tirto.id - "Tatkala Portugis menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Asia Tenggara, mereka menemukan masyarakat berbudaya tinggi," tutur Gert Oostindie dalam "Dutch Attitudes toward Colonial Empires, Indigenous Cultures and Slave" (Eighteen-Century Studies, 1998).
Di luar soal sains, khususnya bidang maritim dan persenjataan militer, pelbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, bahasa, dan agama telah berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat Asia Tenggara.
Ini adalah buah dari hadirnya pelbagai bangsa, khususnya Arab, Persia, dan Cina ke wilayah ini lewat Samudra Hindia (al-bahr al-Hindi, Laut Hijau, Laut Selatan) untuk berdagang dengan penduduk lokal sejak 300 SM.
Didorong keberhasilan Portugis menancapkan kekuasaannya sejak awal abad ke-16, sosio-budaya Asia Tenggara kian meningkat dengan kemunculan "Eurasian" atau "Mestizo", yakni kebudayaan baru yang mencampuradukkan laku hidup Asia Tenggara dengan Barat lewat perkawinan campur.
Sayangnya, di balik kebudayaan Asia Tenggara yang tak kalah dengan Eropa ini, perbudakan telah hadir di Asia Tenggara jauh sebelum Barat tiba. Menurut Markus Vink dalam "The World's Oldest Trade" (Journal of World History, 2003), hal ini terjadi karena tafsir keliru atau manipulasi terhadap ajaran agama dan adat istiadat.
Karena Dharmasastra (Hindu), Al-Qur'an (Muslim), ataupun hukum adat lokal seperti Undang-Undang Melaka mengenal adanya perbudakan, maka perbudakan dianggap lumrah. Mereka lupa bahwa teks kitab suci serta adat istiadat tersebut justru mendorong pembebasan perbudakan.
Maka ketika Belanda tiba di Asia Tenggara pada abad ke-17, kelumrahan ini dimanfaatkan Belanda untuk mempraktikkan perbudakan.
Berlandaskan "Ham Ideology" yang merujuk pada kutukan Kanaan (Kitab Kejadian) yang ditafsirkan ahli hukum Belanda bernama Hugo Grotius dapat menghindari kelaparan atau alternatif eksekusi mati, praktik perbudakan dilegitimasi Belanda dengan basis agama.
Praktik ini dipermudah karena Samudra Hindia telah menjadi jalur utama migrasi manusia dari pelbagai wilayah sekitar, yakni "the westernmost" (Madagascar, Mauritus, dan kawasan Afrika Timur), "the middle" (Malabar, Coromandel, Bengal, dan kawasan subkontinen India), serta "the easternmost" (Indonesia, Malaysia, Papua, dan kawasan Asia Tenggara).
Secara umum, tulis Vink, "perbudakan ala Belanda dilakukan dengan membawa/membeli budak dari pemasok pribumi di negara-negara mikro yang tersegmentasi dan masyarakat tanpa kewarganegaraan di timur di luar 'House of Islam' di sepanjang Samudra Hindia." Ini terutama dari kawasan subkontinen India, yakni Bengal, Malabar, dan Coromandel.
Antara tahun 1626 hingga 1662, misalnya, 150-400 ribu budak diekspor Belanda dari kawasan ini saban tahunnya. Sebanyak 150.000 orang dijadikan budak Belanda kala berhasil menaklukkan Bijapur dan Golconda pada 1646 untuk disalurkan ke pusat kekuasaan atau "central redezvous" mereka di Batavia.
Para budak juga disalurkan ke pusat regional Belanda di Colombo (Sri Lanka), Malaka, Makasar, dan pusat ekonomi perkebunan di bagian Indonesia timur seperti Maluku, Ambon, dan Kepulauan Banda, serta ke kawasan luar Nusantara, Cape Colony (Afrika Selatan).
Mereka dipekerjakan secara paksa dalam pelbagai kebutuhan. Di Batavia, misalnya, ratusan budak dipaksa bertugas di galangan kapal di Pulau Onrust untuk memperbaiki dan melayani para tamu Hindia Belanda. Di lain tempat, para budak dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan yang ada di Hindia Belanda, seperti perkebunan pala di Banda yang memiliki 1.879 budak pada tahun 1694.
Menurut Peter Boomgaard dalam "Human Capital, Slavery and Low Rates of Economics and Population Growth in Indonesia, 1600-1910" (Journal of Slave and Post-Slave Studies, 2003), para penguasa di Hindia Belanda juga mempekerjakan budak di ranah privat demi gengsi semata.
"Banyak petinggi VOC yang memiliki lebih dari 300 budak untuk menjaga gengsi mereka. Bahkan, demi status dan dalih 'kasih sayang alkitabiah', banyak bangsawan Belanda di Hindia Belanda pada medio 1600-an yang jatuh miskin (tapi tetap berkuasa) gara-gara menghabiskan uang untuk membeli budak," tutur Boomgaard.
Pada tahun 1699, sebanyak 56,93 persen populasi Batavia berstatus sebagai budak. Sementara Cape Town 42,22 persen, Malabar 42,33 persen, Colombo 53,36 persen, Ambon 52,31 persen, Malaka 40,07 persen, dan Makasar 66,55 persen.
Perbudakan Belanda tak hanya di Hindia Belanda dan koloni lain di sekitarnya, tapi juga terjadi di Hindia Barat atau West Indies.
Seturut catatan Rik van Welie dalam "Slave Trading and Slavery in the Dutch Colonial Empire" (New West Indian Guide, 2008), sebanyak 554.300 budak diekspor Belanda dalam rentang tahun 1501-1866 dari pelbagai tempat di kawasan Afrika untuk dipekerjakan dalam beragam kebutuhan di koloni mereka di Amerika.
Perbudakan, singkatnya, merupakan sokoguru kejayaan Belanda di masa kolonialisme yang terus dipraktikkan hingga beberapa tahun sebelum Perang Dunia II berakhir.
Menurut Arend H. Huussen, Jr dalam "The Dutch Constitution of 1798 and the Problem of Slavery" (Legal History Review, 1999), meskipun Pemerintah Belanda telah melarang praktik perbudakan sejak 1 Juli 1863, berdalih agama dan fakta bahwa perbudakan telah menjadi roda penggerak ekonomi kolonial, larangan tersebut tak diindahkan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi