Menuju konten utama
Mesin Waktu

Perang Topat di Desa Lingsar, Bertempur untuk Harmoni Kehidupan

Hubungan umat Islam dan Hindu di Desa Lingsar, NTB, begitu padu. Mereka bersatu, tapi bukan menyatu. Mereka terpisah, namun tidak bisa dipisahkan.

Perang Topat di Desa Lingsar, Bertempur untuk Harmoni Kehidupan
Perang Topat. foto/biroadpim.ntbprov.go.id

tirto.id - Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), perang tak melulu soal pertumpahan darah. Adalah Perang Topat, istilah yang digunakan sebagai bentuk interaksi perayaan religi antara umat Islam dan umat Hindu.

Perang Topat atau Perang Ketupat merupakan tradisi saling lempar ketupat antara umat Islam dan Hindu usai kedua kelompok tersebut melaksanakan ibadah.

Perang ini biasanya digelar di sebuah taman di Desa Lingsar. Taman Lingsar merupakan kompleks berdirinya dua tempat ibadah yaitu, Kemaliq Lingsar (tempat ibadah umat Islam suku Sasak) dan Pura Lingsar (tempat ibadah umat Hindu).

Perang Topat diselenggarakan setahun sekali pada bulan Purname Sasih ke Pituq (ketujuh) berdasarkan kalender suku Sasak. Apabila dikonversikan dalam kalender Masehi, biasanya bertepatan dengan akhir tahun yaitu sekitar bulan November hingga Desember.

Pelaksanaan dilakukan tepat usai Pedande Mapuje, yakni ketika “roroq kembang waru” atau saat bunga waru gugur. Sebelum kembang waru gugur, Perang Topat belum bisa dilaksanakan.

Bunga waru biasanya akan gugur pada sore hari setelah salat Asar dan sebelum salat Magrib atau sekira pukul 16.30-17.00 WIB. Tahun ini, tradisi Perang Topat telah ditetapkan akan dilaksanakan pada Minggu, 15 Desember 2024.

Tradisi ini telah berlangsung sejak lama sebagai simbol harmoni dan toleransi kehidupan dua kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan di Lingsar. Ini sebagai rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah.

Masyarakat yang mengikuti tradisi ini percaya bahwa terkena lemparan ketupat adalah suatu keberkahan. Ketupat sebagai senjata yang digunakan dalam Perang Topat akan mereka bawa pulang untuk digantung di sawah, pohon, dan tanaman lainnya. Mereka yakin ketupat tersebut akan mendatangkan kesuburan dan kemakmuran.

Perang Topat

Perang Topat. foto/biroadpim.ntbprov.go.id

Bermula dari 1956

Sejarah Perang Topat terkait erat dengan peradaban Islam dan Hindu di Lingsar yang dapat dirunut hampir dua abad silam. Cikal bakal Perang Topat bermula dengan berdirinya Kemaliq Lingsar dan Pura Lingsar yang dibangun pada zaman Kerajaan Karangasem.

“Pura di Taman Lingsar ini kalau tidak salah dibangun pada 1839, sedangkan pada 1878 Anak Agung membangun dua tempat ibadah, yang Hindu namanya Pura Gaduh (Pura Lingsar), sedangkan yang Islam namanya Kemaliq,” ungkap Juru Pelihara Situs Kemaliq, Jamhur Hakim, Sabtu (16/11/2024).

Menurutnya, pura dan kemaliq di Taman Lingsar sengaja dibangun untuk mempersatukan umat Islam dan Hindu. Dan taman ini menjadi simbol toleransi yang senantiasa dirawat, sehingga menciptakan harmoni dalam hidup berdampingan antar umat yang berbeda keyakinan.

“Di tempat ini, kami bersatu, tapi bukan menyatu. Terpisah, namun kami tidak bisa terpisahkan. Maka unik sekali di sini. Di sinilah kami kenal namanya perbedaan toleransi kerukunan Pancasila,” ujarnya.

Alkisah, jauh sebelum eksistensi Kerajaan Karangasem, seorang ulama datang ke Lingsar untuk mengajarkan tauhid kepada masyarakat Sasak.

“Sebelum Anak Agung datang ke tempat ini, dulu ada dari jauh guru penyebar agama Islam yang datang dari keturunan kesembilan Sunan Giri. Masuk di sini mengajarkan tentang tauhid, qulhu allahu ahad, allahu somad, belum yang lain-lain,” jelas tokoh agama Islam Sasak, Sahirman, Sabtu (16/11/2024).

Setelah menyebarkan agama Islam di Lingsar, kata Sahirman, ulama tersebut menancapkan tongkatnya. Ketika tongkat itu diangkat, keluar mata air yang hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Ulama tersebut lalu melanjutkan perjalanannya ke timur untuk menyiarkan agama Islam di daerah Sumbawa, Bima, dan Dompu.

Setelah itu, kata dia, tibalah era kekuasaan Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem. Pada 1956, Anak Agung dan ketua adat Lingsar, Mangku Indrawan, membuat perjanjian agar umat Islam dan Hindu di Lingsar melaksanakan ibadah dalam waktu yang bersamaan.

“Ada perjanjian yang sederhana antara Anak Agung dengan Mangku Indrawan yang akan bersama-sama (waktu yang bersamaan), nantinya umat Hindu akan mengadakan Odalan pada Purnama, kemudian kami yang muslim atau Sasak dari keturunan-keturunan Pak Mangku melaksanakan yang namanya Pujawali (bersalawat mengirimkan doa kepada para wali Allah),” ujar Sahirman.

Perang Topat

Perang Topat. foto/biroadpim.ntbprov.go.id

Berdasarkan perjanjian tersebut, Sahirman menjelaskan aktivitas ibadah yang dilaksanakan umat Islam dan Hindu di waktu bersamaan selalu dirangkaikan dengan Perang Topat, sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang dilimpahkan Yang Maha Kuasa.

“Setiap mengadakan Pujawali, dirangkaikan dengan Perang Topat sebagai bentuk rasa syukur terima kasih kami terhadap apa yang sudah ada, misalnya air sudah mengalir, kesuburan di tempat ini sampai dengan saat ini tidak pernah kekeringan,” paparnya.

Sejak perjanjian, Perang Topat selalu dilaksanakan setiap satu tahun sekali, dan tahun ini akan memasuki pergelaran yang ke-68.

Saat ini, kompleks Taman Lingsar dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Larangan Babi dan Sapi

Taman Lingsar sebagai kompleks tempat ibadah dianggap suci oleh umat Islam dan Hindu. Maka itu, umat Hindu tidak akan membawa daging babi atau memakan daging babi di Taman Lingsar. Sementara umat Islam tidak akan memotong sapi di kawasan tersebut.

“Umat Hindu kalau membawa daging babi serta memakan daging babi, punya radius enggak boleh masuk ke tempat ini. Nah, sedangkan suku Sasak (umat Islam) tidak boleh memotong sapi di kawasan ini karena sapi dianggap suci oleh umat Hindu,” kata Kepala Desa Lingsar, Sahyan, Sabtu (16/11/2024).

Sahyan menekankan bahwa kunci kerukunan antara umat beragama adalah saling menghargai. Menurutnya, inilah yang membuat warga Lingsar dapat hidup berdampingan dengan damai dari generasi ke generasi.

“Membuktikan bahwa kerukunan tetap terjaga. Kami betul-betul lestarikan dan sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia maupun internasional bahwa kami ini tidak pernah terjadi konflik selama ini, tidak pernah konflik ya, kami tetap menjaga yang namanya kerukunan antar umat beragama,” ucap Sahyan.

Baca juga artikel terkait PERANG atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - News
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Irfan Teguh Pribadi