tirto.id - Hindia Belanda adalah koloni yang sangat berharga. Kehilangannya akan jadi bencana besar. Indïe verloren, rampspoed geboren, demikian ujaran populer di awal 1840-an. Hindia Belanda bukan hanya sumber pemasukan, tapi keindahan dan kekayaan alam serta kehangatan iklimnya dengan sinar mentari sepanjang hari, dambaan banyak orang Eropa.
Sejak Belanda menginjakkan kaki di Hindia, ungkapan-ungkapan kekaguman tak pernah putus. Selain tulisan, keindahan alam Hindia Belanda turut melahirkan aliran seni lukis Mooi Indië.
Sebagian besar penulis Eropa dan Amerika yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di Nusantara seperti Wolter Robert van Hoëvell, Multatuli, S.A. Buddingh, Marion Buys, Albert Smith Bickmore, dan Paulus Adrianus Daum sepakat dalam memuji alam Hindia Belanda yang ibarat surga dan penduduknya yang ramah-tamah.
Jika ada yang menyimpang dari hal itu tentu pengecualian yang jarang. Ternyata, pengecualian tersebut memang ada, yakni Bastiaan "Bas" Veth (1860-1922) dengan karyanya Het Leven in Nederlandsch-Indië (1900).
Bas Veth anak sulung dari pemilik kapal layar asal Delft, Belanda, Jan Veth (1833-1899). Bersama para saudaranya, mereka mendirikan perusahaan Gebroeders Veth (Veth Bersaudara) yang menjalankan bisnis di berbagai bidang (perdagangan kopi, kopra, ekspor-impor, agen asuransi). Mereka berjaya di peruntungan investasinya dalam pabrik semen pertama se-Asia Tenggara, NV Nederlandsch Indisch Cement Portland Maatshappij (NIPCM) (pendahulu pabrik Semen Padang), tambang emas di Salido, perkebunan sawit di Deli hingga pabrik kertas.
Bas Veth berangkat ke Hindia Belanda pada 16 Agustus 1879 dengan kapal uap layar Koning der Nederlanden. Ia awalnya bekerja dengan firma dagang J.F. van Leeuwen di Makassar, kemudian menghabiskan 12 tahun keliling Sumatra, Jawa, dan Sulawesi sebagai seorang pedagang. Selepas itu dia masih rutin mengunjungi Hindia Belanda secara berkala.
Walau Het Leven in Nederlandsch-Indië buku satu-satunya Bas Veth, menurut penuturan E. M. Beekman dalam artikelnya, Bas Veth: A Colonial Muckraker, karya ini memantik perhatian luas publik Belanda di awal abad ke-20, jadi bestseller yang dicetak empat kali.
Karya ini populer terutama karena memancing kontroversi dan reaksi yang sebagian besar mengkritik pedas, karena isi buku tersebut penuh satire bahkan sarkasme terhadap serba-serbi aspek kehidupan pribumi dan orang Eropa di Hindia Belanda masa itu.
Sejumlah penulis seperti L.C. van Vleuten dan Paul J. Koster Hzn mengarang buku ratusan halaman khusus untuk mengkritik Bas Veth. Tak terhitung lagi artikel dalam koran tentang dirinya sampai-sampai pada tahun awal abad ke-20 nama Bas Veth diramu menjadi satu kosakata Belanda baru: basvetterij, artinya menggerogoti atau mengejek. Kata itu bahkan abadi dalam kamus tersohor Belanda Van Dale. Anehnya, tak sekali pun Bas Veth membalas seluruh kritikan ini sehingga figurnya tetap misterius.
Bas Veth mengawali karya yang kelihatannya campuran autobiografi dan kajian sosial budaya ini dengan mengatakan bahwa Hindia Belanda adalah inkarnasi penderitaan bagi dirinya.
Dua belas tahun tinggal di sana ibarat hidup dalam pembuangan dengan rentetan mimpi buruk tak berkesudahan. Hindia Belanda adalah bagno, penjara bagi para budak dan pekerja paksa. Tak ada yang benar-benar baik dan bermanfaat, hanya yang melemahkan dan merendahkan.
Alam Hindia Belanda yang bagi kebanyakan penulis sungguh agung, menenteramkan, dan kaya, bagi Bas Veth justru serba membosankan. Alam yang senantiasa hijau dan langit yang selalu biru tak memberi inspirasi, dan bagi Veth, malah membuat otak jadi tumpul.
Hawanya yang di mana-mana panas, matahari yang tiap hari memanggang, akan merusak kesehatan tubuh orang Eropa. Kemegahan alam tropis adalah kemegahan yang mati. Lanskapnya tak membuat bahagia. Persawahan dan ladang aneka tanaman memang ada kehidupan, tapi tanpa itu semua serta tanpa monyet-monyet yang ribut di rimba, hanya ada keheningan kuburan.
Dalam neologisme Veth, simbol dari alam tropis adalah pohon beringin yang inersia, bisu, dan debil. Beringin yang disaksikannya ketika berada di Payakumbuh memang pohon raksasa dan bisa menaungi seluruh pasar, dan tetap tak beranjak betapa pun kencang angin dan deras hujan. Daun-daun dan akar-akar gantungnya malas bergerak.
Ketika merenungi beringin yang berada tepat di depan serambi penginapannya, Veth malah tertidur dan bermimpi alam Belanda. Ketika terjaga dia berseru, "Bawalah aku keluar dari sini, jauh lebih mendingan berada di bawah pohon willow dekat selokan di Belanda."
Kontras dengan alam Nusantara, bagi Veth, alam Eropa jauh lebih indah. Musim semi dan gugurnya mengalir ceria, burung-burung berkicau riang, daun-daun poplar yang beterbangan, dan awan-awan putihnya menari di kebiruan langit.
Pemandangan alam di Alpen dan Skandinavia jauh lebih indah daripada negeri tropis. Dia merindukan padang rumput yang hijau lapang dengan aneka bunganya, serta angin bertiup segar di dalam hutan yang tampak anggun. Veth kangen dengan sapi-sapi cantik yang merumput manja, dan musim dingin bersalju serta pohon-pohon yang mengering.
Ketidaksukaannya terhadap alam Hindia Belanda akhirnya juga mencakup orang-orang pribuminya. Bas Veth mulai sarkas dalam pandangannya terhadap wanita pribumi, bahwa lelaki Eropa sebaiknya menjauhi mereka. Wanita pribumi cocoknya dengan pria pribumi saja.
”Saya lebih senang melihat seorang Eropa memelihara anjing yang cakap atau kuda yang cantik daripada memiliki seorang wanita pribumi… Hubungan antara mereka merusak bagi keduanya…Keduanya lebih buruk daripada orang asing. Mereka musuh spiritual abadi,” tulisnya.
Baginya, orang Eropa dan pribumi adalah antipoda. Jika keduanya bercampur akan membawa bencana.
Bagi Veth, orang pribumi yang punya kenalan orang Eropa cukup membanggakan dirinya kepada pribumi-pribumi lain dengan kerap berkata"“kot per dom". Sebab, orang-orang pribumu mudah dikibuli. Mereka tidak akan pernah memahami tingginya peradaban Eropa, dan lebih baik hidup dengan nilai-nilai mereka sendiri.
Salah satu obyek yang dihajar habis-habisan oleh Bas Veth adalah penginapan. Menurutnya, hotel di Hindia Belanda berkualitas buruk. Yang agak mendingan hanya beberapa di Batavia. Veth mencontohkan Hotel Sumatra di Padang yang terpaksa sering jadi tempat inapnya sebagai bahan cemoohan.
Menurutnya, hanya babi dan orang Eropa kolonial amat tak peka yang bisa menikmati tinggal di sana. Kolam yang di halaman penginapan sungguh kotor. Hotel tersebut siang malam bau kencing kuda karena dekat dengan kandang kuda. Makanan dihidangkan di meja-meja luar halaman dekat jalan besar, tempat orang lalu lalang. Menu daging dan kentang yang tampilannya tak membangkitkan selera disajikan dengan minyak kelapa yang aromanya sudah tengik. Tamu pun musti angkut barang sendiri.
Ia menambahkan, yang disebut kamar hotel sesungguhnya adalah cel, ruang penjara. Kamar mandinya dipakai tamu dari segala kelas. Dalam bangunannya, cicak, laba-laba, tikus, kecoa juga berkeliaran dengan bebas. Pemilik hotel yang mantan kapten kapal ketika bicara dengan istrinya sengaja menyebut tamu-tamu hotelnya stinkerds (orang-orang bau). Memang jika tak betah di sana, ada satu hotel lain di Padang, Hotel Atjeh, tapi pemiliknya orang yang sama.
Bas Veth benar-benar bertindak sebagai muckracker (pembongkar) dalam meluahkan sinisme terhadap orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Bagi Bas Veth, motif sesungguhnya dari keberadaan orang Eropa ke sana hanyalah uang. Dia memberi istilah khas kepada seorang Belanda kolonial di Nusantara: De Indischman. Dan, de Indische man is een ophakker. Seorang penipu ulung.
"Alasan sesungguhnya orang-orang Belanda ke Hindia Belanda adalah urusan bisnis, yakni dagang, pertanian, industri dan tambang. Jika Hindia Belanda tak lagi produksi kopi, gula, tembakau, dan produk-produk lain, dan jika jutaan pribumi di sini lebih suka keliaran telanjang atau menggunakan pakaian buatan sendiri, dan jika tak ada emas, minyak atau timah, maka seluruh orang Eropa akan bergegas mengemas barangnya, lalu angkat kaki tanpa kembali. Para birokrat, perwira, dan pedagang pun segera lenyap. Kita di dunia timur ini hanya untuk membeli produk mereka dan menjual barang buatan industri Eropa,” ungkapnya.
Veth menggeneralisasi dengan mengatakan bahwa hasrat terdalam setiap orang Eropa di Hindia Belanda adalah mengumpulkan sebanyak mungkin uang, lalu pergi. Kalau tak cukup untuk ke Belanda, mereka minggat sementara ke Singapura atau Cina. Dulu jadi kaya memang mudah. Namun, krisis gula 1884 membuat semuanya berubah. Hindia Belanda jadi hetland van abstenteïsme. Kapital tidak lagi di sana, tapi di Eropa.
"Laba dan dividen bank-bank, firma-firma dagang, pertanian atau bisnis lain di Hindia Belanda kembali ke negeri Belanda, terhidang di meja para direktur dan pemilik perusahaan. Mereka tinggal di rumah mewah di sudut kawasan kaya Amsterdam atau Den Haag. Semuanya masuk ke saku orang-orang yang hidup puas dan nyaman di Eropa,” tutur Bas Veth.
Ia menambahkan, "Para kapitalis Eropa kemudian menunjuk para agen, pegawai, dan pekerja di Hindia Belanda yang digaji pas-pasan. Dengan cerdik mereka juga memberi bonus besar kepada para ambtenaar korup agar urusan berjalan serba lancar."
Masyarakat kolonial Hindia Belanda secara keseluruhan dilihatnya sebagai koleksi boneka yang pergerakannya dirancang untuk mendemonstrasikan satu pola tatak rama yang absurd. Cara memperkenalkan diri ketika di klub atau jamuan, cara suruhan melayani majikan, dan cara bercanda di Hindia Belanda antara orang-orang kolonial sungguh konyol baginya.
Bas Veth terkesan dengan pengalamannya naik kapal dari Belanda ke Nusantara. Di awal-awal perjalanan, mereka sesama Eropa totok berkomunikasi bebas bagai saudara atau teman lama. Namun, menjelang akan turun, tata krama kolonial pun berlaku, seorang asisten residen akan menunjukkan bahwa dia adalah pejabat penting, dan melengos acuh dari pedagang biasa.
Terakhir, Bas Veth memberi peringatan kepada para pemuda dan pemudi Belanda untuk tidak berkarier di Hindia Belanda. Lebih baik hidup miskin atau mengajar di gereja kampung di Belanda. Menurutnya, hidup di Hindia Belanda adalah puncak kesialan.
Mereka hanya akan menjadi korban kapitalisme dengan derajat paling buruk, lebih buruk dari pekerja pabrik dan tambang. Terlebih, jiwa mereka akan semakin dirusak apalagi kalau sudah mendapat jabatan tinggi di Hindia Belanda. Sebab, Hindia Belanda hanyalah kerajaan ilusi, orang mudah merasa penting dan besar.
Dalam tulisan Veth ini memang sangat banyak hal di Hindia Belanda yang dipandangnya buruk. Semua tak lepas dari hujatannya. Hanya sesekali Bas Veth memuji dengan jujur beberapa aspek kehidupan di sana, seperti soes (kehidupan di klub), kala mentari menjelang terbenam, suasana perkampungan di Minahasa, dan rangkaian pergunungan indah di Jawa dan Sumatra.
Apakah hidup Bas Veth begitu menderita sehingga begitu keras mengkritik Hindia Belanda? Menurut penulis Belanda, Hans Vervoort, Bas Veth justru hidup berlimpah harta.
Setelah tidak lagi bekerja dengan J.F. Van Leeuwen, dia mendirikan perusahaan bersama para saudaranya, Gebroeders Veth. Bisnisnya berjalan bagus. Ekspor kopi, kulit, dan karet ke Eropa berjaya, dan impor bahan katun dari Belanda juga diterima luas di pasaran Hindia Belanda.
Dia akhirnya dapat membeli rumah besar di Padang yang disebut huis Ambatjang, persis di lokasi Hotel Ambacang yang rubuh pada gempa 2009. Tahun 1891 saat kembali ke Belanda dia sudah mulai kaya, rajin mengunjungi konser musik, kerap trip luar negeri, mengoleksi benda-benda seni dan sastra, serta pengunjung tetap de Groote Club Amsterdam. Dia bahkan akhirnya mampu membeli beberapa lukisan Van Gogh dan membangun sejumlah vila.
Bas Veth berteman baik dengan penulis Belanda, Henri Borel, yang mengungkapkan berbagai sisi kehidupannya yang selama ini misterius bagi banyak orang. Bas Veth pernah hidup bersama dengan seorang wanita Hungaria, Giza Ritschl, selama delapan tahun. Mereka tidak pernah menikah, apalagi di gereja, sebab Bas Veth seorang ateis. Setelah pisah baik-baik pada 1904, Bas Veth justru menikahi seorang janda, Caroline Kleine, meski tak dapat keturunan.
Menurut temannya, Henri Borel, kesalahan atau kekurangan Bas Veth adalah tak mampu melihat keindahan Hindia Belanda dan tak paham kehalusan dan kedalaman budayanya, sebab Bas Veth tak pernah benar-benar kontak dengan peradaban masyarakat pribumi.
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi