tirto.id - Abad ke-16 adalah eranya Portugis. Pada 1488 penjelajah Portugis Bortolomeu Dias melakukan ekspolarasi maritim dan berhasil mengitari Afrika. Kemudian, penjelajahan bangsa Portugis meluas hingga akhirnya berdasarkan Tratado de Tordesilhas pada 1494, Império Português sudah merentang di tiga benua.
Wilayahnya mencakup Brazil di Amerika, Afrika Timur, dan Barat hingga India lalu Nagasaki, Macau dan Maluku serta Timor di ujung timur.
Meskipun sudah bercokol 130 tahun lebih di Malaka (1511-1641), tikam jejak Portugis di pulau di dekatnya, Sumatra, masih belum banyak diekspos. Pengetahuan Portugis tentang Sumatra (Camotora) di abad tersebut sudah cukup baik, mereka dikenal sebagai pulau yang amat kaya dan padat penduduk.
Tome Pires yang menulis mengenai Malaka dan India sekitar 1512-1515 dalam bukunya TheSuma Oriental menyebut tentang sembilan belas kerajaan (reinos) dan sebelas terras (negeri) di seantero Sumatra. Di antaranya adalah Achei (Aceh), Paçee (Pasai), Bata (Batak), Ciac (Siak), Baruez (Barus), Amdargery (Inderagiri) dan Campar (Kampar).
Toma juga beberapa kali menyebut Minangkabau (Menancabo), sebuah kerajaan di pedalaman yang memiliki tiga orang raja. Minangkabau dikatakan merupakan sumber dari sebagian besar emas yang diperdagangkan di Malaka.
Pendaratan Pertama
Dari seluruh daerah di Nusantara, Sumatra adalah daerah pertama yang mereka kunjungi lebih dahulu. Sumber Portugis, João de Barros (1496-1570) mengatakan armada Portugis mendarat di Pidië dan Pasai pada 1509 dalam perjalanan menuju Malaka di bawah Diogo Lopes de Sequeira. Setelah Sumatra dan Malaka (1511) barulah menjelajah ke Ambon (1512), Timor (1515) dan Sunda Kelapa (1522).
Portugis berhasil membuat kesepakatan dagang dengan pihak istana. Bahkan, di Pasai mereka membangun sebuahpadrão (tugu batu khas penanda pengaruh Portugis). Portugis tertarik karena di wilayah tersebut terdapat pelabuhan ekspor penting untuk komoditi lada, kamper, dan emas, serta ramai dikunjungi berbagai bangsa Timur seperti Arab, India, dan Cina.
Setelah Malaka direbut Afonso de Albuquerque pada 1511, bangsa muslim khususnya dari Arab, Persia, dan India tak diizinkan melewati Malaka. Alhasil, setelah berlayar dari Cina mereka terus ke selatan lalu menyusuri pesisir barat Sumatra.
Peralihan rute ini membuat Aceh di ujung utara segera berkembang menjadi pusat perdagangan baru yang maju. Aceh menjadi pesaing Malaka Portugis masa itu sebelum akhirnya lahir Kesultanan Johor yang kuat pada 1528.
Pada 1516, Pasai dikunjungi lagi oleh armada Portugis Fernão Peres de Andrade untuk memuat lada dan barang dagang lainnya dalam perjalanan dari Cochin ke Cina. Dia disambut baik oleh Sultan dan diizinkan membangun pos dagang. Beberapa tahun kemudian Pasai justru mendekat ke Aceh sehingga Portugis meradang dan menyerang Pasai.
Serangan terbesar terjadi pada 1521, pasukan Portugis membantu Sultan Pasai yang dikudeta untuk mendapat kekuasaannya kembali, dengan harapan Portugis bisa membangun benteng dan mendapat upeti tahunan.
Pertempuran dengan pihak pemberontak mendatangkan banyak korban jiwa baik di pihak Pasai maupun Portugis. Benteng Portugis berhasil dibangun di Pasai, tapi hanya untuk dua tahun, karena pada 1523 Portugis sukses diusir Aceh.
Beralih ke Minangkabau
Menurut BN Teensma dalam karyanya De roep van Ophir. Portugezen op Sumatra in de zestiende eeuw (Leiden 1979), selain ke utara Sumatra, Portugis juga melakukan ekspedisi ke Minangkabau dari Pantai Timur melalui Siak. Hal ini terjadi pada 1515 di saat kelaparan mengancam Malaka.
Jorge de Albuquerque, komandan Portugis di Malaka mengirim satu ekspedisi ke Minangkabau di bawah Jorge Botelho. Pimpinan ekspedisi yang paham bahasa Melayu ini berangkat dengan kapal Santa Helena serta dua kapal kecil lainnya dengan awak pribumi dan beberapa orang Portugis.
Di Siak mereka terlebih dahulu mengikat perjanjian dengan penguasa kawasan Siak, agar para pedagangnya mau ke Malaka berdagang emas dan bahan pangan. Kemudian berusaha mencari penerjemah sekaligus pemandu ke pedalaman Minangkabau.
Belum puas dengan Siak, Botelho tetap ingin bertemu Raja Minangkabau yang disebut masih belum Islam, tapi untuk ke hulu sungai terlalu kecil dilewati kapal. Karenanya, dia mengutus delapan orang pribumi Kristen Malaka ke istana Minangkabau dengan seorang pemandu.
Timnya berencana menawarkan perjanjian persahabatan dan tawaran agar sang raja berkenan mengirim para pedagang ke Siak, karena mereka membawa tekstil untuk diperdagangkan.
Namun kemudian, terpengaruh rayuan utusan Sultan Johor yang memusuhi Portugis, penguasa Siak membuntuti misi Portugis ke Minangkabau dan juga berencana membunuh Botelho. Namun, rencana ini ketahuan sehingga Botelho menahan menteri keuangan Siak dan terus berlayar sejauh mungkin ke hulu.
Di Kampar, Jorge Botelho disambut baik dan dipandu hingga ke Raja Minangkabau. Raja Minangkabau mana yang dimaksud masih belum jelas. Sebab seperti disampaikan oleh Tome Pires, Minangkabau memiliki tiga orang raja dengan kewenangan dan kedudukan berbeda.
Mereka diterima baik oleh sang raja dan tak lama para pedagang Minangkabau datang ke kapal orang-orang Portugis membawakan emas dan bahan makanan. Bahkan, pakaian yang sedang mereka kenakan pun ditukar dengan emas.
Jika memang Botelho dan rekan-rekan yang pertama ke pusat kekuasaan Minangkabau, maka asumsi Thomas Diaz orang Eropa pertama ke sana dari arah Timur pada 1684 harus dikoreksi.
Ekspedisi Pulau Emas
Ekspedisi kedua yang juga disinggung oleh BN Teensma dan Mark Dion dalam adalah ekspedisi Portugis melewati pesisir barat Sumatra dalam mencari pulau-pulau emas, dengan sumber informasi dari Sumatra through Portuguese Eyes: Excerpts from João de Barros' Decadas da Asia, karya João de Barros.
Tahun 1520, Diogo Pacheco menerima perintah dari komandan Portugis di Malaka, Diogo Lopes de Sequeira. Ia disuruh untuk berkeliling pulau Sumatra mencari pulau-pulau emas yang menurut kabar terletak di pantai barat Sumatra.
Ditemani satu kapal brigantijn di bawah komando Fransisco de Sequiera, Pacheco berlayar dengan kapal bermuatan tenun dari Cambay ke Malaka. Dalam perjalanan, ia singgah di pantai utara Sumatra lalu lanjut ke Daia dan Barus serta mengikat perjanjian dengan otoritas lokal.
Dengan informasi dari beberapa muslim pribumi mereka diberitahu 120 mil di Barat Daya Barus emas bisa didapatkan dari orang-orang berkulit hitam dengan membarter kain tenun. Namun, dikatakan orang asing hanya diizinkan singgah di pantai. Pacheco pun terus ke Selatan, tapi tidak menemukan pulau emas apa pun yang dimaksudkan, hingga akhirnya memutar kembali ke Malaka.
Setahun kemudian Pacheco kembali lagi ke Barus dengan satu kapal brigantijn. Namun, kali ini mereka sial, kapal-kapal muslim asal Cambay memburu mereka dengan meriam sehingga tenggelam dengan hanya sebagian kecil awak yang selamat.
Jejak Ekspedisi Portugis
Ekspedisi Portugis ke pantai barat Sumatra masih minim sumber. Merujuk buku The Suma Oriental, Portugis berkali-kali menyinggahi sejumlah kerajaan di pantai barat seperti Barus dan Daya, dan diindikasikan ada tulisan-tulisan Portugis lain tentang pesisir barat Sumatra yang masih belum terekspos.
Hal ini sangat menarik untuk diketahui, sebab tradisi penduduk setempat mengatakan di beberapa tempat di pantai barat Sumatra ada peninggalan benteng Portugis, seperti di Barus dan Pulau Cingkuk, Painan. Keberadaan keturunan Portugis di Lamno, bekas Kerajaan Daia di pesisir Barat Aceh juga makin menguatkan indikasi pengaruh kuat petualangan Portugis di sisi barat Sumatra demikian.
BN Teensma, pengajar bahasa Portugis di Universitas Groningen dan Leiden, juga mengungkap satu manuskrip Portugis lainnya yang berasal dari akhir abad ke-16 menunjukkan niat berulang-ulang Portugis untuk menguasai Sumatra, khususnya Kesultanan Aceh.
Teks tersebut berisi laporan anjuran kepada Raja Portugis saat itu, Philip II, untuk melakukan ekspedisi militer signifikan ke Sumatra. Pasalnya, Aceh yang dibantu Turki dianggap mengganggu Portugis karena berulang kali menyerang Malaka. Jika kerajaan ini dikuasai maka seluruh perdagangan kawasan tersebut bisa diamankan.
Penulis manuskrip anonim ini juga memasukkan misi keagamaan Katolik dalam anjuran penaklukan tersebut. Secara spesifik disebutkan tiga ribu prajurit sudah cukup untuk ekspedisi penaklukan Aceh yang bisa dimulai 1582.
Dalam laporan itu juga terlihat bahwa Sumatra dianggap Portugis sangat kaya mineral mulia khususnya emas, perak, timah, sulfur serta sering hujan serta sangat subur sehingga amat cocok untuk budidaya lada.
Negeri penghasil emas di Sumatra untuk Malaka disebutkan: Menaoquabo (Minangkabau), Syaqua (Siak), Amdraguire (Indragiri), Jaobe (Jambi), Qampar (Kampar), Pedir (Pidië) dan Llaopom (Lampung). Kalau saja orang Sumatra tidak lemah hati dan pemalas, kata teks itu, maka produksi emas dan pertanian mereka akan jauh lebih melimpah.
Setelah abad ke-16, keperkasaan Portugis tumbang perlahan, digantikan oleh VOC dengan armada yang massif dan memasuki bagian Sumatra yang pernah disinggahi Portugis.
Walaupun tulisan perdana Eropa tentang Sumatra berasal dari Marcopolo (1254-1324), rujukan Eropa paling baik tentang pulau tersebut hingga abad 18 justru berasal dari bangsa Portugis. Pertama dari diplomatnya, Tomé Pires (1465-1540), dengan karya berjudul The Suma Oriental (terbit 1520) yang telah disinggung sebelumnya.
Karya Tomé Pires ini kemudian disusul oleh João de Barros (1496-1570), sejarawan resmi istana Portugis, dengan tulisan Decadas da Asia: Dos Feitos que os Portuguezes Fizeram no Descubrimento das Terras e Mares do Oriente.
Karya ini terbit perdana pada 1552. Kedua karya tersebut dianggap rujukan ter-apik tentang Sumatra sebelum Oud en Nieuw Oost Indien(1724) karya Valentyn dan The History of Sumatra-nya William Marsden pada 1784.
Meskipun Portugis membawa banyak peninggalan dan pengaruh di Indonesia, seperti tugu batu (padrao), sejumlah kosakata seperti mentega, meja, keju, bendera dan boneka, musik keroncong, sejumlah kuliner, pengaruhnya di Sumatra sangat minim informasi.
Eliza Netscher, pejabat kolonial Belanda di pertengahan abad ke-19, dalam tulisannya Beschrijving van een gedeelte van de residentie Riouw (1854) mencatat masih banyak keturunan Portugis di kepulauan Riau dan Lingga.
Sejak Afonso de Albuquerque memang sudah dimulai kebijakan mendorong para tentara dan pedagang Portugis menikahi penduduk lokal, tidak hanya di India (komunitas Luso), Malaka hingga Timor tapi tampaknya juga di Sumatra yang hanya sebentar disinggahi.
Ada yang melihat pengaruh Portugis dalam penamaan daerah Riau (dari Rio, sungai dalam bahasa Portugis), pakaian pengantin lelaki Minangkabau, dan bahkan ada yang lebih jauh berspekulasi kuliner rendang terpengaruh Portugis. Namun, klaim tersebut masih memerlukan bukti historis yang kuat.
Penulis: Novelia Musda
Editor: Dwi Ayuningtyas