tirto.id - "Penjelajah kebingungan menentukan apakah mereka (orang Timor) termasuk Melayu atau Papua," tulis George W. Earl, ahli etnologi asal Inggris dalam The Native Races of the Indian Archipelago (1853).
Pengklasifikasian masyarakat Oseania (termasuk Asia Tenggara) menjadi dua golongan, yakni Melanesia dan Polinesia, dilakukan pada 1832 oleh ahli botani cum kartografer asal Prancis bernama Jules Dumont d'Urville.
Tujuannya sebagai, "rujukan penguasa kolonial mengatasi masalah geografis koloni yang dalam beberapa kasus masyarakat lokal menentang tatanan kolonial, tetapi di beberapa kasus justru acuh," tulis Ricardo Roque dalam "The Colonial Ethnological Line" (Journal of Southeast Asian Studies, 2018).
Di titik ini, menurut mereka, orang Timor tak bisa dimasukkan dalam pengklasifikasian tersebut.
Sempat berstatus sebagai "ujung dunia", terutama karena lebih dulu ditemukan daripada Australia (ditemukan pada 1606) maupun Antartika (1820) oleh Barat, "Timor seakan merangkum pencampuran harmonis antara Melayu dan Papua," tulis Roque.
Ahli Antropologi bernama Antonis Augusto Mendes Correia yang sebelumnya kukuh menetapkan orang Timor sebagai bagian Melayu, menyebutnya sebagai "commixture".
Ini meruntuhkan konsep kartografi rasial ala Alfred Russel Wallace yang mengusulkan penarikan garis pembagi/pembatas di antara pesisir dan dataran tinggi Timor.
Menurut Roque, Wallace hendak "membagi nusantara menjadi dua 'ras primer' yang berlawanan."
Keluarnya orang Timor dari pembagian ras ala Wallace lahir atas hubungan yang tak pernah berhenti dengan dunia luar. Dimulai dengan kedatangan China pada abad ke-14 untuk bertransaksi kayu cendana, hingga kedatangan Portugal sejak awal abad ke-16. Berbeda dengan bangsa Barat lainnya, orang Portugal tak ragu melakukan kawin campur dengan penduduk lokal Timor.
Ironisnya, kekuatan asing pula, khususnya Barat, yang menyebabkan Timor terpecah secara geografis. Yakni antara Belanda Timor (kini Timor Barat yang menjadi bagian Indonesia) dan Portugis Timor (kini negara merdeka bernama Timor Leste).
Kala Timor Dibelah Dua
Sekitar satu dekade setelah Vasco da Gama berlayar ke India, "ekspedisi Portugis yang dipimpin Kapten Antonio d'Abreu tiba di Timor, usai diusir dari Pulau Solor oleh penduduk lokal," tutur William Burton Sowash, peneliti University of Chicago cum analis Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, dalam "Colonial Rivalries in Timor" (The Far Eastern Quarterly, 1948).
Di Timor, tak seperti di Jawa atau beberapa pulau besar lainnya, Portugis berhasil menancapkan kakinya karena para penguasa lokal tak berhasil menggalang kekuatan bersama untuk melawan. Hal ini membuat Portugis dapat membangun permukiman pertamanya di barat daya Kupang.
Lewat strategi kasar serta ketidakpedulian terhadap tetek bengek laku-hidup lokal, perlahan-lahan Portugis dapat menguasai seluruh wilayah Timor. Mereka mengukuhkan diri sebagai pihak yang memonopoli perdagangan kayu cendana.
Selama hampir satu abad, kuasa Portugis atas seluruh wilayah Timor tak terbantahkan. Namun, dilatari kejadian yang terjadi di Semenanjung Iberia pada akhir abad ke-16, kekuasaan Portugal atas Timor mulai goyah.
Kala itu, Spanyol berhasil menguasai Portugis. Raja Philip II dari Spanyol mengeluarkan kebijakan yang salah satunya menutup Pelabuhan Lisbon yang menjadi titik penting kayu cendana dari Timor untuk dapat dijual di Eropa. Hal ini dimanfaatkan oleh Belanda yang berhasil mencuri rute navigasi milik Portugis.
Maka saat armada militer Portugis dan Spanyol berhasil dibendung dalam sebuah pertempuran melawan Inggris yang terjadi pada 1588, "the far east of India" alias Nusantara kedatangan wajah baru pada 1595 bernama Belanda.
Lebih dari satu dekade kemudian tepatnya tahun 1612, Belanda diwakili Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau "Kompeni" tiba di Timor.
Karena pertempuran 1588 membuat kekuatan Portugis berkurang drastis, maka kedatangan Belanda di Timor dilanjutkan dengan penguasaan. Belanda membangun pabrik di Amfuang (Amfoang) yang kemudian dipindahkan ke bekas benteng Portugis di Kupang.
Sikap Belanda yang lebih ganas terhadap penduduk lokal membuat mereka melakukan perlawanan dan memberi kesempatan Portugis untuk berkuasa kembali. Pada 1655, Timor akhirnya dikuasai oleh Belanda yang berpusat di Kupang, sementara Portugis di Lifau dan Dili. Hal ini membuat kedua penguasa bersengketa soal perbatasan.
Sempat terusir dan digantikan Inggris dalam menguasai Timor akibat revolusi 1795, Belanda menyeret Portugis untuk membahas masalah perbatasan di Timor sejak 1847 hingga 1851. Terlebih, akibat kawin campur dengan penduduk lokal yang lazim dilakukan petugas-petugas kolonial Portugis, Belanda marah karena wilayah Portugis di Timor kian bertambah.
Karena pembahasan tersebut dilakukan berbarengan dengan penyakit kronis bernama korupsi yang kian menggerogoti Kompeni, maka kesepakatan tak berhasil dilakukan. Baru pada perundingan yang dilakukan di Lisbon pada 1859, kesepakatan membagi dua Timor, antara barat dan timur, berhasil dicapai.
Namun karena yakin bahwa Kepulauan Solor di utara Timor lebih berharga bagi Belanda, hingga membuat Belanda lebih mengutamakan pembelian Solor dari Portugis sebagai poin utama, membuat perundingan tersebut tak benar-benar membagi Timor menjadi dua. Malah kian rumit.
Distrik O'Kusi-Ambenu sebagai tempat Lifau berada, juga Noi-Muti, Tahakay, Tamira-Ailala, Maoe-Besi, Maoe-Boesa, dan Lakmaras masih dikuasi Portugis. Padahal, dalam perundingan 1859, distrik Oecusse berada di wilayah Belanda. Sebaliknya, di tengah-tengah kekuasaan Portugis, distrik bernama Maukatar dimiliki Belanda.
Pada 1893 dan 1898 hingga 1899, kerancuan ini hendak diselesaikan via konvensi yang lagi-lagi dilakukan di Lisbon. Namun kesepakatan tak terjadi. Tak ingin berlarut-larut, Belanda dan Portugis sepakat membawa masalah perbatasan di Timor ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 1902.
Dalam dokumen berjudul Boundaries in the Island of Timor yang dirilis Permanent Court of Arbitration tertanggal 25 Juni 1914, sengketa ini diakhiri dengan kerelaan Portugis memberikan kekuasaan mereka atas Noi-Muti, Tahakay, Tamira-Ailala, Maoe-Besi, Maoe-Boesa, dan Lakmaras dengan imbalan berupa Maukatar.
Dan karena Portugis enggan menyerahkan Distrik O'Kusi-Ambenu, kesepakatan ini disegel Belanda via penarikan garis ajeg tempat distrik tersebut dimulai dan berakhir.
Belanda lewat putusan pengadilan akhirnya berkuasa di sisi barat Timor (kecuali Distrik O'Kusi-Ambenu) dengan total luas wilayah mencapai 13.000 kilometer persegi.
Di sisi lain, di sebelah timur Timor, Portugis berkuasa atas wilayah seluas 19.000 kilometer persegi, untuk dijadikan satu-satunya simbol kekuasan mereka yang tersisa di Timur Jauh (Nusantara) dengan "memerdekakan" bagian Timor yang dikuasainya dari administrasi kolonial di Makau.
Setelah Belanda dan Portugis terusir, Timor milik Belanda menjadi bagian Indonesia modern. Sementara Timor milik Portugis yang sempat dikuasai Indonesia akhirnya menjadi negara merdeka bernama Timor Leste.
Editor: Irfan Teguh Pribadi