tirto.id - “Siaaap! Tembak!” teriak Kapten Sumitro. Puluhan pria dan anak laki-laki diberondong tembakan hingga roboh dan tewas di tepi sebuah sungai.
Dari tempat tersembunyi di kejauhan, Beatriz menangis sambil menutup mulutnya. Setelah para tentara pergi, ia menghampiri mayat-mayat itu. Tapi, ia tak mendapati Tomas, suaminya. Ia menjatuhkan diri di tengah mayat yang bergelimpangan dan menangis sejadi-jadinya.
Penggalan adegan itu ada pada film Beatriz’s War yang dirilis 2013 lalu. Film ini mengisahkan peran Beatriz, perempuan Timor yang membantu perjuangan bangsanya. Kekejian yang banyak dilakukan tentara Indonesia digambarkan dengan jelas pada film ini.
Hingga saat ini, kemerdekaan Timor Timur masih meninggalkan bekas luka di kedua pihak. Di Timor Leste, rentetan kekerasan dari tentara Indonesia menyisakan kepedihan mendalam. Sedangkan di Indonesia sendiri, banyak yang masih dengan emosional tak merelakan “lepasnya Timor Timur.”
Padahal aneksasi Timor Timur dulu memang sesuatu yang tak sah dan tak bisa dibenarkan.
Timor Portugis
Dengan luas 30.777 kilometer persegi, Pulau Timor terbagi menjadi dua: Timur dan Barat. Pada era kolonialisme, batas antara wilayah barat dan timur dari pulau ini makin tegas. Portugis dan Belanda memperebutkan Timor, sampai kemudian disetujui pada 1859 bahwa bagian timur dikuasai Portugis, sedangkan bagian barat di bawah kekuasaan Belanda.
Karenanya, lain dengan wilayah-wilayah nusantara di bawah Hindia Belanda, Timor bagian timur bertumbuh dengan sistem dan pengajaran Portugis. Mulai dari menulis dengan bahasa Latin, memperkenalkan dan menggunakan mesin cetak, sekolah formal serta unsur-unsur sosial politik lainnya.
Ini diperkuat dan diperjelas oleh peta wilayah Hindia Belanda yang tidak memasukkan ini sebagai wilayahnya. Yang termasuk Hindia Belanda hanyalah Timor Barat atau sekarang disebut Nusa Tenggara Timur. Karena itulah Timor Timur atau Timor Portugis tidak menjadi bagian dari Indonesia sejak awal. Wilayah Indonesia hanya mencakup wilayah yang tadinya ada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Tapi, rezim Soeharto tak berpikir demikian. Pada 1970an, Timor Portugis sedang bersiap menjadi negara baru yang independen, lepas dari Portugis. Ini karena konstitusi mengharuskan wilayah jajahan Portugis yang sebelumnya berstatus provinsi di luar negeri agar dilepaskan. Tak cuma Timor Timur, tetapi juga Angola, Cape Verde, Guinea Portugis, Mozambik, Sao Tome, dan Principe di Afrika, Makau di Cina, serta India Portugis dibebaskan menentukan nasibnya.
Konstitusi yang memerintahkan untuk menarik kekuasaan Portugis di daerah jajahannya itu juga dipengaruhi kemenangan kelompok sayap kiri yang berhasil mengkudeta pemerintahan otoriter sayap kanan.
Maka, partai-partai politik dibentuk sebagai persiapan untuk merumuskan kemerdekaan.
Tercatat partai União Democrática Timorense (UDT) menjadi partai pertama di Timor Timur dengan awalnya terdiri dari pemimpin senior administrasi dan pemilik perkebunan, serta pemimpin suku asli. Kedua, Front Revolusioner Independen Timor Timur (Fretilin) yang terdiri dari pengurus, guru, dan anggota lainnya yang direkrut dari perkotaan. Terakhir muncul Populer Demokrat Asosiasi Timor (Apodeti), sebuah partai kecil dengan tujuannya untuk integrasi wilayah ke Indonesia. Namun yang terakhir ini popularitas rendah.
Hanya UDT dan Fretilin yang tercatat saling sengit merebut pengaruh penduduk Timor Timur. Proses menuju penentuan nasib mereka diwarnai dengan konflik internal. Tuduhan UDT terhadap sayap radikal Fretilin yang akan membawa Timor Timor menuju negara komunis menjadi salah satu pemicunya. Masing-masing elite partai masih bisa menahan diri dan dalam batas wajar beradu argumen. Namun tidak di kalangan akar rumput kedua belah pihak. Pertumpahan darah sempat terjadi.
Kelompok UDT makin terdesak. Di antara mereka, banyak yang lari ke perbatasan dan masuk ke Indonesia.
Aneksasi oleh Indonesia
Pemerintah dan militer Indonesia melihat dinamika yang terjadi di Portugis itu sebagai momentum untuk menguasai wilayah itu.
Soeharto yang awalnya tidak begitu tertarik untuk mencaplok Timor Timur dengan jalan perang mulai memikirkan kekhawatiran kemenangan Fretilin akan merembet hingga ke perbatasan Indonesia.
Kekhawatiran ini menjadi bahan proposal pengajuan bantuan Indonesia ke Amerika Serikat yang tengah mengalami kekalahan di Vietnam. Konteks Perang Dingin juga berpengaruh. Amerika Serikat tak mau Timor Portugis dikuasai Fretilin yang komunis.
September 1975, pasukan khusus mencoba untuk melakukan serangan awal. Dalam serangan awal ini, lima wartawan yang bekerja untuk jaringan berita Australia dieksekusi oleh tentara Indonesia di kota perbatasan Balibo pada tanggal 16 Oktober 1975. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Balibo Five yang mengakibatkan kemarahan aliansi jurnalis di Australia.
Memasuki 7 Desember 1975, Indonesia secara resmi menyerang Timor Timur lewat operasi militer bernama Operasi Seroja. Mobilisasi besar-besaran pasukan militer Indonesia dilakukan mengarah ke kota Dili Timor Timur. Ratusan pasukan penerjun payung turun dari langit kota Dili terlibat kontak senjata langsung dengan pasukan militer Fretilin yang berjuluk Falintil. Ada juga kapal perang yang membawa pasukan untuk segera menyerbu daratan.
Falintil menderita kekalahan. Malam harinya, pasukan Indonesia telah merebut kota Dili. Disusul invasi kedua pada 10 Desember menghasilkan direbutnya kota terbesar kedua: Baucau.
Jumlah pasukan Indonesia terus bertambah di Timor Timur. Dalam buku The War Againts East Timor karya Budiardjo dan Liong menyebutkan, pada Hari Natal, sekitar 10.000 hingga 15.000 tentara mendarat di kota Liquisa dan Maubara. Jumlah pasukan terus meningkat, hingga April 1976 Indonesia memiliki sekitar 35.000 tentara di Timor Timur, dengan 10.000 lain berdiri di Timor Barat Indonesia. Sebagian besar pasukan ini berasal dari pasukan elit di Indonesia. Pada akhir 1976, 10.000 tentara menduduki Dili dan 20.000 lainnya telah dikerahkan di seluruh Timor Leste.
Nasib pasukan Fretilin yang kalah jumlah mendesaknya untuk masuk hutan dan pegunungan. Dengan tetap melawan, taktik pertempuran gerilya mereka terapkan. Serangan tentara Indonesia berlangsung sangat brutal menembaki warga sipil dan apa saja yang ditemuinya.
Deretan kekerasan brutal terjadi di bumi Lorosae terhitung sejak invasi pertama 1975 sampai 1999. Termasuk pembantaian Santa Cruz terhadap ratusan pemuda yang berdemo damai membentangkan bendera Fretilin meneriakkan pro-kemerdekaan: 250 pemuda tewas diberondong tembakan oleh tentara Indonesia.
Terhitung mulai 17 Juli 1976, pemerintah Indonesia mengenalkan wilayah Timor Timur sebagai provinsi ke-27. Pemahaman ini segera diajarkan di sekolah-sekolah dan seluruh siaran nasional. Indonesia menempatkan para nasionalis Timor Timur sebagai pemberontak dan separatis yang harus ditumpas.
Jumlah korban tewas sulit diperkirakan secara tepat. CAVR (Commission for Reception, Truth and Reconciliation) melaporkan korban kematian terkait konflik setidaknya berjumlah 102.800 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 18.600 orang dibunuh atau hilang, dan sekiyar 84.000 orang meninggal karena kelaparan atau sakit parah. Angka-angka tersebut mewakili perkiraan minimum dari CAVR yang temuannya diklaim berbasis ilmiah.
Komisi kebenaran tersebut juga menyatakan pasukan Indonesia harus bertanggung jawab atas sekitar 70% dari pembunuhan dan kekerasan. Beberapa jenderal saat ini yang masih hidup disebut terlibat dalam pelanggaran HAM. Global Policy menyebut, Wiranto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur selama invasi Indonesia. Disusul dengan keterlibatan Prabowo Subianto yang mengkoordinasikan pembantaian di Kraras, desa terpencil di pegunungan Timor Timur yang kala itu berjuluk kampung janda karena hampir semua laki-laki dewasa dieksekusi mati.
Dukungan Amerika untuk Indonesia
Wabah Perang Dingin melanda seluruh dunia. Tak terkecuali negara-negara yang telah memilih sikap Non-Blok seperti Indonesia. Dalam konteks Timor Timur, peranan Amerika sebagai Blok Barat sulit untuk dipungkiri. Mereka memandang Fretilin yang berhaluan komunis harus segera ditumpas karena merepresentasikan kekuatan Blok Timur. Maka, Indonesia pun sukses menggalang dukungan dari negara-negara Barat tak hanya Amerika.
Data dari Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat menyediakan analisis rinci soal unit militer Indonesia yang menggunakan banyak peralatan militer dari Amerika Serikat. Para penerjun yang turun di langit Dili juga dilatih oleh Amerika, ditambah bantuan pesawat C-47 dan C-130 yang mengangkut para pasukan.
Di bawah pemerintahan Carter, Amerika Serikat menggelontorkan dana lebih dari $250 juta untuk membantu militer Indonesia menyerang Timor Timur antara 1975 sampai 1979. Para pejabat pemerintahan Clinton dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh New York Times telah mengatakan bahwa Soeharto adalah pemimpin yang menderegulasi ekonomi Indonesia dan membuka kran Indonesia bagi investor asing. "Dia semacam orang kami," kata seorang pejabat senior yang sering menangani administrasi kebijakan Asia.
Inggris Raya, seperti dilaporkan The Guardian, juga tercatat turut andil dalam invasi Indonesia ke Timor Timur. Bantuan mereka berupa pelatihan militer bagi prajurit-prajurit Indonesia. Inggris menghabiskan £1 juta untuk pelatihan militer di Indonesia. Sebanyak 24 tentara angkatan senior dilatih di perguruan tinggi militer Inggris. Dan ada 29 petugas indonesia lainnya belajar di lembaga non-militer.
Pengakuan lain dengan tujuan yang sama datang dari Australia. Clinton Fernandes dalam bukunya berjudul Reluctant Saviour: Australia, Indonesia and East Timor mengatakan pemerintah Australia lewat Fraser, Hawke, dan Keating diduga bekerja sama dengan militer Indonesia dan Presiden Soeharto terkait kondisi Timor Timur dan untuk melestarikan kekuasaan Indonesia di wilayah tersebut.
Namun, suara pecah dan protes warga Australia terjadi ketika kasus penembakan lima wartawan di Balibo terjadi. Apalagi sejarah mencatat orang Timor membantu pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pada akhirnya, Australia yang menjadi negara pertama mendukung dilaksanakannya referendum untuk mengantarkan Timor Timur mencapai kemerdekaannya.
Merdeka: Timor Leste
Jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa membangun rezim Orde Baru membawa angin segar bagi rakyat Timor Timur. Referendum kemerdekaan yang dinanti-nanti akhirnya terlaksana atas permintaan Presiden B.J. Habibie ke Kofi Annan, Sekretaris Jendral PBB pada 27 Januari 1999.
Dilaksanakan di Timor Timur pada 30 Agustus 1999, tepat hari ini 20 tahun lalu, rakyat Timor Timur diajukan dua pertanyaan dalam mekanisme voting. Pertama, apakah anda menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan kedua, apakah anda menolak otonomi khusus yang diusulkan untuk Timor Timur, yang menyebabkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Hasilnya, dari total 438,968 suara, sebanyak 344.580 atau 78,50 persen rakyat Timor Timur memilih opsi kedua. Mereka menolak otonomi khusus dan memilih berpisah dengan Indonesia. Sedangkan sisanya sebanyak 94.388 suara atau 21,50 persen memilih menerima otonomi khusus dan bergabungnya Timor Timur ke Indonesia.
Provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari Indonesia dan memperoleh status resminya sebagai negara anggota PBB pada 20 Mei 2002. Mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia lantas berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke Nusa Tenggara Timur.
Menurut data dari Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT tahun 2005, total warga eks Timtim sesuai data lama itu sebanyak 24.524 kepala keluarga (KK) atau 104.436 jiwa yang terdiri atas 37.121 jiwa laki-laki dan 38.982 jiwa perempuan. Jumlah terbanyak tinggal di Kabupaten Belu yakni sebanyak 15.274 KK atau 70.453 jiwa yang terdiri dari 34.150 jiwa laki-laki dan 36.303 jiwa perempuan.
Itulah kisah Timor Leste yang pernah dianeksasi Indonesia, bangsa yang juga lahir karena melawan kolonialisme. Menyebut "Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia,” tidaklah tepat, sebab sejak awal sebagian besar mereka ingin mendirikan negara sendiri, yang kemudian malah dicaplok wilayahnya oleh Indonesia dengan cara tidak sah.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Agustus 2016 dengan judul "Mengingat Referendum, Jalan Panjang Kemerdekaan Timor Leste". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan