tirto.id - “Sebentar malam ada pesta,” ucap Geri disambung senyum. Pemuda jatmika ini adalah salah seorang karyawan di penginapan tempat saya tinggal selama di Larantuka. Bila pagi dan petang datang, ia menawarkan teh, kopi, dan camilan. Keramahannya membikin sajian yang ia antarkan terasa semakin sedap.
Pesta yang ia maksud adalah saat para remaja dan pemuda berkumpul di pusat kota Larantuka, memutar musik bervolume keras sembari bercengkerama. Larantuka memang kota yang gandrung musik, setidaknya itulah kesan yang saya rasakan selama empat hari berkunjung di ibu kota Kabupaten Flores Timur tersebut.
Hampir semua angkutan umum dilengkapi pemutar musik dan pengeras suara. Musik menghentak sepanjang kendaraan berjalan dan berhenti. Bila malam hampir larut, masih terdengar alunan musik dari sejumlah rumah warga.
Meski demikian, semua bunyi-bunyian yang terdengar sejak siang sampai menjelang larut malam itu masih dalam batas yang wajar. Hentakan musik tak membuat pekak. Demikian pula suara motor yang kadang dipacu cukup kencang pada malam hari, yang sesekali ban depannya diangkat sebagai ikhtiar atraksi anak muda di ruang publik.
Kota yang sempat dijadikan judul lagu oleh grup musik SAS ini lebih menguarkan keramahan ketimbang keresahan. Singkatnya, baik-baik saja. Sampai akhirnya pertunjukan “Peer Gynts di Larantuka (Kisah Para Pengelana dari Asia)” pada 6 Juli 2019 di Taman Kota Larantuka, yang diproduksi Teater Garasi mewedarkan hal lain.
Para Pengelana yang Resah
Peer Gynt tanpa “s” merupakan naskah kanon karya Henrik Ibsen, dramawan asal Norwegia, yang ditulis pada pertengahan abad ke-19. Naskah ini mengisahkan petualangan Peer Gynt dalam memasuki dunia yang tengah berubah.
Ia menentang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat karena membuatnya resah. Selama perjalanan, pelbagai pengalaman menderanya. Peer Gynt akhirnya pulang, kembali ke kampung halamannya.
Keresahan ternyata tak hanya dirasakan Peer Gynt, tapi juga oleh Anitra (diperankan oleh Venuri Perera asal Sri Lanka)—pemimpin suku tempat Peer Gynt sempat terdampar.
Di panggung pertunjukan, perempuan itu bercerita dalam bahasa Sinhala. Saat narator menerjemahkan kisah yang ia sampaikan, penonton akhirnya tahu, Venuri ternyata mengabarkan situasi di Sri Lanka yang bertubi-tubi dilanda kekacauan politik dan kekerasan sektarian.
Narator terus bercerita, sementara Venuri menyunggi batu sembari mengangkat salah satu kaki dan menekuknya. Ia susah payah menjaga keseimbangan. Mulutnya komat-kamit, tatapannya nyalang, bola matanya bergerak-gerak. Beban dan keresahan yang ia rasakan, juga warga Sri Lanka lainnya, tergambar dalam adegan tersebut.
Sementara sebelumnya, Peer Gynt yang berkelana, yang diperankan Takao Tawaguchi asal Jepang, berguling-guling, mengganyang daun, bergelantungan, dan meringis kesakitan.
Dua adegan paling dramatis dalam pertunjukan teater itu membuat penonton termangu. Tak hanya itu, “pengelana dari Asia” lainnya, baik yang ikut tampil di atas panggung, maupun berperan sebagai pendukung pertunjukan yang membuat kisah menjadi utuh, membuat penonton tak beranjak sampai pertunjukan yang berdurasi sekitar 1 jam itu selesai.
Selain Venuri Perera (Sri Lanka) dan Takao Tawaguchi (Jepang), ada pula Micari dan Yasuhiro Morinaga (keduanya berasal dari Jepang), M.N. Qomaruddin, Arsita Iswardhani, dan Ignatius Sugiarto (Teater Garasi), serta sejumlah seniman dari Flores Timur, yakni Silverter Petara Hurit, Inno Koten, Dominikus Dei, Lidvina Lito Kellen, Aloysius Wadan Gawang, Veronika Ratumakin, Stanley Tukan, Philipus Tukan, Magdalena Oa Eda Tukan, Rusmin Kopong Hoda, dan Beatrix Tukan.
Sehari sebelum “Peer Gynts di Larantuka” dipentaskan, sebagaimana Venuri yang mengabarkan keresahannya tentang pelbagai peristiwa yang mendera Sri Lanka, Takao Tawaguchi juga mengutarakan isu sosial yang tengah terjadi di negaranya.
Baginya, masyarakat dunia yang menganggap Jepang sebagai negara maju adalah sesuatu yang rumit, sebab kenyataannya Jepang juga tak lepas dari pelbagai peristiwa sosial yang meresahkan.
Isu tentang pekerjaan, gaji, jomplangnya antara si miskin dan si kaya, kiwari tengah meruyak di negaranya. Mereka juga masih dalam tahap pemulihan pascabencana gempa bumi dan tsunami di Tohoku pada 2001, serta bencana nuklir di Fukushima.
“Dan globalisasi tidak [selamanya] membawa sesuatu yang positif. Dalam pelbagai aspek dan terutama pada kehidupan sehari-hari, tidak sebaik yang orang kira,” ucapnya.
Trauma dan Kegelisahan Kultural
“Ketika kami di Flores Timur, saya mendapatkan inspirasi untuk membuat satu proyek seni pertunjukan perihal rasa takut, kecemasan, dalam hubungannya dengan dunia yang semakin kompleks, dan semakin terhubung,” ujar Yudi Ahmad Tajudin, sang sutradara pertunjukan.
Ia kemudian menyadari bahwa isu tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia, khususnya Flores Timur, tapi juga di terjadi di banyak tempat, di pelbagai belahan dunia. Setelah berdiskusi dengan para seniman Teater Garasi lainnya, sebuah gagasan tercetus: mereka berniat membuat proyek kolaborasi dengan sejumlah seniman Asia.
“Interaksi ini juga lahir dari satu cerita saya,” timpal Silvester Petara Hurit, salah seorang yang tampil dalam pertunjukan, yang juga penggerak teater di Flores Timur.
Kegelisahan yang ditampilkan di panggung pertunjukan nyatanya terkait erat dengan situasi sosial yang tengah terjadi di Flores Timur, khususnya Larantuka.
Silvester bertutur, tahun 1970 rumah adat Lewotala, Lewolema, Flores Timur dibongkar dan dibakar. Sejumlah ekspresi kultural masyarakat seperti menyanyi, menari, menenun, dan tato etnik dilarang.
“[Dilarang] Oleh entahlah, olehnya itu juga kami bingung, [tapi] kami lihat ada dua institusi yang barangkali berperan di situ,” imbuhnya.
Kedua institusi yang ia maksud adalah agama dan negara. Agama menuduh tradisi leluhurnya sebagai praktik kekafiran dan pemujaan terhadap berhala. Sementara kondisi sosial politik mendorong negara mengharuskan masyarakat memiliki agama yang diakui pemerintah. Selain itu, masyarakat juga dipaksa meninggalkan kampung, membangun desa baru, membuat sistem administrasi, dan lain-lain.
Keresahannya juga menimbulkan kecurigaan bahwa di balik pemusnahan tradisi itu bisa jadi ada kekuatan pasar yang mengincar dan memburu barang-barang antik. Sebab setelah kejadian tersebut banyak barang pusaka yang diperjualbelikan.
Kekalutan itu semakin menjadi-jadi lantaran peristiwa pembongkaran rumah adat itu dilakukan oleh masyarakat setempat. Mula-mula anak-anak muda dididik di sekolah, kemudian menjadi aparat hansip, lalu entah kenapa mereka kemudian yang mengeksekusi pembongkaran rumah adat.
Para tetua tak berdaya menggugat dan melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan warisan nenek moyang mereka sejak berabad-abad lampau itu hancur tak bersisa.
Silvester dan para pemuda lain yang mempunyai kesadaran yang sama dengannya menyayangkan kejadian itu. Ia melihat bahwa para tetua dan orang-orang terdahulu di kampung halamannya, yang ekspresi kulturalnya dituduh praktik kekafiran dan pemujaan berhala, adalah orang-orang yang lurus, jujur, dan menjaga kebersamaan.
“Karena bagaimana pun hidup di alam yang keras seperti ini tentu ada ketergantungan produktif satu sama lain, itu juga yang kemudian membuat toleransi menjadi kuat. Orang yang ada di gunung, kebutuhannya di-support oleh orang-orang pesisir yang rata-rata Muslim. Banyak hal yang indah dan dirawat bersama,” ungkapnya.
Contoh lain dari kebersamaan yang mewujud menjadi sikap toleransi adalah tentang konsep mayoritas-minoritas. Menurutnya, masyarakat Flores Timur mempunyai pandangan khusus terhadap tamu, meskipun sekarang sudah agak bergeser. Bagi mereka, tamu dipercaya sebagai pembawa keberuntungan dan keberkahan, karenanya mesti diutamakan dengan diperlakukan sebaik-baiknya.
Di sejumlah desa di Larantuka, imbuhnya, bukan sesuatu yang janggal apabila di sebuah desa hanya terdapat satu orang Muslim di tengah warga Katolik, dan orang Muslim itu diangkat sebagai kepala desa.
“Karena itu konsep mayoritas minoritas sebenarnya dalam kearifan masyarakat di sini justru yang minoritas itu diutamakan. [Namun] ketika institusi agama menguat, justru kami merasakan bahwa yang membedakan kami dan bukan kami malah menjadi kuat. Ini kan persoalan,” ujarnya.
Antara Tuan Ma dan Tanah Ekan
Maria, atau orang Larantuka menyebutnya Tuan Ma, adalah sosok yang begitu penting bagi masyarakat kota tersebut. Salah satu penghormatan kepadanya telah dilakukan sejak ratusan tahun silam yang bernama ritual Semana Santa atau Pekan Suci Paskah. Patungnya yang dulu ditemukan warga di tepi laut, setiap tahun diarak keliling kota.
Menurut Silvester, kuatnya sosok Maria dibanding Yesus di Larantuka tak lepas dari tradisi masyarakat lokal yang sangat menghormati ibu. Dalam kepercayaan masyarakat Lamaholot ada ungkapan “Rera Wulan Tanah Ekan” atau artinya kurang lebih “matahari bulan dan bumi dengan segala isinya”.
Ungkapan tersebut adalah simbol keilahian, dan bumi—sebagaimana terjadi di banyak tempat di Indonesia—dimaknai sebagai ibu, perempuan, kesuburan, dan sebagainya.
“Rumah itu perempuan, makanan juga lahir dari perempuan, mata air adalah perempuan, dan lain-lain,” ungkap Silvester.
Maka tak mengherankan jika kemudian Tuan Ma menjadi sosok yang begitu dihormati di Larantuka jika melihat konsep kedewian Ilahi tersebut. Namun ketegangan kemudian terjadi saat gereja merasa punya hak atas Tuan Ma. Padahal menurut Silvester, masyarakat lokal juga merasa bahwa itu tradisi mereka, milik suku mereka, yang telah berabad silam menghormati sosok ibu.
“Saya pernah garap pertunjukan Tuan Ma, tapi malah tidak jadi pentas, [karena] diancam [akan] diserang. Saya garap kedatangannya, tapi saya tafsir dalam perspektif kedewian Ilahi orang Lamaholot. Kan di sini ada figur perempuan juga,” ucapnya.
Di titik ini, keresahan yang dirasakan Silvester dan kawan-kawan atas situasi sosial yang terjadi di Flores Timur jelas amat beririsan dengan apa yang dipentaskan dalam lakon “Peer Gynts di Larantuka”. Dan memang dari cerita merekalah gagasan pertunjukan tersebut bermula.
Penuturan Yudi, terlebih Silvester, akhirnya mengubah simpulan saya terhadap Larantuka dalam amatan yang sangat singkat dari tanggal 4 sampai 7 Juli 2019. Kota ini seolah-olah terdiri dari lapisan-lapisan yang rumit.
Geri sang pelayan jatmika, para nelayan, orang-orang di pasar, menguarkan keramahan dan tentang hidup yang baik-baik saja. Sementara ekspresi para remaja dan pemuda yang gandrung terhadap musik memberikan gambaran lain tentang tradisi yang berkawin dengan modernitas. Dan lapisan yang sulit dilihat sekilas, tak tampak dari luar, adalah apa yang dikisahkan dan menjadi sumber keresahan sebagian pemuda setempat seperti Silvester.
Parade keresahan Venuri, Takao, Silvester, dan para seniman lainnya menjadi secuplik kisah tentang isu ketakutan dan kecemasan, juga keterhubungan, akibat dunia yang kian berubah dan semakin kompleks. Mereka hanya sampel atas isu yang terjadi di banyak tempat.
Karena itu Yudi mengatakan, “Dan memang kami kepingin proyek ini, membicarakan isu ini, juga [dilakukan] di banyak tempat lain di Asia dengan konteks yang berbeda-beda.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan