tirto.id - Pemerintah Amerika Serikat tampak serius mengakhiri misi militer di Afghanistan setelah 20 tahun dengan menarik pulang semua pasukan selambat-lambatnya per 31 Agustus 2021, menurut pernyataan resmi dari Presiden Joe Biden, Kamis (8/7/2021). Sampai awal Juli, hanya sekitar 600 personel masih dipertahankan di Kabul untuk menjaga Kedutaan Besar AS dan area bandara.
Pemerintahan George W. Bush yang berkoalisi dengan Inggris pertama kali menerjunkan pasukan ke Afghanistan untuk memburu Al-Qaeda dan rezim Taliban yang melindunginya beberapa bulan setelah serangan teroris 11 September 2001.
Biden mengatakan AS tidak punya kepentingan lagi sebab tujuan mereka sudah tercapai. Pertama, mengenyahkan sang pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden; kedua, menggerus kapasitas Al-Qaeda sehingga tak lagi berdaya untuk melancarkan serangan sampai ke daratan Paman Sam.
Selain itu, alasan lain penarikan pasukan adalah rakyat Afghanistan dipandang “berhak dan bertanggung jawab memutuskan masa depannya serta bagaimana mereka mau menjalankan negaranya.”
Agresi AS sudah menimbulkan penderitaan tak terhingga bagi rakyat Afghanistan. Mengutip Associated Press, sedikitnya 47 ribu nyawa warga sipil melayang dan 2,7 juta lainnya dipaksa mengungsi ke luar negeri. Selain itu, diperkirakan lebih dari 66 ribu tentara nasional Afghanistan tewas. Dari pihak militer AS, terhitung 2.442 korban jiwa, sementara 1.144 lain berasal dari 40 negara koalisi NATO. Belum lagi dana ratusan miliar dolar terkuras untuk membiayai proyek-proyek kontra-terorisme, persenjataan, dan pelatihan bagi pasukan Afghanistan.
Tapi bukan berarti penarikan ini disambut sukacita sepenuhnya. Beberapa pihak khawatir otoritas Afghanistan akan kembali dirongrong Taliban. Taliban dikabarkan memegang kendali sejumlah distrik, di samping sekian banyak wilayah lain yang masih diperebutkan. Tanpa bantuan serdadu AS, Afghanistan dianggap bakal kewalahan menghadapi agresi tersebut.
Namun Biden percaya Afghanistan bisa mengatasi tantangan tersebut berkat persenjataan dan pelatihan kepada nyaris 300 ribu tentara nasional.
Perang Terlama AS
Perang di Afghanistan merupakan konflik bersenjata paling lama yang pernah AS geluti. Saking lamanya, angkatan muda yang hari ini bergabung ke militer—lahir pasca 9/11—tak lagi dibakar oleh semangat yang sama seperti angkatan di atas mereka.
Brandon Friedman, veteran yang meniti karier militer sebelum 9/11 terjadi, mengatakan kepada Washington Post pada 2018 lalu bahwa alasan anak muda bergabung dengan militer lazimnya berkaitan dengan keinginan untuk menguji keberanian, agar dapat tunjangan pendidikan, atau sekadar cari peruntungan. Namun, pasca-serangan 9/11di New York dan Pentagon, alasan-alasan itu berubah menjadi lebih ideologis. “Terdapat kesatuan yang kuat dan semacam sense of purpose—rasa akan tujuan—di negara ini dan di militer,” katanya. Masa-masa itulah yang ia sebut sebagai “momen membangkitkan”—yang kini diromantisasi.
Bersamaan dengan itu, data dari Pentagon menunjukkan para pemuda yang bergabung dengan militer persis setelah tragedi 11/9 meningkat hingga delapan persen. Kecenderungan ini terlihat sampai 2005.
Setelah itu tren menurun karena faktor ekonomi yang cukup kuat dan persepsi bahwa perang adalah aksi destruktif, menurut amatan pakar. Menurut staf bahasa militer Kayla Williams, motivasi anak-anak muda yang bergabung di militer hari ini menyerupai keinginan angkatan sebelum tragedi 11/9 (cari petualangan baru, agar dapat tunjangan kesejahteraan, atau tertarik dengan aspek-aspek kehormatan militer).
Selama Perang Afghanistan berlangsung, AS mengalami empat kali pergantian pemerintahan—George W. Bush (2001-209), Barack Obama (2009-2017), Donald Trump (2017-2021) dan Joe Biden (2021-2024). Masing-masing dari mereka memiliki pendekatan berbeda dalam mengelola perang ini.
Invasi ke Afghanistan, dikenal juga sebagai Operation Enduring Freedom, diinisiasi oleh pemerintahan Bush sebagai langkah awal untuk memberantas terorisme (Global War on Terror). Inti dari operasi ini adalah melemahkan gerakan-gerakan teroris supaya tak lagi mengancam keamanan AS dan sekutunya di NATO.
Di samping melancarkan serangan militer, pemerintahan Bush tampak berusaha keras mendorong liberalisasi politik. Pada 2004 pemilu diselenggarakan untuk menentukan presiden, diikuti pemilihan anggota legislatif. Pemilu legislatif ini kali pertama dilakukan sejak absen lebih dari 30 tahun. Pemerintahan Bush juga aktif mengampanyekan pemberdayaan perempuan, menurut arsip resmi, di antaranya dengan mendirikan sekolah di Kabul dan institut pendidikan guru, sampai memberikan pelatihan bagi jurnalis dan bidan di pedesaan. Selama rezim Taliban berkuasa, perempuan jadi salah satu kelompok paling ditindas dan dikekang.
Di era presiden pilihan Demokrat, Barack Obama, terjadi eskalasi operasi penumpasan Al-Qaeda yang tak lain bertujuan untuk mengakhiri peperangan. Sepanjang paruh pertama 2010, menurut situs resmi militer, Obama mengirimkan tambahan 30 ribu pasukan. Jumlah pasukan terbanyak sejak invasi tercatat setahun kemudian, nyaris 100 ribu. Pada 2011 Osama bin Laden tewas di tangan pasukan AS di Abbottabad, Pakistan.
Obama memang menyatakan misi selesai pada 2014, namun itu bukan berarti mengakhiri keberadaan pasukan AS dan koalisi NATO di sana. NATO tetap bertahan untuk mendampingi dan melatih pasukan nasional sesuai dengan permintaan pemerintah Afghanistan dan Perjanjian Status Pasukan. Misi yang disebut 'Resolute Support' ini diikuti oleh sekitar 12 ribu pasukan NATO dan sekutunya.
Otoritas AS menyusul dengan misi lain bertajuk 'Operation Freedom’s Sentinel'. Operasi ini memberikan lampu hijau kepada pasukan AS untuk melancarkan program-program kontra-terorisme terhadap Al-Qaeda, kelompok-kelompok Negara Islam dan asosiasinya, di samping melatih angkatan bersenjata Afghanistan bersama NATO. Sampai Obama meninggalkan Gedung Putih pada awal 2017, terdapat sekitar 8.400 pasukan AS di Afghanistan.
Di masa Donald Trump, pemulangan sisa pasukan menjadi salah satu agenda AS di Timur Tengah. Hal ini dilakukan dengan menjalin kesepakatan dengan Taliban, menurut situs resmi. Melalui perjanjian 29 Februari 2020 ini, Washington setuju menarik mundur seluruh pasukan AS dan koalisi selambat-lambatnya 1 Mei 2021 (jadwalnya mundur empat bulan di bawah administrasi Biden). Sebagai gantinya, Taliban akan “mencegah grup atau individu mana pun, termasuk Al-Qaeda, agar tidak menggunakan wilayah Afghanistan [sebagai basis] untuk mengancam keamanan AS dan sekutunya.” Taliban juga diminta memulai negosiasi damai di dalam negeri dengan perwakilan resmi pemerintah.
Masalahnya, otoritas Afghanistan sama sekali tidak dilibatkan dalam perundingan. Selain itu, menurut amatan Mujib Mashal di New York Times, banyak kontradiksi dan ambiguitas yang melatari perjanjian. Misalnya, kesepakatan dilakukan dengan aktor non-negara, tepatnya gerakan kombatan Islamis. Salah satu pemimpin Taliban juga berafiliasi dengan Haqqani, jaringan teroris yang gencar mengampanyekan aksi bom bunuh diri. Masih samar juga sejauh mana Taliban berkenan melindungi hak-hak sipil yang selalu mereka tindas saat berkuasa.
Menurut pandangan juru bicara Badan Keamanan Nasional Afghanistan, Rahmtullah Andar, tanpa keterlibatan pemerintah Afghanistan, perjanjian AS-Taliban “tidak efektif untuk perdamaian, menghentikan pertumpahan darah, dan mengakhiri perang serta penderitaan rakyat Afghanistan.”
Dan memang begitu yang terjadi. Melansir Voice of America, kesepakatan tidak mengurangi frekuensi kekerasan yang dilakukan Taliban hingga merenggut banyak nyawa sipil. Berdasarkan temuan United Nations Assitance Mission in Afghanistan (UNAMA), jumlah korban sipil meningkat 45 persen setelah negosiasi intra-Afghan dimulai pada September 2020. Sepanjang 2020, sebanyak 3.000 warga sipil terbunuh dan 5.800 orang terluka.
Kekalahan Memalukan seperti di Vietnam?
Keputusan untuk meninggalkan Afghanistan dipandang baik salah satunya oleh peneliti senior dari Pusat Studi Keamanan, Strategi, dan Teknologi di Brookings Institution, Vanda Felbab-Brown. Ia memuji langkah ini sebagai “pilihan strategis yang bijaksana, yang memerlukan keberanian politik signifikan.” Menurutnya ada banyak prioritas lain buat pemerintah AS pikirkan dan selesaikan, seperti ancaman dari Cina, Rusia, Korea Utara sampai pandemi. Energi baik dari militer dan sumber daya finansial semestinya diarahkan ke sana.
Felbab-Brown mengatakan kehadiran militer AS memang menghambat pencapaian politik dan militer Taliban, namun tidak akan pernah bisa membalik situasi. Baik dengan 5 ribu atau bahkan 100 ribu pasukan, AS tetap tidak akan bisa membendung kekuatan politik Taliban sebagai salah satu aktor berpengaruh di Afghanistan.
Di sisi lain, kepergian pasukan juga dipandang mencerminkan kekalahan sekaligus kelemahan Washington. The Economist berkomentar pemerintah AS telah gagal membangun Afghanistan yang tangguh dan mandiri, serta kalah dari gerakan pemberontakan. AS juga dinilai tidak siap menyokong Afghanistan sebagai sekutu. Karena perang sudah berlangsung terlalu lama dan elite politik berlarut-larut dalam mengambil keputusan, ketika akhirnya pasukan ditarik, “daya kejutnya sudah hilang.”
Media asal Inggris ini menyimpulkan penarikan pasukan kelak memperparah kekacauan di Afghanistan dan menganggapnya sebagai “kegagalan menyedihkan.”
Sejumlah pihak membandingkan ini dengan pengalaman pemerintah AS dalam mengakhiri Perang Vietnam setengah abad silam. Michael Hirsh di Foreign Policy memaparkan bagaimana para pengkritik Biden menyoroti langkah damai yang diinisiasi oleh pemerintahan Biden menyerupai sikap Richard M. Nixon. Pada 1973, pemerintahan Nixon menyepakati perjanjian damai untuk mengakhiri Perang Vietnam dengan melibatkan perwakilan Vietnam Utara, Viet Cong, tapi mengesampingkan kedudukan pemerintah Vietnam Selatan.
Dalam surat tahun 1972, Nixon memperingatkan Presiden Vietnam Selatan kala itu, Nguyen Van Thieu, apabila menolak perjanjian damai, pemerintah AS tak akan lagi memberikan dukungan. Berdasarkan pengamatan Hirsh, konten dengan nada yang sama nampak dari surat yang dikirimkan Menteri Luar Negeri pemerintahan Biden, Antony Blinken, kepada Presiden Afghanistan Ashraf Gani pada Maret silam. Di dalam surat tersebut, pemerintah AS menjabarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi otoritas Afghanistan demi tercapainya perdamaian. Mereka juga terlihat memaksakan pemerintah Afghanistan untuk bekerja sama dengan Taliban dalam mengembangkan “peta jalan menuju pemerintahan baru yang inklusif.”
Namun, dalam berbagai aspek, dua misi militer ini punya motif dan dampak yang berbeda. Perang Vietnam yang berlangsung selama sembilan tahun (1964-1975) dilatari oleh perebutan pengaruh ideologi Blok Barat dan Timur. Dari kacamata pemerintah AS, mereka ingin mencegah jatuhnya Vietnam ke tangan rezim komunis, yang dikhawatirkan bakal memicu efek domino di seluruh kawasan Asia Tenggara. Meskipun demikian, terungkap dari dokumen resmi pada 1965 bahwa tujuan perang tak lebih dari gengsi Paman Sam saja: sebanyak 70 persen tujuan adalah demi “menghindari kekalahan yang memalukan,” 20 persen untuk menyelamatkan Vietnam Selatan dari pengaruh komunis Cina, dan sisanya demi memberikan kehidupan lebih baik bagi rakyat Vietnam Selatan.
Selain itu, ditinjau dari skala kerugian, Perang Vietnam menimbulkan korban jiwa teramat besar: 2 juta warga sipil Vietnam, 1,1 juta tentara Vietnam Utara, 2.500 tentara Vietnam Selatan, dan lebih dari 58 ribu serdadu AS. Wajib militer pun menjadi unsur penting dalam proses rekrutmen tentara. Sebanyak 2,2 juta pemuda AS—dari sekitar 27 juta populasi yang memenuhi syarat—direkrut untuk Perang Vietnam, dikutip dari situs gerakan anti Perang Vietnam milik University of Michigan.
Keputusan untuk mengakhiri Perang Vietnam juga dipolitisasi demi kepentingan mempertahankan kekuasaan Nixon, yang 1969 terpilih lagi setelah Lyndon B. Johnson memutuskan tidak akan nyapres lagi. Pada penghujung dekade 1960-an, tanda-tanda kekalahan pasukan AS dan Vietnam Selatan mulai nampak seiring dengan hilangnya kontrol sejumlah besar wilayah gara-gara Serangan Tet (1968) yang dilakukan pasukan Vietnam Utara dan Viet Cong. Kekalahan inilah yang mendorong Johnson untuk tidak maju nyapres lagi, dan Nixon terpilih sebagai presiden dengan janji kampanye mengakhiri perang.
Namun demikian, setelah satu periode kepemimpinannya berjalan, perang tak jua berakhir. Mengutip studi yang disusun Paul D. Miller untuk Atlantic Council (2020), Nixon dan para penasihatnya diam-diam mengatur agar pasukan AS ditarik dari Vietnam pada 1972, ketika pemilu presiden berlangsung. Tujuannya tak lain agar Nixon bisa mendulang suara dan memenangkan periode keduanya, sebelum kehilangan muka karena Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis. Nixon akhirnya mendapatkan yang ia inginkan: menang telak dari capres Demokrat George McGovern dengan perolehan suara 60 persen.
Tak lama kemudian, setelah perjanjian damai disepakati di Paris pada 1973, pasukan AS pun mulai dipulangkan. Setahun kemudian, skandal rekaman Watergate memaksa Nixon mengundurkan diri. Pasukan Vietnam Utara akhirnya keluar sebagai pemenang setelah Saigon jatuh ke tangan mereka pada 1975. Situasi genting pada hari-hari terakhir perang melibatkan evakuasi dramatis dengan helikopter terhadap 7.000 warga AS dan rakyat Vietnam Selatan.
Menurut Hirsh, apabila kelak pertumpahan darah semakin menjadi setelah kepergian pasukan AS, bukan mustahil slogan 'Afghanistan adalah Vietnam-nya Biden' bakal diserukan oleh pendukung Republikan ketika Biden mau nyapres lagi pada 2024, atau bahkan ketika pemilu paruh waktu berlangsung tahun depan.
Editor: Rio Apinino