tirto.id - "Kita tidak akan goyah dan kita tidak akan gagal. Perdamaian dan kebebasan akan menang," kata Presiden Amerika Serikat ke-43 George W. Bush di layar kaca.
Sorot matanya tegas, nada suaranya lantang, menyiratkan keyakinan bahwa AS sedang berjuang demi kebaikan dunia.
Hari itu pada Minggu, 7 Oktober 2001 pukul 01.00 siang waktu setempat, hampir sebulan setelah serangan teroris menerpa AS pada 9 September. Dalam serangan yang dikenal dengan nama 9/11 itu, tiga pesawat komersial yang dibajak teroris meluluhlantakkan dua menara kembar World Trade Center (WTC) sekaligus nyaris menghancurkan Pentagon.
Seiring dengan dilontarkannya ucapan Bush, Afganistan resmi menjadi medan tempur antara AS dengan Taliban serta Al Qaeda di bawah panji Operation Enduring Freedom (OEF).
"Atas perintah saya, militer AS telah memulai serangan terhadap kamp teroris Al Qaeda, dan instalasi militer rezim Taliban di Afganistan," tegas Bush seperti dikutip dari Washington Post.
OEF merupakan bentuk nyata dari pernyataan ‘War on Terror’ atau perang terhadap teror yang diserukan AS untuk secara proaktif melibas terorisme dari muka bumi. Afganistan menjadi korban, semata-mata karena badan inteligen AS mengklaim adanya keterkaitan antara serangan 9 September dengan Al Qaeda, grup yang berada di bawah naungan Taliban. Pada saat itu, Taliban dapat dikatakan menguasai Afganistan.
Seperti dilaporkan oleh CNN, operasi itu diluncurkan untuk membuat Taliban berhenti menyediakan tempat berlindung yang aman bagi Al Qaeda sekaligus sebagai upaya untuk menghentikan Al Qaeda sendiri yang menggunakan Afganistan sebagai basis untuk aktivitas teror mereka.
Inisiatif perang terhadap teror ini bukannya tanpa kritik. Seperti dituliskan oleh Richard Jackson dalam Encyclopaedia Britannica, perang terhadap teror ini lebih banyak mudaratnya daripada untungnya bagi dunia.
Selain mengencangkan sentimen anti AS di dunia Muslim, inisiatif ini juga disinyalir hanya digunakan AS untuk menutupi kepentingan geopolitiknya, termasuk mengontrol cadangan minyak dunia, meningkatkan pengeluaran militer AS, memperluas kehadiran militer AS di tingkat internasional, serta memangkas tantangan strategis yang ditimbulkan oleh berbagai kekuatan regional.
Kendati demikian, bola terus bergulir. Perang yang diinisiasi AS di Afganistan masih terus berlanjut hingga 2018 ini. Terbunuhnya pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden – disinyalir sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada serangan 9/11 – pada 1 Mei 2011 oleh serangan militer AS hanya menunda sebentar perang AS di Afganistan. Council on Foreign Relations menyebut perang ini sebagai perang terlama AS sepanjang sejarah.
Mengapa Al Qaeda?
Administrasi Bush yakin mereka memiliki bukti yang cukup kuat bahwa Al-Qaeda-lah yang terlibat. Hal itu dikatakan Bush ketika ia menyampaikan pidatonya di hadapan kongres AS pada 21 September 2001.
Apa yang dikatakan Bush bukan omong kosong. Kurt Eichenwald dalam esai berjudul The Deafness Before the Strom di harian The New York Times menuliskan, sejak 1 Mei 2001, badan intelijen AS, CIA, sesungguhnya telah memberikan laporan kepada gedung putih bahwa Al Qaeda akan menyerang AS pada suatu waktu di musim semi.
Meski demikian, sejumlah orang neokonservatif di dalam administrasi Bush mengatakan bahwa peringatan CIA itu hanya sebuah gertakan. Mereka berpendapat, Osama sesungguhnya hanya berpura-pura akan menyerang AS hanya untuk mengalihkan perhatian negara adi daya itu dari Saddam Hussein, orang yang mereka anggap sebagai ancaman yang lebih besar.
Merespons tanggapan dari sejumlah orang tersebut, CIA kemudian mengeluarkan sejumlah laporan susulan berisikan bukti-bukti kuat akan rencana Al-Qaeda tersebut. Namun, Gedung Putih tetap bergeming.
Berlindung di Balik Teror
Dalam buku berjudul America Unbound: The Bush Revolution in Foreign Policy (2003), Ivo H. Daalder dan James M. Lindsay menuliskan, serangan AS ke Afganistan sesungguhnya merupakan kulminasi dari keyakinan Bush bahwa kebijakan luar negeri AS harus lebih agresif. Ia merasa, langkah pencegahan seharusnya bukanlah pilihan utama dari kebijakan luar negeri AS.
Sikap ini terlihat, jelas mereka, dalam argumentasi Bush yang tertuang dalam sebuah laporan berisi strategi keamanan nasional administrasinya. Bush mengatakan AS tidak dapat lagi secara utuh bergantung pada sikap reaktif, serta menganjurkan jika, ”Kita tidak boleh membiarkan musuh kita menyerang terlebih dahulu.”
Dengan demikian, serangan 9/11 sesungguhnya hanya merupakan tragedi yang 'mempermulus' langkah Bush untuk menerapkan idealismenya. Melalui serangan teror itu, Bush tidak memiliki banyak perlawanan dari pihak oposisi di kongres AS sebab sentimen negatif terhadap teror masih mendera publik AS.
Ivo dan James mencatat, pihak oposisi di kongres, termasuk dari Partai Demokrat tak menyukai posisi yang diambil oleh Bush terkait kebijakan luar negeri ini. Namun, pasca serangan 9/11, suara-suara perlawanan tak lagi terdengar.
Lantas apa dalih yang digunakan oleh pemerintahan Bush untuk menjustifikasi serangan AS ke Afganistan?
Douglas Kellner dalam buku From 9/11 to Terror War: The Dangers of the Bush Legacy (2003) menuliskan, selain untuk memberangus Al Qaeda, perang di Afganistan sesungguhnya dilakukan oleh AS karena mereka ingin membangun relasi yang lebih kreatif dengan negara-negara Islam.
Apa yang dikatakan Kellner boleh jadi benar. Pasalnya, dalam pidato deklarasi perang Bush di mana ia mengumumkan secara resmi serangan AS ke Afganistan, sang presiden memberikan porsi khusus untuk hal tersebut. Bush menekankan bahwa AS merupakan teman dari negara-negara Islam.
"Amerika Serikat adalah teman bagi rakyat Afganistan, dan kami adalah teman dari hampir satu miliar orang di seluruh dunia yang mempraktikkan Islam," kata Bush dikutip dari Washington Post.
Bush juga menekankan bahwa meskipun mereka melakukan serangan militer ke Afganistan, pada saat yang bersamaan pemerintah AS akan memberikan suplai makanan serta obat-obatan kepada masyarakat Afganistan yang “kelaparan dan menderita.”
Hal ini tidak ia lakukan sekali. Sebelumnya, Bush menegaskan bahwa perang mereka adalah perang terhadap teroris, bukan Islam, dalam pidato di hadapan kongres pada 21 September 2001.
Apa yang pemerintah AS lakukan, menurut Bush, adalah untuk kebaikan dunia bahwa perang ini merupakan, "pertarungan dunia. Ini pertarungan peradaban. Ini adalah pertarungan semua yang percaya pada kemajuan dan pluralisme, toleransi dan kebebasan."
Ia juga mengatakan, AS menghormati agama Islam dan Muslim di seluruh dunia, sembari menambahkan bahwa ajaran Islam penuh dengan perdamaian dan kebaikan. Apa yang dilakukan oleh teroris, sebut Bush, merupakan upaya untuk membajak Islam itu sendiri.
Seperti yang sudah ditebak, sejarah membuktikan, apa yang dilakukan Bush sia-sia sebab yang terjadi malah semakin kencangnya gelombang anti AS.
Kini, 17 tahun setelah AS menyerang Afganistan, serangan teror menjadi lebih jamak dan para pelakunya semakin menyebar. Situasi itu jauh dari apa yang dijanjikan Bush pada 2001 bahwa perdamaian dan kebebasan akan menang. Pada akhirnya, tidak ada kebaikan dalam perang yang tak jelas kapan akan berakhir.
Editor: Suhendra