Menuju konten utama
7 November 1913

Laboratorium Alam Wallacea & Para Penerus Alfred Russel Wallace

Kawasan Wallacea adalah laboratorium alam penting untuk studi biogeografi. Turut menelurkan prinsip evolusi melalui seleksi alam. 

Laboratorium Alam Wallacea & Para Penerus Alfred Russel Wallace
Ilustrasi mozaik Alfred Russel Wallace. tirto.id/Fuad

tirto.id - “Sekarang pukul 05.50, persis sebelum fajar menyingsing, gelap dan gerimis. Kakiku tenggelam semata kaki di derasnya air Sungai Sumbali di barat laut Pulau Obi, berharap seekor burung woodcock terbang di atas kepala. Sejauh mata memandang, hanya siluet hutan membingkai bantaran sungai, nyaris tak terlihat, kalah melawan pekatnya langit. Ini sudah pekan ketujuh aku mengelilingi Pulau Obi.”

Demikian ornitologis John Mittermeier mengisahkan pengalamannya mengevaluasi status konservasi woodcock Maluku atau Scolopax rochussenii—spesies burung perandai yang langka dan misterius—di Pulau Obi.Di hadapan para peserta The 2nd International Conference on Alfred Russel Wallace and The Wallacea di Kepulauan Wakatobi pada November 2013 lalu, wajah Mittermeier semringah membagi kisahnya mengikuti langkah naturalis Inggris abad ke-19 Alfred Russel Wallace.

Wallace sebenarnya tidak pernah menjejakkan kaki di Pulau Obi. Lebih dari 160 tahun lalu, Wallace bertualang di Halmahera dan Bacan—tak jauh dari Obi—selama berbulan-bulan. Di kedua pulau itulah, Wallace melihat burung cenderawasih yang kemudian diberi nama Wallace’s Standard-wing (Semioptera wallacii) untuk pertama kali.

Mittermeier menceritakan seluruh rintangan yang dialaminya dalam artikel “How to Photograph A Moluccan Woodcock: Experiences of A Modern Field Biologist In Wallacea” yang dimuat jurnal Taprobanica (Vol. 07, No. 03, Mei 2015).

Hujan yang turun tanpa henti di Pulau Obi membuat perlengkapan-perlengkapan mereka rusak. Dua kamera tak bisa lagi digunakan, sebuah lampu kepala jatuh di sungai dan terbawa arus. Perjalanan penelitian juga makin tak nyaman karena tiga pasang celana lapangan mereka hancur compang-camping, bahkan tenda serta jas hujan mereka pun koyak di sana-sini.

Pengalaman itu rupanya tak beda jauh dari apa yang dialami Wallace pada Desember 1859. Sebagaimana dicatatnya dalam Kepulauan Nusantara (2009, hlm. 265-266), Wallace sedang berada di Pulau Seram kala itu.

“… hujan mulai turun. Barang-barang kami ditutupi daun-daunan sedangkan kami berteduh sebisa mungkin hingga badai selesai. Dan ternyata sungainya banjir…. Pagi-pagi pukul enam, kami berjalan kaki selama tiga jam dan menyeberangi sungai-sungai, paling sedikit 30 atau 40 kali,” tulis Wallace.

Jarak 160 tahun rupanya tidak serta-merta membuat penelitian lapangan Mittermeier dan timnya lebih mudah ketimbang Wallace.

Laboratorium Evolusi Wallace

Seperti Mittermeir, Wallace menjelajahi hutan-hutan Seram untuk mencari spesimen burung, tapi dia tidak menemukan burung yang diinginkannya. Wallace justru menemukan 50 hingga 60 spesies kupu-kupu—beberapa di antaranya adalah spesies baru. Di hari terakhir perjalanan, Wallace harus rela hanya berkaos kaki. Derasnya arus sungai, bebatuan, dan kerikil di Seram mencabik-cabik sepasang sepatunya.

Beberapa bulan sebelumnya, Wallace berada di Pulau Sulawesi yang sangat dia kagumi. Dia tiba di Manado pada 10 Juni 1859, setelah sebelumnya pada 1856 dan 1857 Wallace juga menjelajahi bagian-bagian yang berbeda di Sulawesi.

Wallace menyebut Sulawesi sebagai, “Pulau paling menakjubkan dan menarik di kepulauan ini, atau bahkan di seluruh planet, mengingat tidak ada pulau lain yang memiliki keganjilan sebanyak ini untuk dipecahkan.”

Wallace kemudian menyadari bahwa terdapat beberapa kelompok fauna yang mudah ditemukan di Maluku, Borneo, dan Jawa ternyata tidak bisa ditemukan di Sulawesi. Demikian juga sebaliknya, beberapa fauna—seperti babirusa dan anoa—tidak akan ditemukan di pulau-pulau lain. Menurut Wallace, penyimpangan dan kekhasan fauna Sulawesi berhubungan dengan asal-usul terbentuknya pulau tersebut.

Kekhasan fauna Sulawesi juga menunjukkan berapa lama suatu wilayah terisolasi. Bisa jadi pula Sulawesi merupakan salah satu bagian tertua dari Kepulauan Nusantara. Dengan posisinya yang persis di tengah Nusantara dan dikepung pulau-pulau dengan berbagai ragam kehidupan di berbagai sisi, karakteristik fauna Sulawesi menunjukkan ciri mengejutkan.

Dalam hal jumlah spesies, Sulawesi memang miskin. Tapi, ia punya kekayaan dalam hal keunikan spesies endemik. Bagi Wallace, Sulawesi merupakan contoh paling mencolok dalam studi persebaran geografis hewan-hewan (Kepulauan Nusantara, hlm. 208-209).

Satu setengah abad kemudian, ahli biologi konservasi Jatna Supriatna membuktikan sendiri pendapat Wallace itu. Pertanyaan-pertanyaan terkait evolusi dan spesiasi—proses munculnya spesies baru—justru semakin banyak mengemuka dari pulau yang berjuluk “laboratorium evolusi Wallace” ini.

Misalnya, apakah spesiasi cenderung berlangsung perlahan dan ajek, atau malah mengalami percepatan?

DokumenSAINS45—Agenda Ilmu Pengetahuan Indonesia Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan(2015, hlm. 63) menyebut proses spesiasi di Sulawesi rupanya terjadi secara cepat, dinamis, dan masih terus berlangsung hingga kini. Mengkonfirmasi hipotesis Wallace, Sulawesi juga jadi situs bertemunya berbagai komponen yang berbeda dari barat, timur, dan utara (Filipina) pada periode yang berlainan. Itulah yang kemudian membentuk keunikan fauna Sulawesi. Proses pemisahan dan penyatuan berbagai habitat di Sulawesi juga berlangsung berkali-kali.

Hibridasi di Sulawesi

Salah satu penelitian Jatna adalah menyelidiki terjadinya hibridisasi pada monyet makaka Sulawesi. Hibridisasi adalah kawin silang antara dua kelompok (taxa) induk berbeda yang menghasilkan keturunan dengan satu atau lebih ciri unik yang diwariskan. Dia menenelitinya melalui penanda molekul dari mitokondria, autosomal, dan kromosom-Y.

Itu adalah studi penting karena hibridasi dapat memengaruhi struktur populasi spesies tertentu. Hasilnya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam manajemen konservasi, terlebih untuk monyet makaka yang statusnya terancam punah. Studi Jatna semakin penting karena dari 19 spesies pada genus Macaca yang ada di muka bumi, 7 di antaranya ditemukan di Sulawesi (B. Evans, J. Supriatna, & D. Melnick (2001). “Hybridization And Population Genetics Of Two Macaque Species In Sulawesi, Indonesia” dalam Evolution, 55(8), 1686).

Dokumen SAINS45 juga menyebut bahwa spesies baru hasil hibrida sudah muncul pada monyet, kodok, dan reptil. Mereka memiliki perilaku, materi genetik, dan tampilan fisik yang berbeda. Pada primata, misalnya, muncul penyimpangan berupa jemari tangan yang berselaput. Spesies hibrida juga memiliki banyak penyakit karena memunculkan gen-gen resesif.

Lantas, apa implikasinya bagi biodiversitas di masa depan jika spesies-spesies hibrida dengan berbagai kompleksitasnya ini terus muncul?

Salah satunya adalah meningkatnya kejadian penyakit dan kematian akibat Hepatitis B Virus (HBV). Pasalnya, hibridisasi diduga turut memengaruhi tingginya subgenotipe HBV di kawasan Wallacea—meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan Timor.

Seturut Meta Dewi Theja dan David H. Muljono dalam “Geographical and Genetic Diversity of Hepatitis B Virus in the Wallacea” yang dimuat jurnal Taprobanica (Vol. 07, No. 03, Mei 2015), perbedaan etnis dan wilayah geografis di Indonesia bakal memungkinkan munculnya subgenotipe HBV yang khas. Karenanya, saintis perlu memahami endemisitas dan keanekaragaman genom HBV untuk mencegah, mengendalikan, dan mengelola kejadian penyakit akibat HBV itu.

Infografik mozaik Alfred Russel Wallace

Infografik mozaik Alfred Russel Wallace. tirto.id/Fuad

Kontribusi Bagi Teori Evolusi

Alfred Russel Wallace yang wafat pada 7 November 1913—tepat hari ini 108 tahun silam—boleh jadi sudah memperkirakan bahwa kawasan Wallacea akan menarik perhatian para saintis. Benar saja, topik penelitian yang muncul tentang kawasan ini memang kian kompleks dan luas hingga hari ini.

Beberapa yang penting, di antaranya studi Mittermeier tentang status konservasi burung-burung langka di Maluku dan studi Jatna tentang spesies hibrida pada primata dan kodok hingga level molekul. Lain itu, Meta Dewi Thedja menyerukan penelitian multidisiplin untuk mengontrol kejadian infeksi hepatitis B di kawasan Wallacea.

Bagi para saintis, Wallace adalah pelopor yang menyadarkan pentingnya kawasan Wallacea sebagai laboratorium alam. Dialah yang membuka jalan bagi lahirnya berbagai kajian yang berkontribusi pada lingkungan, biodiversitas, kesehatan, dan bahkan penemuan obat baru.

Sekitar 160 tahun lalu, Wallace memulainya dengan temuan yang dapat disebut sebagai temuan ilmiah terbesar di abad ke-19, yaitu survival of the fittest—kemampuan suatu organisme untuk beradaptasi dan bertahan hidup paling lama.

Prinsip tersebut merupakan dasar seleksi alam dalam evolusi semua bentuk kehidupan. Wallace menuangkan pemikirannya itu dalam makalah bertajuk On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Typeyang ditulisnya di Ternate pada 1858. Makalah penting itu kemudian dikirimnya ke Inggris dan dibacakan di hadapan ilmuwan-ilmuwan Linnean Society di London pada 1 Juli 1858.

Makalah Ternate itulah yak kemudian meyakinkan Charles Darwin untuk mempublikasikan gagasan yang sama dalam On The Origin of Species setahun kemudian.

Setahun setelah mengirimkan makalah yang menghebohkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka di Inggris, Wallace mengirimkan lagi On The Zoological Geography of The Malay Archipelago. Makalah ini dibacakan di hadapan anggota Linnean Society pada 3 November 1859.

Makalah kedua itu merupakan hasil pengamatannya atas perbedaan mencolok flora dan terutama fauna di antara Bali dan Lombok. Perbedaan itu amat menarik baginya karena kedua pulau itu hanya dipisahkan oleh selat sempit. Pengamatan cermat itulah yang kemudian melahirkan Garis Wallace. Ia juga menjadi dasar lahirnya ilmu biogeografi.

Kendati pengamatan distribusi hewan yang menghasilkan Garis Wallace tersebut dilakukan di Lombok, Wallace menuliskan makalah itu di rumahnya di Ternate. Wallace tinggal di rumah tersebut sejak 8 Januari 1858 hingga 1 Januari 1861. Bolehlah dikatakan, dari rumah sederhana itulah lahir temuan-temuan besar.

Karenanya, rumah Wallace di Ternate semestinya layak dijadikan situs bersejarah bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pada 2009, mantan Direktur Lembaga Eijkman Sangkot Marzuki (1992-2014) pernah melakukan pencarian lokasi rumah Wallace di Ternate. Usaha itu dimulainya dengan berbekal deskripsi rumah dan lingkungan sekitarnya yang dituliskan Wallace secara gamblang dalam The Malay Archipelago.

Namun, usaha untuk menemukan lokasi rumah Wallace yang aktual masih menemui jalan buntu hingga kini.

Mengingat besarnya warisan Wallace bagi ilmu pengetahuan, Sangkot berpendapat bahwa merekonstruksi kembali rumah Wallace akan mengembalikan memori Indonesia atas kontribusinya dalam salah satu penemuan ilmiah terbesar pada abad ke-19 (S. Marzuki, Sangkot & Syamsir Andili. “The Ternate of Alfred Russel Wallace” dalam Taprobanica, Vol. 07, No. 03, Mei 2015).

Baca juga artikel terkait GARIS WALLACE atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi