tirto.id - Rabu, 7 Juli 2021, jadi hari kelabu bagi Haiti. Sekitar pukul 1.00 dini hari, 28 orang merangsek ke dalam kediaman presiden yang berlokasi di ibukota Port-au-Prince. Mereka menembak mati Presiden Jovenel Moise di kamar tidurnya.
Pembunuhan ini sangat mengejutkan. Dalam The New York Times Johnny Diaz melaporkan pemimpin negara seperti Moise seharusnya memperoleh perlindungan tingkat tinggi dengan 100 pengawal yang berjaga untuk keselamatannya.
Menindaklanjuti kasus ini, otoritas Haiti bergerak cepat melakukan investigasi. Tak sampai seminggu setelah pembunuhan, kepolisian berhasil menangkap lebih dari 20 orang tersangka yang menurut Duta Besar Haiti untuk Amerika Serikat sebagai "profesional terlatih". Dari 20-an orang tersebut, tiga di antaranya adalah warga AS, yakni Joseph Vincent, James J. Solages, dan Christian Emmanuel.
Dalam konferensi pers yang dilakukan kepolisian, Emmanuel, doktor asal AS yang ditangkap itu, disebut sebagai tokoh kunci aksi pembunuhan karena diduga berambisi menjadi presiden. Tak sampai di situ, pihak kepolisian juga mengklaim menemukan topi berlabel DEA (Drug Enforcement Agency alias BNN-nya AS) di lokasi pembunuhan. Polisi juga mengungkap bahwa salah satu orang yang ditangkap (tanpa menyebut nama), memiliki hubungan dengan FBI (Federal Bureau of Investigation).
DEA, sebagaimana termuat dalam laporan Evan Perez untuk CNN, tak menyangkal memiliki hubungan dengan mereka. Klaim DEA, satu orang yang diduga terlibat dalam aksi pembunuhan presiden Haiti hanya seorang informan, bukan petugas DEA. Di sisi lain, FBI pun menyatakan hal serupa. Satu orang terduga pembunuhan yang dikait-kaitkan dengan mereka merupakan seorang informan, bukan petugas FBI, dan karenanya menolak memberikan komentar lebih jauh.
Mengesampingkan klaim DEA dan FBI, adanya warga AS yang diduga terlibat dalam pembunuhan Moise, tentu menimbulkan segudang pertanyaan. Sebagai negara independen dan kedaulatannya diakui secara internasional, kok bisa Haiti diacak-acak warga AS?
Jawaban sederhana dari pertanyaan kompleks ini adalah karena Haiti merupakan Afghanistan versi abad ke-20.
Dalih dan Penjajahan Amerika Serikat
Sejak 1912 atau 108 tahun usai merdeka dari Perancis, Haiti gagal dirundung konflik. Kala itu, di tengah ketiadaan pemimpin karena Presiden Cincinnatus Leconte meninggal, militer Haiti terbelah, para komandan regional masing-masing memproklamasikan diri sebagai penguasa dan membentuk pasukan dengan mempersenjatai para petani, nelayan, hingga pedagang.
Sebagaimana dipaparkan Elie Jean-Louis dalam Outrage for Outrage: A History of Colonialism in Haiti and Its Legacy (2021), kekacauan dan kerusuhan lazim terjadi gara-gara nafsu kekuasaan. Upaya-upaya untuk menyatukan negeri juga berbuah kegagalan. Para presiden terpilih, yakni Tancrede Augustu, Michael Oreste, Oreste Zamor, Joseph Davilmar Theodore, digulingkan silih berganti tak lama setelah mulai menjabat.
Di tengah kekacauan itu, Jenderal Vilbrun Guillaume Sam menjadi aktor utama kemunduran Haiti. Sebagai panglima era Leconte, ia menjadi pemberi restu utama bagi siapapun yang hendak menjadi presiden. Masalahnya, dia juga menjadi aktor kunci kudeta. Sang jenderal menganggap kursi kepresidenan hanyalah komoditas. Baginya, uang adalah kunci kekuasaan. Sebaliknya, tanpa uang, kudeta menanti.
Pada Januari 1915, Jenderal Sam kian menggila. Kala itu, karena Joseph Davilmar Theodore enggan memberikan uang sepeserpun kepadanya, pasukan yang dikendalikan Sam--tetapi mengaku sebagai Cacos (kelompok sipil bersenjata di Haiti)--menyerbu istana kepresidenan. Jenderal Sam kemudian datang bak pahlawan menyelamatkan sang presiden dengan menyerang Cacos gadungan itu. Namun, setelah berhasil mengendalikan situasi, dia malah mengambil alih kekuasaan, mengklaim bahwa tindakannya memang harus dilakukan karena presiden tidak becus mengandalikan keamanan. Dua bulan kemudian sang jenderal menjadi presiden Haiti.
Ketika Haiti dipimpin Jenderal Sam, Amerika Serikat baru memproklamasikan diri sebagai penguasa Atlantik-Karibia karena berhasil mengusir kekuatan Eropa. Washington jengkel menyaksikan keadaan di Haiti. Bak sikap yang ditunjukkan superhero-superhero Hollywood, AS menganggap Jenderal Sam penjahat yang tak sepantasnya menjadi presiden. Maka itu, di tengah upaya meniti karier sebagai "polisi dunia", Presiden Woodrow Wilson AS mengirimkan Laksamana William B. Caperton beserta pasukannya ke lepas pantai Haiti untuk berjaga-jaga.
Sikap AS yang terlihat berjiwa kesatria ini memang omong kosong belaka dan hanya eksis di film-film Hollywood. Mary A. Renda dalam Taking Haiti: Military Occupation and the Culture of US Imperialism 1915-1940 (2001) menyebutkan, Washington memarkir pasukannya di lepas pantai karena Haiti adalah wilayah penting bagi ekonomi dan pertahanan AS.
Setahun sebelum Cincinnatus Leconte mangkat, pemerintah Haiti--melalui "MacDonald Project"--memberikan konsesi berhektar-hektar untuk digunakan sebagai perkebunan pisang bagi perusahaan-perusahaan AS, terutama MacDonald Co. dan United Fruit Co. Sementara itu, meskipun berhasil mengusir Inggris dan Spanyol dari Pasifik-Karibia, Jerman merangsek Kuba. Jika kemudian Jenderal Sam berteman dengan Jerman, maka suplai pisang dan keamanan AS terancam.
Menurut Hans Schmidt dalam The United States Occupation of Haiti 1915-1934 (1995), pengiriman pasukan ke lepas pantai Haiti bukan semata tercetus karena ancaman kepentingan ekonomi dan pertahanan. AS mengirim Laksamana Caperton untuk ikut campur dalam dunia politik Haiti. Keinginan ini timbul karena sejak berhasil mengusir Spanyol dan Perancis, Haiti menjadi negara kulit hitam pertama yang berdaulat di dunia.
Bak Wakanda dalam fiksi Marvel, segala sendi kehidupan Haiti dijalankan oleh orang-orang kulit hitam yang bebas dari penjajahan. Warga Haiti saat itu adalah mantan budak yang didatangkan Spanyol dan Perancis dari wilayah-wilayah Afrika untuk menambang emas dan mengurus perkebunan tebu karena pribumi Haiti telah habis dibantai kolonialis. Tak lama setelah merdeka, para pemimpin Haiti aktif menyerukan kepada orang-orang kulit hitam di seluruh dunia, termasuk di AS, untuk datang dan hidup berdaulat dalam naungan "Republik Kulit Hitam". Maka, sejak dekade 1820-an, orang-orang kulit hitam di seluruh dunia, termasuk dari AS, berbondong-bondong berimigrasi ke Haiti.
Bagi AS, semangat "Republik Kulit Hitam" sangat berbahaya. Terlebih, saat itu perbudakan terhadap warga kulit hitam masih lazim terjadi di AS. Jika warga kulit hitam di AS, khususnya budak-budak di perkebunan di wilayah Selatan terpengaruh semangat "Republik Kulit Hitam," Paman Sam akan kehilangan tenaga kerja atau revolusi sosial di dalam negeri bakal terjadi.
AS yang tampil heroik dalam film-film Hollywood tidak menginginkan pencerahan merasuk ke dalam orang-orang kulit hitam di negerinya. Walhasil, mereka ikut campur dalam urusan rumah tangga Haiti. Rencana mereka benar-benar terlaksana ketika Jenderal Sam melakukan aksi kekerasan kepada rakyatnya sendiri, termasuk membunuh pemimpin oposisi seperti mantan presiden Oreste Zamor.
Laksamana Caperton yang telah bersiaga bersama pasukannya, akhirnya mendarat di Haiti dan mengambil alih kekuasaan dan tangan Jenderal.
Sebagaimana kisah AS mengokupasi Afganistan di era modern, sejak Juli 1915 hampir setiap sendi hukum Haiti direvisi AS, termasuk konstitusinya. Kala itu, pejabat AS yang menulis ulang konstitusi Haiti adalah Franklin D. Roosevelt. Di hadapan Kongres AS pada 1920, Roosevelt dengan naif berkomentar tentang konstitusi Haiti buatannya: "Kalau boleh jujur, saya pikir cukup bagus." AS menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Haiti. Sudre Dartiguenava yang telah disumpah untuk setia pada kepentingan AS, menjadi presiden pengganti Jenderal Sam.
Silang pendapat terhadap aksi okupasi AS pada Haiti terjadi di dalam negeri. Bahkan, kembali merujuk buku yang ditulis Jean-Louis, Presiden Woodrow Wilson sebetulnya tidak memperoleh persetujuan dari Kongres AS untuk menjajah Haiti. Namun, diwakili oleh Menteri Luar Negeri AS Robert Lansing, Wilson berdalih bahwa aksi okupasi ini tak terelakkan.
Dengan pikiran yang sembrono dan sangat rasis, penjajahan AS atas Haiti dilakukan karena, ungkap Langsing, "pengalaman masa lalu Liberia dan Haiti menunjukkan pada kita semua bahwa ras Afrika tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan organisasi politik dan tidak memiliki kejeniusan dalam pemerintahan."
Pemikiran busuk inilah yang dipropagandakan Wilson melalui majalah World's Work dan National Geographic untuk mendapatkan dukungan rakyat meskipun ditentang Kongres.
Di bawah kuasa AS, mimpi "Republik Kulit Hitam" hancur lebur. Kekayaan Haiti yang telah menipis karena dikeruk Spanyol dan Perancis, kian habis gara-gara emas senilai 11 juta dolar digondol ke New York. Meskipun AS akhirnya angkat kaki pada 1935, namun Haiti akhirnya tak dapat mengelola dirinya sendiri karena terus-terusan dililit masalah ekonomi dan sosial, hingga saat ini.
Editor: Irfan Teguh Pribadi