Menuju konten utama

Riwayat Garis Wallace yang Membelah Nusantara

Sebelum Alfred Russel Wallace membelah Nusantara melalui Garis Wallace, Garis Muller dan Garis Sclater muncul terlebih dahulu.

Riwayat Garis Wallace yang Membelah Nusantara
Header Mozaik Sebaran Flora dan Fauna. tirto.id/Tino

tirto.id - “Berlandaskan pengetahuan yang diwariskan Carolus Linnaeus dan George de Buffon, sejak akhir abad ke-18 ilmuwan dunia, khususnya di bidang biologi atau pengetahuan alam, kian memfokuskan diri untuk mencari kenyataan pasti tentang persebaran tumbuhan dan hewan,” tulis Jane R. Camerini dalam "Evolution, Biogeography, and Maps" (The History of Science Society, 1993).

Hal ini bersandar pada hipotesis yang menyatakan bahwa organisme yang berbeda-beda salah satunya ditentukan oleh lingkungan, seperti iklim, kelembapan, dan kondisi tanah. Maka itu, “biological region” atau “tempat tinggal biologis (flora dan fauna)” menjadi penting di mata ilmuwan untuk dipelajari, terutama dalam mengungkap evolusi kehidupan.

Pengetahuan “biological region” yang presisi diyakini dapat mengungkap selimut di balik keberadaan spesies yang serupa secara fisik tetapi tinggal di wilayah yang berjauhan, yang menjadi “The Missing Link” evolusi biologis.

Lewat kerja akademis Charles Lyell dalam The Principles of Geology (1830), usaha ini dilakukan mula-mula dengan membentuk garis demarkasi zoologi yang mendistribusikan flora dan fauna ke dalam 10 provinsi dunia, yang menginisiasi kemunculan klausa, misalnya, “seluruh wilayah kutub telah menjadi salah satu provinsi kerajaan hewan” atau “Belanda terkenal memiliki kumpulan mamalia yang sangat unik dan khas.”

Karena masih terlalu abstrak, kerja Lyell disempurnakan ahli biologi asal Inggris bernama James Cowles Prichard, dengan memperkecil agregasi flora dan fauna menjadi hanya tujuh provinsi, seraya mempertegas di mana saja ketujuh provinsi tersebut berada, misalnya Australia, Kepulauan Hindia, dan Polinesia yang berpusat di New Guinea.

Namun dalam pengelompokan makhluk hidup berbasis wilayah ini, Prichard maupun Lyell tidak berhasil menggambarkan dengan tepat di mana garis batas agregasi flora dan fauna dimulai dan berakhir.

Di luar Australia yang memiliki flora dan fauna tersendiri atas takdir geografisnya, Kepulauan Hindia, misalnya, jelas berbeda.

Bersebelahan dengan Australia di sisi selatan dan Polinesia di sisi timur serta terdiri dari ribuan pulau, tak jelas di mana awal dan akhir agregasi flora dan fauna Kepulauan Hindia. Tak jelas pula apakah garis demarkasi Australia menyeruak di wilayah ini.

Melalui riset yang dilakukan Solomon Muller pada 1846, awal dan akhir agregasi flora dan fauna Kepulauan Hindia perlahan terkuak. Menurutnya, flora dan fauna khas Kepulauan Hindia berada di sebelah barat dari sisi barat daya Pulau Sumba yang memanjang hingga sisi timur Pulau Sumbawa, dengan memasukkan Sulawesi, Flores, dan Mindanau sebagai batas terluar (paling utara).

Di sebelah timur garis tersebut, agregasi flora dan fauna khas Australia dimulai. Melalui penelitian untuk mengetahui persebaran burung yang dilakukan Philip L. Sclater satu dekade kemudian, dalam The Geography of Mammals (1899) peneliti ini menyebut bahwa awal dana akhir agregasi flora dan fauna Kepulauan Hindia berada tepat di Selat Bali dan memanjang hingga Selat Makassar serta Laut Filipina.

Ia meyakini bahwa sebelah barat garis khayal tersebut atau wilayah yang disebutnya sebagai “Regio Indica”, memiliki kekhasan flora dan fauna tersendiri dibandingkan di sisi timur atau wilayah yang disebutnya sebagai “Regio Australiana”--selain Australia, ia juga memasukkan New Guinea, Tasmania, dan pulau-pulau di Pasifik sebagai satu kesatuan agregasi.

Berkat kerja akademik Muller dan Sclater, untuk pertama kalinya dunia mengetahui garis tegas pemisah flora-fauna Indo-Australian yang sangat berbeda kekhasannya antara flora dan fauna yang ditemukan di barat dan timur dari garis tersebut.

Nahas, selain dunia akademis, keberadaan “Muller’s Line” ataupun “Sclater’s Line” tidak diketahui khalayak umum. Satu dekade usai Sclater memublikasikan temuannya, “Muller’s Line” dan “Sclater’s Line” terkubur oleh kemunculan “Wallace’s Line” atau “Garis Wallace”.

Garis Wallace

Tahun 1848, kapal yang dinaiki Alfred Russel Wallace tenggelam di Sungai Amazon dan membuat hampir seluruh spesimen flora-fauna yang dikumpulkannya hilang. Setelah itu ia bersumpah tak akan pernah lagi bertualang. Namun pada awal 1854, Wallace tiba di Singapura.

Setelah singgah selama dua tahun di Singapura dan di sisi utara Kalimantan yang kini disebut Brunei Darussalam atas dukungan “The White Rajah of Sarawak”, pada akhir Mei 1856 Wallace beranjak menuju Hindia Belanda dan tiba 20 hari kemudian.

“[Saya tiba] di Bileling (Buleleng), di sisi utara Baly (Bali) via [kapal] Kembang Djepoon,” terang Wallace dalam catatan hariannya.

Setibanya di Bali, menurut James T. Costa dalam Radical by Nature (2023), “Wallace langsung terkesan dengan Bali. Bukan karena hutan-hutannya yang lebat nan rimbun, tetapi sebaliknya. Wallace terkesan dengan begitu rapi dan teraturnya ladang di Bali, yang dibudidayakan dengan baik dengan bantuan sapi lokal, Bos javanicus.”

Wallace tentu tidak datang ke Bali di Hindia Belanda untuk mengagumi keindahan sistem irigasi subak, tetapi seperti dilakukannya di Amerika Selatan maupun di sisi utara Kalimantan, untuk menemukan jawaban pasti dari ide yang digaungkan Robert Chambers, ilmuwan asal Inggris dalam Vestiges of the Natural History of Creation (1844) tentang “Transmutation”, gagasan yang menyebut bahwa kehidupan senantiasa berevolusi.

Wallace, sebut Costa, “terobsesi atas gagasan ini, dan berupaya membuktikannya melalui penelaahan saintifik terhadap pelbagai spesies flora dan fauna yang ada di dunia, khususnya yang berada di wilayah-wilayah tropis.”

Dan di balik obsesinya ini, Wallace juga bermaksud mengumpulkan spesimen untuk diperjualbelikan, usaha satu-satunya yang dimiliki Wallace dalam upaya membiayai pertualangannya sekaligus menyambung hidup. Hal Wallace lakukan karena ia miskin.

Di Bali, imbuh Costa, Wallace meyakini bahwa pulau ini telah dibudidayakan secara ekstensif. Maka itu, ia tak terlalu berharap dapat menemukan spesimen flora-fauna yang eksotis, yang belum ditemukannya di manapun.

Benar saja, dalam usahanya mengumpulkan ragam keanekaragaman hayati, khususnya burung, yang ia peroleh tak berbeda jauh dari koleksinya yang lebih dulu dikumpulkan di Singapura.

Hal ini membuatnya tidak ingin berlama-lama di Bali dan berharap secepatnya pergi ke pelbagai wilayah di bagian timur Hindia Belanda, pertama-tama yakni ke Makassar. Namun tak ada kapal di Bali yang dapat mengantarkannya langsung ke Makassar. Rute ke Makassar, yang dekat dari jangkauannya di Bali saat itu, hanya tersedia di Lombok. Akhirnya, Wallace bergegas menaiki kapal ke Lombok usai tinggal di Bali selama tiga hari.

Dua hari kemudian, Wallace tiba di Lombok, tepatnya di Ampenan. Karena berdekatan dengan Bali, ia yakin bahwa keanekaragam hayati di Lombok atau ia sebut pulau “tak terlalu berhantu”, sama dengan Bali.

Namun ia terkejut. Ditemani saudagar asal Inggris yang telah lama menetap di Lombok bernama Joseph Carter, Wallace menemukan keajaiban di Lombok, yakni ditemukannya burung yang bernama latin Tropidorynchus sp. dalam jumlah banyak. Selama di Bali, burung jenis itu tak pernah ia temukan.

Infografik Mozaik Sebaran Flora dan Fauna

Infografik Mozaik Sebaran Flora dan Fauna. tirto.id/Tino

Setelah memastikan bahwa burung serupa hanya ditemukan di wilayah-wilayah di sisi timur Lombok, seperti Papua hingga Australia, Wallace tersadar bahwa perairan yang membelah Pulau Bali dan Pulau Lombok, juga membelah keanekaragaman hayati Kepulauan Hindia. Wallace’s Line atau Garis Wallace pun akhirnya muncul, menemani Muller’s Line dan Sclater’s Line.

Dibanding Muller’s Line dan Sclater’s Line, Garis Wallace lebih masyhur karena tak hanya populer di kalangan akademisi, tapi juga khalayak umum. Padahal menurut Jason R. Ali dalam "Wallace’s Line, Wallacea, and Associated Divides and Areas" (Biological Reviews, 2021), ketiga garis ini bisa dianggap benar karena keberhasilan masing-masing garis khayal mendeskripsikan perbedaan agregasi flora dan fauna di wilayah Indo-Australian, antara sisi barat dan sisi timur.

Yang menjadi pembeda dan alasan mengapa Wallace’s Line lebih terkenal di khalayak umum adalah karena ia mula-mula mengirimkan catatan temuannya kepada Charles Darwin. Setelah itu baru memublikasikannya kepada kalangan akademisi.

Di tangan Darwin pula Wallace’s Line menggema lebih nyaring di kalangan ilmuwan. Selain itu, catatan yang dikirim Wallace pun dimanfaatkan Darwin untuk menyempurnakan On the Origin of Species (1859).

Selain itu, berbeda dengan karya akademik yang memuat “Muller’s Line” dan “Sclater’s Line,” karya akademik yang memuat “Wallace’s Line”--diterbitkan pada 1863, kali pertama dipaparkan dalam lokakarya yang diselenggarakan Royal Geographical Society di London--menampilkan peta.

Menurut Jane R. Camerini dalam "Evolution, Biogeography, and Maps" (The History of Science Society, 1993), hal ini penting karena kehadiran peta dalam menemani “Wallace’s Line” membuat “gagasan distribusi biologis menjadi konkret.”

Peta ini membuat kalangan akademik dan masyarakat umum akhirnya dapat melihat atau berimajinasi lebih baik tentang distribusi agregasi atas 125.660 spesimen yang dikumpulkan Wallace di Kepulauan Hindia.

Baca juga artikel terkait GARIS WALLACE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi