tirto.id - Setelah berbulan-bulan berpetualang mencari dunia baru, melintasi ganasnya ombak Samudera Atlantik, dan mengitari daratan di tempat antah berantah yang ditemukannya, Kristoforus Kolumbus (ejaan lain: Christopher Columbus) akhirnya pulang kampung ke Eropa. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya menemukan dunia baru—kelak dikenal sebagai benua Amerika—kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol yang mensponsori pelayarannya.
Sayang, dalam perjalanan pulang ke Spanyol, kapal yang membawa Kolumbus terpaksa berlabuh di Lisbon, Portugal, pada Maret 1493 akibat cuaca buruk. Tidak lama usai kapalnya melempar sauh, pemimpin tertinggi Portugal, Raja João II, datang menghampiri dan memaksa Kolumbus buka mulut terkait asal-usul kedatangan dan perjalanannya. Dari sini terungkap bahwa Kolumbus sudah menemukan tanah Hindia—wilayah yang terletak di barat Atlantik dan dikenal sebagai tanah penghasil rempah oleh bangsa Eropa. Mendapatkan kabar ini, tentu saja Raja João II terkejut. Apalagi ia juga mengetahui bahwa sponsor pelayaran Kolumbus ialah Spanyol, saingan Portugal.
Raja João II berpikir bahwa dengan ditemukannya Hindia oleh Kolumbus, secara tidak langsung wilayah itu jatuh ke tangan Spanyol dan lambat laun akan mengurangi kedigdayaan Portugal. Ia segera menghalau dengan beragam cara supaya tanah itu tidak jatuh ke tangan pesaingnya. Mula-mula ia memberikan pernyataan bahwa temuan Kolumbus tersebut masuk ke wilayah teritori Portugal berdasarkan Perjanjian Alcáçovas yang ditandatangi dua kerajaan itu pada 1479.
Salah satu poin pembahasan dalam perjanjian tersebut ialah pembagian wilayah antara Spanyol dan Portugal: Spanyol hanya diberi Kepualuan Canary di Atlantik, sedangkan Portugal memiliki wilayah yang lebih luas, yakni di seluruh Atlantik dengan batas di selatan Canary. Apalagi, menurut Sang Raja, letak tanah baru itu tidak jauh dari pulau terluar milik Portugal di Atlantik, yakni Pulau Azores. Atas dasar inilah João II menyatakan bahwa wilayah yang ditemukan Kolumbus adalah milik Portugal dan tidak bisa diklaim oleh Spanyol.
Selanjutnya, João II membuat dua aturan yang semakin membatasi klaim Spanyol. Pertama, ia mengusulkan untuk membagi Samudra Atlantik menjadi dua bagian, utara dan selatan, antara Spanyol dan Portugal dengan patokan Kepulauan Canary. João II juga melarang Kolumbus dan semua orang Spanyol berlayar di selatan Canary. Seturut penelurusan sejarawan Lawrence A. Coben dalam “The Events that Led to the Treaty of Tordesillas” (2015), usulan João II adalah cara untuk membatasi gerak Spanyol dalam penjelajahan samudra sehingga langkah Portugal untuk lebih dahulu mencapai Hindia dapat tercapai.
Kedua, Portugal mengancam perang dengan Spanyol jika kerajaan itu melanggar aturan yang dibuat Portugal sendiri. João II tidak akan segan mengerahkan armada bersenjata untuk melawan Spanyol jika tetap mempertahankan klaim atas ‘dunia baru’ itu. Dua aturan sepihak tersebut kemudian disampaikan oleh utusan João II kepada Kerajaan Spanyol.
Pada saat yang bersamaan setelah sebulan berlabuh di Lisbon, Kolumbus akhirnya menepi di Spanyol. Di sana, ia langsung mengabarkan berita penemuan dunia baru kepada Ferdinand dan Isabella. Kolumbus juga mengabarkan bahwa dirinya sempat singgah di Lisbon dan diinterogasi oleh João II.
Ferdinand lantas mengumumkan bahwa dunia baru yang ditemukan Kolumbus adalah milik Spanyol. Negara lain, khususnya Portugal, tidak diizinkan untuk menginjakkan kaki di sana. Tapi, Spanyol menyadari bahwa pengumuman yang dibuatnya bersifat sepihak dan tidak mengikat. Maka itu, Spanyol segera mengirimkan utusan resmi ke Vatikan, kota suci yang dihuni pemimpin tertinggi Katolik, Paus Alexander VI, alih-alih mengikuti jejak Portugal yang hanya membuat klaim sepihak.
Pesan kepada Vatikan tentu saja tidak terlepas dari kedudukan Paus yang sangat sakral sekaligus memiliki kewenangan politis untuk mengatur hubungan antar-kerajaan di Eropa barat. Spanyol segera meminta Paus mengeluarkan aturan terkait penemuannya sehingga wilayah baru itu menjadi miliknya dan mengurangi potensi sengketa dengan Portugal.
Berebut Titah Paus
Utusan Spanyol tiba di Vatikan pada akhir April 1493. Mereka mengumumkan secara terbuka berita penemuan Kolumbus dengan menyebarkan salinan catatan perjalanannya sembari melakukan lobi-lobi dan memohon kepada Paus agar melegitimasi temuannya. Menghadapi permintaan ini, Alexander VI pun sulit menolak.
Ada dua alasan yang melatarinya. Pertama adalah alasan emosional. Paus memiliki darah Spanyol dari ayah dan ibunya sehingga ia segan menolak permintaan Spanyol. Alasan kedua bersifat politis, yakni terkait kedudukan Paus yang terancam karena agresi-agresi dari negeri lain. Menurut Stephen R. Brown dalam 1494: How A Family Feud In Medieval Spain Divided The World In Half (2011), Alexander VI menjadikan permintaan Spanyol itu sebagai momentum untuk mendapatkan dukungan politik dan mempertahankan kekuasaan.
Akhirnya, dalam kurun 3-4 Mei 1493, Alexander VI mengeluarkan piagam kepausan untuk menuruti permintaan Spanyol. Pada piagam pertama yang terbit pada 3 Mei 1493, Paus memberikan kewenangan kepada Ferdinand dan Isabella hingga ahli warisnya kelak untuk mengatur kekuasaan, otoritas, dan yurisdiksinya atas semua tanah baru, asalkan belum dimiliki oleh penguasa Kristen lain. Aturan ini juga melarang orang atau negara lain untuk pergi ke wilayah itu tanpa adanya izin dari Spanyol.
Meski aturan yang kelak dikenal sebagai intercaetera itu sudah mengabulkan permintaan Spanyol, utusan Spanyol masih keberatan karena menganggapnya sebagai diskriminasi lantaran berbeda dengan aturan untuk Portugal yang dikeluarkan Paus sebelumnya. Alhasil, Alexander VI merevisi aturan itu di hari yang sama dan mengeluarkan aturan lagi. Isinya lebih menjelaskan secara detail hak-hak Spanyol yang kini menyamai hak-hak Portugal terhadap penemuan dunia baru.
Keesokan harinya, Alexander VI mengeluarkan aturan lagi. Ia memberikan penegasan ulang terhadap dua aturan sebelumnya. Dalam aturan ini, Alexander VI memberikan penjelasan dengan mengacu pada garis demarkasi imajiner yang ditarik dari Kutub Utara hingga Kutub Selatan dan membelah Samudra Atlantik. Intinya, ia memutuskan Spanyol memiliki kuasa atas tanah di sebelah barat Atlantik dan Portugal di sebelah timurnya.
Terus Bersengketa
Setelah dikeluarkannya piagam kepausan, perseturuan tak kunjung selesai. Sebagai pihak yang dirugikan, Portugal terus mengecam Spanyol dan aturan yang dikeluarkan Paus karena dianggap memotong kuasa maritim Portugal. Lagi-lagi, Portugal mengancam akan segera mengobarkan perang jika Spanyol tetap bertahan atas klaim temuan dunia barunya.
Portugal memang tidak main-main dalam hal sengketa wilayah. Seperti yang ditulis David Arnold dalam The Age of Discovery, 1400-1600 (2013: 22), upaya Portugal, sebagai kerajaan kecil dan miskin, perihal perluasan wilayah adalah langkahnya untuk menunjukkan kejayaan. Maka itu, tidak mengherankan bahwa Portugal terlihat giat dan paling semangat dalam mengurusi masalah ini. Akhirnya, Spanyol dan Portugal duduk kembali di meja perundingan.
Portugal bersikeras menekan Spanyol agar tak mengindahkan aturan yang dikeluarkan Paus. Spanyol merasa tertekan dan lagi-lagi mengeluarkan jurus cepat: melobi kembali Paus hingga Vatikan mengeluarkan aturan baru pada September 1493 yang semakin mengukuhkan teritori Spanyol. Setelah itu, Portugal kembali memperdebatkan hasilnya hingga berbulan-bulan ke depan.
Akhirnya, perdebatan itu mencapai titik akhir. Pada 7 Juni 1494, tepat hari ini 527 tahun lalu, Portugal dan Spanyol mencapai mufakat. Mereka sepakat atas pembagian wilayah oleh Paus yang berdasarkan garis bujur imajiner dari kutub utara ke selatan dengan patokan jarak 370 liga (1 liga = 400 mil) dari sebelah barat Kepulauan Cape Verde. Spanyol memiliki otoritas di daerah barat, sedangkan Portugal di daerah timur yang dianggapnya lebih "bebas". Selain itu, keduanya juga setuju untuk mengirimkan tenaga ahli dan memulai perjalanan menemui dunia baru. Permufakatan ini kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Tordesillas, mengacu kepada kota di Spanyol yang dijadikan tempat penandatanganannya.
Bermula dari perjanjian itulah dunia abad ke-15 terbagi menjadi dua, yaitu milik Spanyol dan milik Portugal. Perjanjian Tordesillas lalu menjadi pintu gerbang bagi lahirnya babak baru: dunia non-Eropa memasuki periode kolonialisme dan imperialisme.
Editor: Ivan Aulia Ahsan