tirto.id - Giliran jaga prajurit Thobias Billeh jatuh pada 26 Desember 1902. Dia berjaga di depan gerbang perkemahan militer KNIL di Lhok Boekam, Aceh. Tanpa disangka, orang-orang Aceh yang anti-Belanda menyatroni perkemahan itu. Mereka bersenjata parang dan tombak. Ketika mereka datang, Thobias tetap di depan gerbang dan tidak mundur meski harus menghadapi enam orang.
Majalah Trompet (Nomor 66, Juni 1939) melaporkan, para penyerang mencoba menusuk dan menebasnya. Saat itulah komandan perkemahan, Letnan Satu Slicher, datang membantu dan menembak salah satu orang Aceh itu dengan revolvernya. Akibatnya, sang komandan terluka kena sabetan klewang.
Menurut laporan surat kabar Sumatra Bode (07/03/1904), aksi Thobias Billeh--prajurit KNIL dengan nomor stamboek 42743--diganjar penghargaan bintang perunggu voor Moed en Trouw (keberanian dan kesetiaan).
Orang Timor di KNIL
Seturut catatan majalah Trompet, Thobias Billeh lahir di Rote, Timor, pada tahun 1875. Dia masuk KNIL tanggal 29 Juni 1893 di Kupang. Warsa 1899 hingga 1905, Thobias bertugas di Aceh. Lalu pada tahun 1907 dia ikut dalam ekspedisi Sulawesi. Tiga tahun berikutnya, Thobias berdinas di Madura. Dan pada 14 September 1911, dia pensiun di Palopo, Sulawesi Selatan.
Timor dalam keanggotaan KNIL kerap merujuk pada orang-orang yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Entah dari Sabu, Rote, Helon, Belu, Atoni, Kemak, Buna’, Marae dan Kupang, semua disebut orang Timor.
Menurut Muchlis Paeni dalam Sejarah Sosial daerah Sulawesi Selatan (1985:92), salah satu wilayah penugasan bagi orang Timor yang jadi serdadu dan polisi kolonial--seperti juga orang-orang Toraja, Manada, dan Ambon--adalah Makassar.
Hingga awal abad ke-20, perlawanan lokal di Nusa Tenggara Timur terhadap Belanda masih ada. Namun perekrutan terhadap orang Timor untuk dijadikan aparat keamanan kolonial sudah mulai dilakukan.
Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989:51) menyebutkan bahwa terdapat orang-orang Timor yang menjadi polisi di sekitar Makassar pada tahun 1908, juga terdapat pasukan yang disebut kompi Timor.
Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:325-326), pada tahun 1916 terdapat 17.854 orang pribumi dari total 30.402 serdadu KNIL. Hal ini terdiri dari Manado sebanyak 5000 personel, Ambon 4000 personel, Sunda 1792 personel, dan suku-suku lain, termasuk orang-orang Timor, yang jumlahnya tidak lebih dari seribu orang. Dari keseluruhan, suku Jawa adalah yang paling banyak.
Di Sekitar Revolusi Kemerdekaan
Seperti orang-orang Ambon dan Minahasa, orang Timor juga dianggap dekat dengan Belanda. Maka ketika revolusi kemerdekaan berkecamuk, orang-orang Timor menjadi incaran orang-orang anti-Belanda di Makassar, juga di sejumlah tempat lainnya.
Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia, 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah (2016:172) menceritakan, ketika ada empat orang Timor yang terbunuh oleh barisan pemuda pelopor, orang-orang Timor lainnya mengganti senapan mereka dengan kelewang untuk mengejar para pembunuh tersebut dan membabi buta. Balas dendam adalah hal biasa dalam revolusi Indonesia yang kacau. Tiap orang punya cara untuk membalaskan dendamnya masing-masing.
Orang-orang Timor kemudian terserap dalam sebuah batalion KNIL yang ganas, yaitu Batalion Infanteri KNIL Ke-5 yang dikenal sebagai Batalion Andjing NICA. Mereka di antaranya Prajurit kelas satu M Deafanggi, Kopral Delo Pius, Kopral S Ekogigi, Prajurit kelas satu Henoe, Prajurit kelas dua Newoema, Prajurit kelas dua Pama Hamid, Kopral B. Riberoe, dan Prajurit kelas dua Sifi Mamoe. Mereka seperti disebut dalam buku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988), terluka dan terbunuh di sekitar Jawa Tengah pada 1949, setelah Agresi Militer Belanda II.
Di sekitar revolusi kemerdekaan, seperti juga etnik-etnik lain, orang-orang Timor tidak sedikit yang berpihak kepada Republik Indonesia, seperti Herman Johannes dan Wilhelmus Zakaria Johannes. Keduanya lebih terpelajar dibanding orang-orang Timor yang jadi serdadu. Sementara di jajaran kombatan Republik, terdapat juga pemuda Timor yang terbunuh di Kebumen, yakni Herman Fernandez. Dan di Akademi Militer Yogyakarta ada Julius Henuhili yang belakangan menjadi perwira artileri dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI.
Editor: Irfan Teguh Pribadi