tirto.id - Kerajaan Larantuka sebagai Kerajaan Katolik pertama di Nusantara pernah eksis setidaknya sejak abad ke-14. Salah satu sumber yang membicarakan keberadaan Larantuka adalah Kakawin Nagarakertagama dari zaman Majapahit. Di dalam naskah itu, sebagaimana dikutip dari alihaksara dan alihbahasa Th. Pigeaud (1960), Larantuka disebut dengan dengan nama "galiyao" dan Pulau Solor disebut sebagai "solot".
Keduanya diposisikan sebagai bagian dari negara-negara vasal Majapahit. Menjelang keruntuhan Majapahit, Larantuka seakan-akan luput dari pencatatan dan baru muncul lagi ketika Portugis tiba ke Nusantara pada awal abad ke-16.
Sebagian besar Kepulauan Flores dan Timor sejak awal menjadi daerah tumpuan misi kolonialisme Portugis. Menurut Didik Pradjoko dalam disertasinya yang berjudul Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonial Belanda: Dinamika Politik Lokal di Kawasan Flores Timur, Pulau Solor, dan Timor Barat 1851-1915 (2015), Kepulauan Flores, Solor dan Timor setidaknya sudah dicatat Portugis pada tahun 1559, yakni dalam tulisan seorang rohaniawan Jesuit bernama Balthasar Diaz.
Disebutkan bahwa di Pulau Solor yang berseberangan dengan Larantuka yang berada di Pulau Flores, sejak tahun 1515 orang Portugis kerap kali beristirahat sembari menunggu musim baik untuk melaut.
Pradjoko juga menyebutkan bahwa selanjutnya di tahun 1561, Keuskupan Melaka-Portugis memutuskan untuk mengirimkan tiga orang misionaris ke Pulau Solor, yakni Antonio da Cruz, Simao da Chagas, dan Alexiao. Dari tiga misionaris pertama itu, tingkat pemeluk agama Katolik di Pulau Flores berkembang pesat.
Tidak hanya terpusat di Pulau Solor sebagai titik pijakan pertama, penyebaran Katolik merambah ke Larantuka, Adonara, Maumere, dan Sikka di pedalaman Flores. Puncak dari penyebaran agama Katolik di Tanah Flores terjadi ketika Raja Larantuka, Raja Patih Goloh, memutuskan untuk dibaptis dan pindah keyakinan ke Katolik pada tahun 1645.
Orang Topas dan Dua Klan Besar
Dikutip dari tulisan Leonard C. Andaya dalam “The 'informal Portuguese empire' and the Topasses in the Solor archipelago and Timor in the seventeenth and eighteenth centuries” (2010), menjelang abad ke-17 Portugis mulai kehilangan pengaruhnya di Nusantara. Koloni paling awal mereka di Goa, India, mulai dirongrong oleh bangsa Eropa lain yang baru saja sampai di Asia.
Musuh utama Portugis kala itu adalah bangsa Belanda, yang baru saja merebut wilayah Ceylon (Sri Lanka). Selanjutnya, Portugis harus mengakui kekalahan mereka di Melaka atas Belanda pada tahun 1641. Hal ini menyebabkan Portugis semakin terdesak dan segera memindahkan ibu kota koloni mereka ke Timor.
Orang-orang Portugis yang mengungsi dari Goa dan Melaka ke Timor (termasuk wilayah Flores dan Solor) adalah orang-orang Topas atau disebut juga Portugis Hitam (zwarte portuguesen). Orang-orang ini nantinya juga termasuk para bangsawan dan Raja Larantuka yang bercampur dengan orang atau budaya Portugis, sehingga kelak dikenal sebagai “Larantuqueiros”.
Mereka dalam bahasa belanda disebut sebagai “mardijkers”, yang berasal dari dari “merdeka”. Orang-orang Topas adalah orang berkulit gelap yang bebas dari perbudakan, mereka tidak tunduk pada negara mana pun. Walaupun sebagian dari mereka memiliki keturunan Portugis, mereka tidak pernah benar-benar memberi upeti pada Raja Portugis.
Menurut Leonard C. Andaya, setidaknya ada dua keluarga orang Topas yang paling berpengaruh di Larantuka-Timor, yakni de Hornay dan da Costa. Keluarga de Hornay bermula dari seorang Duta Belanda bernama Jan de Hornay yang ditempatkan Jan Pieterszoon Coen di Solor.
Ia mudah bergaul dengan orang Portugis, maka itu ia mengizinkan orang Portugis untuk mendarat di pelabuhannya tanpa seizin Coen. Hal ini membuat VOC marah besar, sehingga membuat de Hornay meninggalkan benteng Belanda dan bergabung dengan Portugis.
Bersama dengan istrinya yang merupakan orang Larantuka, keluarga Hornay menjadi salah satu klan Topas terkemuka di Larantuka. Sementara itu keluarga da Costa awalnya tidak diketahui secara pasti, namun diduga da Costa pertama merupakan seorang Yahudi Portugis yang berasal dari Sao Thome di India.
Kemudian da Costa berpindah agama menjadi Katolik dan mendaftar menjadi angkatan perang koloni Portugis di Goa. Ia ditugaskan pertama ke Ambon, namun kemudian kapal yang mengangkutnya dihantam gelombang dan mendarat di Oekussi di Pulau Timor. Da Costa menikah dengan bangsawan Ambenu dan menetap di sana. Anak keturunan da Costa kelak menjadi klan utama orang Topas di Pulau Timor.
Dimusuhi Belanda
Karena terusir dari Melaka dan Maluku, satu-satunya basis Portugis di Asia Tenggara yang tersisa adalah wilayah Nusa Tenggara Timur. Namun, hal ini tidak membuat Belanda berhenti mengincar basis Portugis. Sejak tahun 1646 orang-orang Belanda telah mendarat di Pulau Solor dan mengusir basis Portugis di sana. Orang Belanda yang mendiami Pulau Solor senantiasa bersaing dengan Portugis dalam mendistribusikan komoditas kayu cendana.
Dalam pencatatan disertasi Pradjoko (2015), persaingan itu sempat mereda di tahun 1648, ketika terjadi gempa besar yang meluluhlantakkan benteng VOC di Solor. Persaingan antara VOC dan Portugis kembali berlangsung pada tahun 1653, giliran Kota Kupang di pesisir selatan Pulau Timor yang digempur oleh VOC. Setelah berhasil merebut Kupang, VOC memaksa Portugis untuk pindah ke wilayah utara Pulau Timor (masuk wilayah Timor Leste sekarang).
Setelah penyerangan itu, Kupang berkembang menjadi basis utama kekuatan Belanda di Nusa Tenggara Timur. Benteng yang didirikan Belanda bertahan dari gempuran pasukan Topas-Larantuka yang menghendaki kepergian Belanda dari tempat itu, walaupun di sisi lain Belanda sendiri tidak mampu menaklukkan basis orang Topas di Larantuka.
Imbangnya kekuatan Topas-Larantuka dan VOC disebabkan oleh pemimpin militer persekutuan bernama Antonio de Hornay. Oleh karena jasanya itu, ia kemudian diangkat oleh Raja Muda Portugis-India menjadi “capitao-geral” (Kapiten Jenderal) Portugis untuk wilayah Flores-Solor-Timor.
Namun, karena pemerintahannya diprotes oleh klan da Costa, pemerintahan Portugis-India mengirimkan Fernao Fatin da Fonte untuk menggantikan Antonio sebagai Kapiten Jenderal. Ketika sampai di Flores, Fernao malah diusir oleh Antonio. Maka itu, dengan bantuan Domingo da Costa, Fernao menyerang Larantuka untuk merebut jabatan kapiten.
Penyerangan itu berujung kegagalan, keluarga da Costa malah akhirnya tunduk dengan keluarga de Hornay. Ketika itu pusat pemerintahan Portugis Hitam ada di sekitar Larantuka (untuk keluarga de Hornay) dan Lifao (untuk keluarga da Costa).
Sejak saat itu, seperti disinggung oleh R.H. Barnes dalam “The Grooming of Raja: Don Lorenzo Diaz Vieira Godinho of Larantuka, Flores, Indonesia” (2009), VOC dan kemudian Hindia Belanda hidup beriringan dengan koloni Portugis Hitam selama kurang lebih dua abad ke depan.
Semua berubah ketika Portugis mengalami krisis pada awal abad ke-19, sehingga akhirnya beberapa wilayah seperti Flores, Solor, serta sebagian Timor Tengah harus dijual pada Belanda. Portugis menjual wilayah-wilayah tersebut dengan harga f. 200.000. Penawaran itu kemudian disambut baik oleh Belanda, yang akhirnya mencicil pembeliannya sejak tahun 1851 sampai lunas seluruhnya di tahun 1859.
Maka itu, nota kesepahaman penyerahan wilayah baru benar-benar diratifikasi di Lisbon pada 20 April 1859. Sejak saat itulah seluruh Pulau Flores, Alor, Solor dan pulau sekitarnya menjadi wilayah Belanda, termasuk Kerajaan Larantuka. Wilayah Portugis hanya tersisa di daerah yang sekarang menjadi negara Timor Leste.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi