tirto.id - “Saya tahu ia memiliki penampilan yang menakjubkan,” ucap Steve McCurry, fotografer lepas kelahiran Pennsylvania, Amerika Serikat. “Masalahnya,” lanjut sosok yang meliput langsung perang Iran-Irak, Teluk, dan banyak konflik di Afganistan itu, “di sekitarnya sangat ramai dan debu berterbangan di antara kami, dan saya memotretnya sebelum kamera digital lahir dan Anda tidak akan tahu apa yang terjadi ketika memotret dengan seluloid.”
“Ketika saya memproses klise potretnya, hasilnya sangat spesial,” tegas McCurry. “Seorang editor National Geographic yang saya tunjukkan hasil potretnya kemudian menegaskan bahwa potret ini, ‘adalah sampul majalah National Geographic edisi berikutnya.’”
“Gadis Afgan" (Afghan Girl), demikian judul foto seorang gadis di kamp pengungsian Nasir Bagh di Pakistan yang muncul di sampul majalah National Geographic edisi Juni 1985. Ia, tulis The Washington Post dalam wawancaranya dengan McCurry pada 2001 silam, adalah “foto paling tersohor National Geographic Society sepanjang 114 tahun sejarahnya.”
Representasi Pengungsi
Steve McCurry, sebagaimana dikisahkan Jake Wallis Simons untuk CNN, adalah seorang fotografer kelahiran 1950. Kala masih kanak-kanak, ia terjatuh dari kursi dan tangan kanannya rusak permanen. McCurry muda berlabuh di bangku Penn State University, mengambil jurusan seni teater. Dua tahun selepas lulus, McCurry hijrah ke India untuk memenuhi hasratnya menjadi fotografer. Barulah pada akhir 1970-an, tatkala McCurry sukses masuk ke Afganistan, McCurry dikenal dunia, khususnya selepas mengabadikan kekerasan dalam perang Afganistan-Soviet.
Dalam jejak langkahnya, McCurry lebih banyak menghabiskan karier fotografi ke wilayah-wilayah Asia dan Timur Tengah, memotret kejamnya penindasan, perang, atau kebusukan pemerintah di negeri-negeri yang didatanginya. Dalam wawancaranya dengan Simons, McCurry mengaku selalu “mencari momen-momen tanpa pengawasan militer, mengintip jiwa-jiwa rakyat yang memancarkan pengalaman getir melalui wajahnya”.
Pada 1984 McCurry memotret untuk National Geographic. Saat itulah ia bertemu dengan sang Gadis Afgan di pengungsian. Usia si gadis saat itu sekitar 12. Tujuh belas tahun kemudian, McCurry (dan dunia) baru mengetahui nama sang gadis: Sharbat Gula. Gadis yang menurut McCurry memancarkan “emosi yang misterius”. Matanya, yang berwarna hijau, dikiaskan “terbakar oleh keganasan.”
Ketika perang Afganistan dan Soviet meletus pada akhir 1970-an, Gula terusir dari negerinya, menyelamatkan diri ke wilayah Pakistan dan menjadi seorang pengungsi di kamp Nasir Bagh. Setelah fotonya muncul di sampul National Geographic terbit, Gula menjadi simbol pahitnya peperangan.
Menurut McCurry, Gula menjadi “pelecut semangat banyak orang-orang di Barat menjadi sukarelawan di kamp-kamp pengungsian”. Dan Pakistan, negeri yang menampung Gula belia, bangga atas kedermawanan menerima pengungsi dari negeri seberang.
Potret sang gadis memang menakjubkan dan semakin masyhur manakala National Geographic, dipicu aksi balasan Amerika Serikat selepas peristiwa 9/11, mencari sosok Gula. Mereka menggarap dokumenter berjudul Search for the Afghan Girl untuk mengetahui nasibnya. McCurry, si fotografer, terlibat dalam pencarian.
National Geographic, dalam artikel berjudul “Afghan Girl Revealed” (April 2002) mengisahkan perjalanan McCurry dan tim dokumenter ke Afganistan, tepatnya ke sebuah desa di kaki gunung Tora Bora. Di sanalah mereka bertemu Gula yang saat itu diperkirakan berumur antara 28, 29, atau 30 tahun. “Waktu dan kesulitan hidup telah menghapus masa mudanya. Kulitnya kusam, rahangnya melunak. Namun, tatapan matanya masih tajam,” tulis artikel tersebut. Perubahan itu, tulis National Geographic, terjadi karena kekacauan. Afganistan telah berperang nonstop selama 23 tahun. Sebanyak 1,5 juta jiwa kehilangan nyawa dan 3,5 juta menjadi pengungsi.
McCurry, dalam wawancaranya dengan Washington Post, menegaskan bahwa ia “tidak membutuhkan bukti ilmiah bahwa Gula adalah Gula sang Afghan Girl.” Keyakinan yang diperkuat melalui hasil analisis retina mata oleh FBI.
Saat ditemukan, Gula telah memiliki empat anak: Robina, yang berumur 13 tahun, Zahida (3), Alia (bayi), dan seorang anak yang telah meninggal. Gula hidup dengan suaminya, Rahmat Gul, seorang penderita asma akut.
Kashar Khan, saudara laki-laki Gula, menceritakan bahwa kepergian Gula muda ke Pakistan dilakukan karena “perang yang merajalela". “Rusia di mana-mana dan mereka membunuhi orang-orang Afganistan. Maka, kami tak punya pilihan selain pergi.”
Stephanie L. Hawkins, dalam American Iconographic: National Geographic, Global Culture, and the Visual Imagination (2010), menyebut bahwa National Geographic "bukan hanya bertransformasi menjadi ikon kebudayaan, tetapi juga sukses menciptakan ikon” sejak terbit perdana pada 1888. Dan salah satu ikon itu adalah Gula, yang menjadi simbol kebiadaban perang dan kehancuran Afganistan, bukan hanya karena invasi Uni Soviet, tetapi juga Amerika Serikat.
Rae Lynn Schwartz-DuPre, dalam studi bertajuk “Portraying the Political: National Geographic's 1985 Afghan Girl and a US Alibi for Aid” (2010) menyebut bahwa Gula dan pencariannya yang dituturkan melalui dokumenter dapat dibaca sebagai “Afghan Alibi”, sebuah wacana pembenaran aksi “perang melawan teror” di bawah pemerintahan George W. Bush pasca-9/11. Potret Gula yang spektakuler itu, yang wajahnya memancarkan kegetiran perang, seakan-akan diselamatkan oleh National Geographic, oleh Amerika Serikat, melalui dokumenter aksi pencariannya.
Schwartz-DuPre membaca “perang melawan teror” sebagai klaim Washington 'menyelamatkan' masyarakat Afganistan. Padahal, sebagaimana dilaporkan Al-Jazeera, aksi Amerika Serikat bertempur di Afganistan telah menewaskan lebih dari 3.000 jiwa di sisi Amerika Serikat dan sekutunya, serta sepuluh kali lipatnya di pihak Afganistan (PDF). Hingga kini pertumpangan darah terus terjadi.
Sharbat Gula singkatnya hanya dijadikan simbol. Ketika muncul di sampul National Geographic pada pengakuan Gula ketika diwawancarai dalam dokumenter pencariannya itu terasa sangat ironis. Ia bilang: “Hidupku jauh lebih baik di bawah kekuasaan Taliban.”
Editor: Windu Jusuf