tirto.id - Di kaki Gunung Tampomas, pada abad ke-16 berdiri Kerajaan Sumedang Larang yang makmur, dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Ia diceritakan demikian saleh, sehingga senantiasa haus dalam menimba ilmu agama Islam.
Tidak mau kalah dengan Raja Banten dan Cirebon dari segi ilmu keislaman, sang prabu lantas belajar dari para wali di Demak dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Setelah selesai mondok, Geusan Ulun menyempatkan berkunjung ke kerabatnya, Raja Cirebon, bernama Panembahan Girilaya.
Di Cirebon, ia tidak menduga akan bertemu dengan putri impiannya sewaktu mondok di Demak. Putri itu adalah Ratu Harisbaya, anak dari Pangeran Sampang. Geusan Ulun makin kaget lagi setelah mengetahui bahwa Ratu Harisbaya telah dinikahi oleh Panembahan Girilaya dan telah menganduung anak Raja Cirebon.
Timbul rasa cinta di antara keduanya, sehingga terlintas di benak Geusan Ulun untuk memboyong Harisbaya dari Cirebon ke Sumedang—yang sebenarnya diinginkan pula oleh Harisbaya. Rencana itu kemudian benar-benar dilaksanakan oleh Geusan Ulun dengan bantuan para kandaga lantè (abdi penyerta)-nya.
Penculikan Harisbaya tentu membuat Panembahan Girilaya dongkol. Segera setelah itu meletus peperangan antara Cirebon dan Sumedang. Geusan Ulun yang tahu benar resiko dari rencananya, berhasil memukul mundur pasukan Cirebon dua kali.
Panembahan Girilaya yang kalang kabut kemudian melaporkan kejadian ini pada atasannya, yakni Panembahan Hanyakrawati di Kerajaan Mataram. Saat itu sesuai dengan instruksi Mataram, Harisbaya kemudian benar-benar diserahkan pada Sumedang dengan syarat anak Girilaya di kandungan Harisbaya harus dianggap suksesor yang sah bagi Sumedang.
Raja Tegalkalong, Bupati Wedana Priangan
Sekilas kisah dalam naskah Carios Babad Sumedang yang diterjemahkan oleh Dede Burhanudin (2012) di atas merupakan asal-usul lahirnya Raden Suriadiwangsa. Ia adalah anak dari Panembahan Girilaya dan Ratu Harisbaya yang menjadi anak tiri Prabu Geusan Ulun. Kelak, ia akan menjadi bom waktu yang mengubah jalan sejarah Tatar Sunda.
Sebagaimana dijelaskan Euis Thresnawati S. dalam “Sejarah Kerajaan Sumedang Larang” (2011), pada masa awal kehidupan Suriadiwangsa, Sumedang tengah mengalami kemelut politik berkepanjangan. Setelah kejatuhan Kerajaan Sunda satu dekade sebelum kenaikan takhta Prabu Geusan Ulun, Sumedang dipercaya oleh para bekas aristokrat Kerajaan Sunda untuk menjadi pelanjut kerajaan itu.
Hal ini dalam beberapa sumber historiografis Sunda digambarkan secara simbolis dengan prosesi penyerahan mahkota Kerajaan Sunda Binokasih Sanghyang Pakè kepada Sumedang. Karena Sumedang mendapatkan warisan wilayah dari Kerajaan Sunda, Geusan Ulun silih berganti dirongrong oleh suksesor Kerajaan Sunda yang lain, yakni Kesultanan Banten di barat dan Kerajaan Cirebon di timur.
Apalagi, prosesi penyerahan kekuasaan dari Kerajaan Sunda ke Sumedang tidak diakui oleh bekas-bekas wilayah Kerajaan Sunda, sehingga Geusan Ulun harus menghadapi pemberontakan di berbagai daerah.
Kehadiran Ratu Harisbaya di Sumedang membuat internal kerajaan tersebut membentuk dua kutub. Setelah Geusan Ulun wafat pada awal abad ke-17, Kerajaan Sumedang Larang dipecah menjadi dua wilayah. Wilayah timur berpusat di daerah Dayeuhluhur, sedangkan bagian baratnya berpusat di daerah Tegalkalong.
Keraton timur dipimpin oleh Rangga Gede yang merupakan anak kandung Geusan Ulun. Sementara keraton barat yang merupakan ibu kota asli Sumedang malah jatuh ke tangan Suriadiwangsa yang merupakan anak tiri Geusan Ulun.
Perpecahan Sumedang pada dasarnya amat merugikan, karena kekuatan militer menjadi terpusat di dua tempat. Suriadiwangsa yang memimpin bagian barat Sumedang paling dekat dengan para musuh (Banten dan Cirebon) merasa dirinya terjepit.
Keresahannya terhadap ancaman para musuh kemudian terjawab ketika Sultan Agung dari Kerajaan Mataram mengeluarkan pretensi pada tahun 1614 atas wilayah Kerajaan Sumedang Larang.
Khawatir sewaktu-waktu kerajaannya akan diserang Sultan Agung, Suriadiwangsa pun mengamini pretensi itu dengan datang menghadap Sultan Agung pada tahun 1620 demi menyatakan tanda setia.
Suriadiwangsa yang kala itu datang mewakili Kerajaan Sumedang Larang (termasuk wilayah Rangga Gede), akhirnya dilantik oleh Sultan Agung menjadi bupati koordinator di bawah panji Mataram atas bupati-bupati di seluruh eks Kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Rangga Gempol Kusumahdinata.
Perilaku Suriadiwangsa yang di mata Mataram dianggap tulus-ikhlas (dalam bahasa Jawa “prayangan”) kelak menjadi inspirasi nama wilayah eks Sumedang Larang, yakni Priangan.
Kari
er di Mataram
Seperti disebutkan M. Muhsin Z. dalam Priangan: dalam Arus Dinamika Sejarah (2011), karier Suriadiwangsa sebagai pejabat Mataram ternyata gilang-gemilang. Ia yang oleh Sultan Agung diketahui memiliki darah Madura, diminta untuk memimpin ekspedisi Mataram dalam menaklukan Sampang.
Tentu itu bukan hal yang sulit bagi Suriadiwangsa, karena Sampang adalah kampung halaman ibunya. Ini terbukti dengan keberhasilan Suriadiwangsa dalam menaklukan Sampang dengan bermodalkan diplomasi, sehingga Mataram tidak perlu mengorbankan pasukannya. Atas keberhasilannya, Suriadiwangsa diberikan sebidang tanah di ibu kota Mataram untuk ditinggali, daerah itu disebut sebagai Kasumedhangan.
Walau seakan diistimewakan oleh Sultan Agung, ternyata hal itu tidak membuat puas Suriadiwangsa. Merujuk pada tulisan Mumuh Muhsin Z. "Sumedang pada Masa Pengaruh Kesultanan Mataram (1601-1706)" (2008), Suriadiwangsa ingin menjadi raja tunggal Kerajaan Sumedang.
Untuk melancarkan ambisinya, ia meminta bantuan mantan musuh ayah sambungnya, Kesultanan Banten, untuk menyerang Rangga Gede. Sayangnya, rencana Suriadiwangsa malah dimanfaatkan oleh Kesultanan Banten yang ketika diberi izin masuk ke wilayah perbatasan Sumedang justru menyerang balik tentara Sumedang di Karawang dan Pamanukan.
Daerah-daerah yang sebenarnya berada di bawah naungan Mataram ini hendak ditaklukan Banten demi meraih keberhasilan dalam pengepungan Batavia yang juga sebenarnya diincar oleh Sultan Agung. Karena permasalahan ini, Sultan Agung berang terhadap Suriadiwangsa dan mencopot jabatannya.
Jabatannya diserahkan kepada Dipati Ukur dari Bandung, sedangkan Suriadiwangsa dipancung di Mataram. Ia wafat tahun 1624 dan dimakamkan di Lempunyanganwangi, tak jauh dari Stasiun Lempuyangan di Kota Yogyakarta sekarang.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi