tirto.id - Toussaint Louverture adalah "pahlawan super berkulit hitam pertama di zaman modern," tulis Lauren Collins, jurnalis The New Yorker sekaligus penulis buku When in French: Love in a Second Language (2016).
Ia memimpin pemberontakan budak paling penting dalam sejarah yang memaksa Prancis menghapus perbudakan pada 1794. Louverture juga menyatukan orang-orang kulit hitam dan ras campuran di Saint-Domingue untuk melawan kesewenang-wenangan Inggris dan Spanyol pada awal abad ke-19.
Dalam konstitusi yang ditulisnya untuk Saint-Domingue (kini Haiti), Louverture menyebut bahwa "di sini, semua orang dilahirkan, hidup, dan mati bebas, merdeka dari Prancis (atau kekuatan kolonial manapun)."
Atas hal itu, Haiti menjadi republik kulit hitam pertama di dunia. Mereka merdeka dari Prancis meski berulang kali pasukan yang ditugaskan Napoleon Bonaparte memburu aktor utama pergerakan Haiti ini.
Marcus Garvey, jurnalis sekaligus presiden pertama Universal Negro Improvement Association and African Communities League (UNIA-ACL) menyebut, "Louverture lebih hebat dibandingkan Cromwell, Napoleon, dan Washington."
Meskipun sangat lekat dengan Prancis, tulis Collin, sedari sekolah dasar hingga tinggi tak banyak pemuda Prancis yang diajarkan kisah hidupnya. Hal ini karena para pemimpin Prancis menganggapnya sebagai "kisah kecil semata, bukan la grande histoire."
Anggapan Prancis adalah omong kosong. Nyatanya, pergerakan Louverture bersama rakyat Haiti dalam melawan perbudakan pada 22 hingga 23 Agustus 1791, menjadi inspirasi PBB.
Melalui resolusi 29 C/40 yang diselenggarakan Organization's General Conference ke-29 pada 1998, PBB menetapkan Hari Internasional untuk Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya yang dirayakan setiap tanggal 23 Agustus.
Penjajahan Spanyol
Terlahir di Republik Genoa, sejak kecil Christopher Columbus tertarik dengan geografi dan astronomi. Setelah dewasa, selain mempelajari bidang itu di Universitas Degli Studi Di Pavia (Universitas Pavia), ia juga menghabiskan waktunya dengan membaca pelbagai buku.
Buku-buku itu kebanyakan tentang penjelajahan, seperti Ymago Mundi (1410) karya Pierre d'Ailly, Historia Rerum Ubique Gestarum (1477) karya Aeneas Sylvius Piccolomini, dan The Travels of Marco Polo.
Bacaan-bacaan itu membuatnya tersadar bahwa ia dapat pergi ke Hindia--sumber kemakmuran bagi Eropa--dengan waktu yang lebih singkat dengan memanfaatkan rute barat. Rute ini tak pernah digunakan para penjelajah untuk pergi ke Timur Jauh karena mereka percaya bahwa bumi berbentuk datar, bukan bulat.
Penjelajahan Columbus dibiayai oleh Spanyol karena kerajaan ini sedang butuh sumber pemasukan. Saat itu kas kerajaan Spanyol tercekik parah usai bertarung dengan kekuatan Muslim di Semenanjung Iberia. Mereka juga memperoleh perlawanan dari kaum Yahudi yang menolak titah kerajaan untuk berpindah keyakinan.
Isabella I, Ratu Spanyol, menemukan jawaban atas persoalan keuangan negara pada diri Columbus. Pada 30 April 1492, Columbus dibekali uang, pasukan, peralatan, dan nasihat yang menyatakan bahwa "melayani Spanyol sama dengan melayani Tuhan."
Tujuh bulan kemudian, menggunakan tiga kapal layar, yakni La Santa Maria, La Pinta, dan La Lina, serta 120 anggota pasukan, Columbus akhirnya berlayar dari Pelabuhan Palos, Spanyol, menuju Hindia.
Setelah terombang-ambing lebih dari empat bulan, selain tiba di Los Indios yang diyakininya sebagai "Hindia Timur", Columbus juga tiba di teluk yang ia namai St. Nicholas. Ia lantas mendarat di Quiesqueia, pulau berpenghuni yang dikuasai oleh "Caciques"--perkumpulan kepala suku dari suku-suku yang mendiami pulau tersebut, yakni suku Magua, suku Guacanagary, suku Xaragua, dan suku Hyguey.
Awalnya, melihat gelagat Columbus dan anak buahnya yang ramah, Caciques menyambut kedatangan tamu asingnya dengan baik, bahkan membuatkan upacara penyambutan khusus. Columbus merasa tersanjung dan segera tertarik dengan pulau itu. Setelah itu, sikap ramah yang ditunjukkan Columbus dan anak buahnya tak bertahan lama.
Ketika pulang ke Spanyol dengan mengajak beberapa pribumi Quiesqueia, Columbus membawa sebongkah emas yang diberikan Caciques sebagai hadiah. Silau oleh emas yang dibawa Columbus, timbul kebusukan hati Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.
Maka setelah memberikan gelar Laksamana Laut pada Columbus atas keberhasilannya "menemukan" Quiesqueia alias Hispaniola, Spanyol dengan kapal layar dan pasukan yang lebih banyak kembali untuk mengokupasi Quiesqueia.
Wilayah itu, yang kelak bernama Haiti, sebagaimana dikisahkan Elie Jean-Louis dalam buku Outrage for Outrage: A History of Colonialism in Haiti and Its Legacy (2021), akhirnya dijajah Spanyol.
Setelah Raja Ferdinand berhasil menaklukan Hispaniola atau Haiti dan memerintahkan anak buahnya menyetor 500.000 keping emas saban tahun, maka pada awal abad ke-16 kelangkaan emas mulai terjadi di Haiti.
Untuk menggantinya, sejak tahun 1535 perkebunan tebu mulai diperkenalkan. Kala itu, seperti Belanda yang memberlakukan kerja paksa di Nusantara, Spanyol pun melakukannya. Mereka memaksa orang-orang Haiti bekerja mengurus tebu, menghasilkan gula, dan di sisi lain terus dipaksa menemukan emas.
Penderitaan ini membuat populasi penduduk pribumi Haiti menurun. Tak lama setelah perkebunan tebu diperkenalkan, dua per tiga pribumi Haiti menghilang. Dan semenjak 1652, seluruh pribumi Haiti benar-benar menghilang.
Untuk menanggulangi masalah ini, Spanyol mendatangkan para pekerja paksa dari tanah jajajan lain seperti Guinea. Pada awal abad ke-18, Spanyol akhirnya meninggalkan Haiti karena segala sumber dayanya telah habis mereka keruk.
Penderitaan di Ladang Tebu
Setelah Spanyol pergi, giliran Prancis di bawah kekuasaan Henry XIV mengokupasi Haiti. Mereka menjadikan tanah jajahan barunya ini sebagai ladang tebu raksasa.
Menurut Cairg Palsson dalam studinya berjudul "Small Farms, Large Transaction Costs: Haiti's Missing Sugar" (The Journal of Economic History Vol. 81 2021), Haiti menjelma menjadi eksportir gula terbesar di dunia. Produksi mereka sebelum abad ke-19 mampu memenuhi setengah kebutuhan gula di seluruh dunia.
Seperti ditulis Marcus Rediker dalam The Slave Ship: A Human History (2007), keberhasilan Haiti sebagai penghasil gula terbesar di dunia berkat kerja keras budak-budak kulit hitam yang didatangkan dari pelbagai penjuru Afrika dengan kapal-kapal yang kian canggih.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, papar Paul E. Lovejoy dalam "The Volume of the Atlantic Slave Trade: A Synthesis" (The Journal of Africa History, Vol. 23 1982), pada 1450-an hingga 1900-an, sebanyak 11.698.000 jiwa kulit hitam asal Afrika dibeli dan dibawa dengan kapal menjadi pekerja paksa.
Menurut David Richard dalam "Shipboard Revolts, African Authority, and the Atlantic Slave Trade" (The William and Marry Quarterly, Vol. 58 2001), mereka dibawa ke "tempat menyedihkan di seberang Atlantik". Di bawa ke sejumlah perkebunan, termasuk ke Haiti.
Budak-budak itu tak berdaya. Memberontak artinya kehilangan nyawa. Dalam 485 pemberontakan kecil yang terjadi di atas kapal yang tengah melaju di Samudra Atlantik, semuanya berakhir dengan kematian.
Penderitaan berlanjut saat mereka tiba di tanah kerja paksa, sebelum akhirnya cahaya terang datang.
Dipimpin oleh Toussaint Louverture serta kompatriotnya, Jenderal Jean-Jacques Dessalines, budak-budak kulit hitam yang bekerja di perkebunan tebu di Haiti--setelah pertemuan besar pertama yang dilakukan di Bois Caiman pada Agustus 1791--sepakat memberontak untuk mengakhiri penderitaan.
Pada 22 hingga 23 Agustus 1791, tak kurang dari setengah juta budak kulit hitam membakar perkebunan tebu tempat mereka bekerja dan menghajar tuan-tuan kolonial. Perlawanan itu menyulut revolusi, kemerdekaan, dan penghapusan perbudakan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi