sebaliknya. Ia dituntut pengadilan setempat. Ia dituduh telah mencuri.
Dalam buku berjudul Chasing Aphrodite: The Hunt for Looted Antiquities at the World's Richest Museum (2011), Jason Felch dan Ralp Frammolino menyebut bahwa koleksi museum hasil dari penjarahan ketika kolonialisme terjadi bukanlah hal baru dan "telah lama diketahui kalangan seni tetapi menjadi rahasia bagi publik". Selama puluhan tahun, museum-museum di Amerika Serikat dan Eropa memang membeli benda-benda hasil jarahan, baik hasil jarahan pekerja negara di tanah jajahan atau penyelundup dari negara-negara Asia dan Afrika. Barang bersejarah tertua yang dijarah adalah papirus Mesir bertarikh 1100 SM, yang lucunya menceritakan persidangan beberapa pria yang tertangkap tangan merampok makam Firaun. Seharusnya, papirus tersebut ada di Mesir karena merupakan dokumen milik kerajaan. Pemerintah Mesir pun mengklaim tak pernah menjual atau memberikannya kepada pihak lain. Faktanya, papirus tersebut justru dipajang oleh British Museum sejak 1880-an.
"Bangsa Romawi mengisi museum mereka dengan barang-barang yang dijarah dari Yunani. Spanyol mengisi museumnya dari benda-benda milik Dunia Baru. Napoleon mengisi Louvre dengan barang rampasan yang diambil dari seluruh kekaisarannya," tulis Felch dan Frammolino.
Tentu, aksi tak elok dalam mengisi koleksi museum ala Barat tersebut banyak ditentang. Pada 70 SM, seorang pengacara Romawi bernama Cicero mengajukan gugatan pidana pada Gubernur Sisilia Gaius Verres yang ia duga menjarah berbagai barang di banyak tempat untuk dijadikan koleksinya. Bagi Cicero, tindakan Verres adalah "kleptomania". Pada 1816, kecaman serupa menggema di seluruh aula Parlemen Inggris setelah Thomas Bruce, Seventh Earl of Elgin, kembali dari Yunani dengan muatan kapal sebuah ukiran indah yang diambil dari Parthenon secara paksa. Sialnya, bukan dikembalikan, benda tersebut justru dipajang di British Museum (lalu dipajang di Louvre, Berlin National Museum, dan Metropolitan Museum of Art di New York City)
Sejak 1970, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNECSO), dalam Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property, melarang tiap museum di dunia memajang barang-barang yang dimiliki secara tidak sah atau barang yang kepemilikannya berstatus abu-abu. Bagi UNESCO, “nilai antik suatu barang yang dipajang tidak hanya terletak pada keindahan intrinsiknya, tetapi juga dalam konteks arkeologisnya, yakni di mana dan bagaimana ia ditemukan". Jika museum memajang benda jarahan, konteks arkeologis benda terkait pun hilang. Terlebih, dalam konteks saat ini, jika benda koleksi museum berasal dari hasil rampasan, sangat mungkin bahwa si perampas bermaksud untuk mengumpulkan dana bagi kegiatan teroris. ISIS misalnya, sebagaimana dilaporkan Benoit Faucon untuk The Wall Street Journal, diperkirakan memperoleh penghasilan hingga USD 100 juta per tahun dari kerja-kerja merampas barang antik di Timur Tengah dan menjualnya ke Eropa dan AS.
Eropa dan AS yang mengklaim lebih superior (lebih bermartabat, lebih pintar, dan lebih makmur) karena pernah menjajah Asia dan Afrika belakangan sadar bahwa pencurian dan penjarahan adalah kejahatan yang memalukan--meskipun barang curiannya dipajang di museum yang gemerlap. Beberapa museum di AS, tulis Felch dan Frammolino, telah berangsur-angsur mengembalikan benda koleksi mereka ke pemilik sesungguhnya.
Inggris, khususnya Victoria and Albert Museum, tengah berancana mengembalikan benda-benda koleksi mereka ke Ethiopia, sialnya, dengan skema "pinjaman jangka panjang": suatu waktu museum dapat menarik kembali barang jarahan mereka. Sementara itu, pemerintah Belanda telah mengembalikan 1.500 artefak koleksi Nusantara Museum di Delft ke Indonesia. Tak ketinggalan, Presiden Perancis Emmanuel Macron memerintahkan Quai Branly Museum mengembalikan 26 koleksinya ke pemilik asli, rakyat Benin.
Tentu memang banyak bule Global North yang berbudi pekerti baik, tetapi tak sedikit pula yang terbelakang dan bedebah. Tatkala beberapa pemerintahan di Eropa bertitah pada museum untuk mengembalikan koleksi ke pemilik sah, dalam laporan lain Nayeri, Hartwig Fischer, Direktur London Institution yang mengelola British Museum menyebut "tidak akan ada kebijakan yang berubah di British Museum atau pun perubahan legislasi di Inggris". Dengan kata lain, ia bertekad tidak ingin mengembalikan barang rampasan museum ke pemilik aslinya. British Museum memajang 73.000 koleksi antik asal sub-Sahara Afrika.
Sikap yang sama disampaikan oleh Hartmut Dorgerloh, Direktur Humboldt Forum di Berlin yang mengelola museum. Katanya, meskipun museum di Eropa memajang barang rampasan dari Asia dan Afrika, ini harus dilihat sebagai "hasil sejarah Eropa atau sejarah Dunia".
Tak ingin jabatannya dicopot oleh Macron, Stephane Martin, Presiden Quai Branly Museum, berkilah bahwa seharusnya "ada cara lain (yang lebih baik) dalam kerja sama budaya dengan Afrika".
Mungkin saja, dalam beberapa tahun mendatang, koleksi Museum Sulawesi Tenggara yang digondol maling bertengger sebagai pajangan museum-museum di Eropa. Selain tiket museum, siapkan tiket pesawat (pulang-pergi), penginapan, dan ajukan visa jika Anda hendak melihatnya.
Editor: Windu Jusuf