tirto.id - Setelah bertahun-tahun bersitegang, Mesir dan Israel akhirnya bertemu dalam suatu pertemuan perdamaian yang dimediasi Amerika Serikat. Mereka melakukan negosiasi di Camp David pada 17-29 September 1978 membahas penyelesaian konflik antar kedua negara.
Mesir diwakili oleh Presiden Anwar Sadat, sedangkan Israel oleh Perdana Menteri Menachem Begin. Mereka berdiskusi bersama Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, yang bertindak sebagai mediator. Meski awalnya tidak menemui titik temu, tetapi akhirnya mereka bersepakat untuk menyusun kerangka perdamaian di Timur Tengah dengan agenda berupa: (1) pendirian otonomi Palestina di Tepi Barat dan Gaza, (2) perdamaian Mesir-Israel, (3) perdamaian antara Israel dengan negara Arab lainnya.
Satu tahun kemudian, yakni pada 26 Maret 1979, tepat hari ini 42 tahun lalu, Mesir dan Israel sepakat untuk berdamai. Kedua belah pihak menandatangi lembaran keputusan monumetal yang mengakhiri tiga dekade permusuhan dan berupaya membangun hubungan diplomatik. Selain itu, mereka juga sepakat untuk mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir melalui demiliterisasi dan menyelesaikan masalah Palestina.
Sebagai orang yang memfasilitasi perjanjian bersejarah ini, Jimmy Carter berkata, “Damai telah datang ke Israel dan Mesir […] kita harus mendedikasikan kembali diri kita untuk tujuan perdamaian yang lebih luas dengan keadilan bagi semua yang telah hidup dalam keadaan konflik di Timur Tengah […] sekarang kita harus menunjukkan manfaat perdamaian dan memperluas manfaatnya untuk mencakup semua orang yang telah begitu menderita di Timur Tengah.”
Pernyataan Carter itu menyiratkan bahwa masa depan Timur Tengah akan penuh dengan perdamaian dan ketenteraman, tiada lagi deru senjata dan kucuran darah para kombatan. Namun ironisnya belum genap sebulan setelah perjanjian, mimpi perdamaian tersebut terpaksa runtuh ketika Timur Tengah bergejolak hingga semakin membuat panas keadaan.
Mayoritas negara-negara Arab marah besar karena Sadat dianggap mengkhianati perjuangan Palestina ketika negaranya menjalin hubungan dengan Israel. Akibatnya, pada 31 Maret 1979, Liga Arab menjatuhkan sanksi dengan menghentikan seluruh bantuan ekonomi, memutuskan hubungan diplomatik, memindahkan kantor Liga Arab dari Mesir ke Tunisia, dan membekukan keanggotaan Mesir di Liga Arab. Keputusan tersebut dilaksanakan oleh hampir seluruh anggota organisasi tersebut kecuali Oman, Sudan, dan Djibouti.
Mesir tidak tinggal diam. Sadat melawan dengan menarik duta besar dari negara-negara yang menentang perjanjian damai serta membekukan aset Liga Arab. Di sisi lain, banyak yang menilai bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada Mesir cukup mengagetkan tetapi tidak menyulitkan. Meski sudah disanksi, roda ekonomi Mesir tidak akan berhenti karena masih mendapat keuntungan dari penambangan minyak dan sokongan dana yang cukup besar dari AS setiap tahunnya pasca perjanjian itu. Sedangkan dari segi politis, sebagai salah satu negara besar di Timur Tengah, kebijakan-kebijakan Mesir tetap berpengaruh terhadap kawasan meski mengalami pemutusan diplomatik.
Palestina sebagai Korban dan Mimpi yang Berantakan
Samuel W. Lewis, duta besar AS untuk Israel tahun 1977-1985 sekaligus saksi mata perjanjian Mesir-Israel, dalam tulisannya di surat kabar New York Times, mengungkapkan kondisi Timur Tengah yang berada dalam ketidakpastian, juga jauh dari mimpi ketenteraman setelah tujuh tahun kesepakatan damai. Dalam kurun waktu tersebut terjadi perubahan kehidupan politik internasional kawasan Timur Tengah. Tewasnya Anwar Sadat serta pergantian Jimmy Carter dari kursi kepemimpinan di AS berdampak pada meredupnya isi dan semangat dari perjanjian.
Mayoritas warga dari kedua negara turut merenungkan lunturnya semangat dan cita-cita perjanjian yang jauh dari impiannya. Dalam bayangan warga Israel misalkan, mereka memandang perjanjian damai bukan sekadar tidak ada perang, tetapi dapat membuat hubungan antar negara semakin hangat dan harmonis. Bayangan yang naif itu dalam kenyataannya justru semakin memanas.
Sedangkan bagi warga Mesir, mereka harus menelan kenyataan pahit bahwa cita-cita untuk menjadikan negaranya sebagai pemimpin Arab hingga dapat membangkitkan perjuangan Palestina dan berjaya dalam ekonomi, hancur karena pelaksanaan perjanjian tersebut tidak berjalan. Tidak mengherankan apabila Lewis mengatakan bahwa perjanjian damai Mesir-Israel sebagai, “a lonely relic of shattered dreams.”
Seharusnya, perjanjian ini berdampak pada perdamaian regional Timur Tengah secara umum. Perdamaian tidak sekadar retorika tetapi harus menjadi kenyataan positif yang dapat dirasakan seluruh negara di kawasan. Terkait ini Palestina menjadi korban. Padahal ketika negosiasi, nama Palestina disebut secara khusus dalam kerangka perdamaian Timur Tengah. Namun dalam prosesnya, negara yang kerap berkonflik dengan Israel tersebut cenderung dilupakan.
Majid Rafizadeh, ilmuwan politik dari Harvard University, kepada Arab News menjelaskan bahwa perjanjian tersebut hanya untuk menyudahi peperangan antar kedua negara, tetapi tidak membahas segudang permasalahan di balik ketegangan Mesir-Israel yang turut memanaskan kawasan. Seharusnya, kesepakatan negosiasi juga membahas aspek-aspek mendalam hingga dapat mengubah pandangan kedua negara, khususnya Israel, terhadap Palestina.
Lalu, apakah ada tipu muslihat di balik perjanjian tersebut? Aktivis perjuangan Palestina, Ray Hanani, memberikan analisisnya dalam “Camp David Accord’s flawes path to peace”. Hanani secara tersirat memaparkan bahwa Sadat cukup tertipu dan dipermainkan dalam perjanjian ini khususnya perihal Palestina. Misalkan saja ketika Sadat berkunjung ke Israel dan AS, ia dipuja dan dihormati oleh kedua negara. Tujuannya tidak terlepas sebagai upaya “menyenangkan” Sadat. Sayangnya, ujar Hanani, ia justru terlena dan terbuai akan hal itu dan tetap melanjutkan langkahnya untuk berdamai dengan Israel.
“Padahal beberapa minggu sebelum perjanjian, Begin meresmikan permukiman Ariel, yang telah menjadi simbol perang berkelanjutan Israel melawan kenegaraan Palestina dan pusat perluasan permukiman,” imbuhnya.
Tindakan Begin menunjukan gelagat Israel untuk tetap mempertahankan kedudukannya di Palestina. Pada 2 September 1982, Israel melakukan keputusan yang tidak sesuai kesepakatan, yakni meluaskan wilayah permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan yang tentu saja semakin membuat Palestina terisolasi. Artinya, kesepakatan itu gagal menghalangi rencana untuk menghilangkan pengaruh Israel di wilayah pendudukan.
Apalagi ketika aktor utama perjanjian menghilang dari kontestasi politik Internasional, Israel semakin semangat mencengkeram Palestina. Mimpi ketenteraman Timur Tengah yang tertuang dalam kesepakatan berakhir sia-sia.
Editor: Irfan Teguh Pribadi