tirto.id - Maskapai penerbangan tertua di dunia milik Belanda membuka rute perjalanan Amsterdam-Batavia pada 1931. Secara umum, tanpa kendala cuaca atau teknis, rute ini ditempuh dalam waktu 9 sampai 10 hari.
Karena pekerjaan ini cukup berbahaya dan berdurasi penjang, satu kelompok awak pesawat yang bertugas enam kali penerbangan pergi-pulang (PP), wajib beristirahat selama 13 hari di antara tiap-tiap penerbangan yang dilakukan.
Ketika tiba di Batavia, KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) alias Royal Dutch Airlines--maskapai penerbangan tersebut--mengharuskan kru pesawat beristirahat di Bandung, kota yang berjarak sekitar 150 kilometer di tenggara Batavia yang dianggap istimewa oleh Belanda.
Kota Sejuk di Priangan
Pada 1955 Bandung terpilih sebagai lokasi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika. Menurut Farabi Fakih dalam "Colonial Domesticity and the Modern City" (Journal of Urban History, Vol. 1 2021), hal ini ironis.
Pasalnya, "Bergembira ria atas kehancuran kolonialiasme dan imprealisme Barat, konferensi tersebut diselenggarakan di kota bertipikal paling Eropa di Jawa," tulisnya.
Kali pertama ditinggali manusia sekitar 6000 tahun lalu, Bandung mulai bergeliat sejak abad ke-15 dengan terbentuknya kawasan permukiman. Perlahan, area yang berada di kawasan pergunungan barat Jawa ini dikuasai Kesultanan Mataram.
Namun pada 1670-an, diwakili Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) alias Kompeni, Belanda datang untuk berkuasa di wilayah ini. Mereka menyerbu pasukan Mataram yang akhirnya menyerah pada 1677.
Setelah Mataram hengkang, sebagian wilayah ini masih dikuasai Cirebon. Maka menurut Atsuko Ohashi dalam "The Genesis of Local Dutch East Indian Administration" (International Development Studies, 2019), Bandung baru benar-benar dikuasai Belanda pada 1681 setelah berhasil mengalahkan Cirebon dan dijadikan sebagai protektorat VOC.
Atsuko Ohashi menambahkan, di bawah kekuasaan Belanda, Bandung yang termasuk dalam spektrum Priangan atau Preanger merupakan wilayah yang sangat cair. Wilayah ini belum memiliki sistem pemerintahan yang mumpuni serta sering terjadi gagal panen yang mendorong masyarakatnya berkelana ke pelbagai tempat di Jawa (non Priangan) untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Namun sejak Belanda hendak membangun perkebunan teh dan kopi skala ekspor, pada 1708 mereka mulai memodernisasi sistem pemerintahan. Belanda juga menerbitkan aturan yang melarang warga Bandung hijrah ke wilayah lain (non Priangan) demi menjaga ketersediaan buruh/pekerja bagi perkebunan teh dan kopi.
Pada tahun itu pula Belanda mewajibkan pelbagai kepala wilayah di Priangan menyetor teh dan kopi secara berkesinambungan. Perintah ini dilaksanakan pertama kalinya pada 1711 dengan pengiriman kopi seberat 46 kilogram dari Cianjur untuk dilanjutkan wilayah lain. Bandung yang berada tengah-tengah Priangan akhirnya menjadi "kota perantara" atau "hub" bisnis Belanda.
Puas dengan teh dan kopi yang dihasilkan Bumi Priangan, Belanda menaikkan status Priangan menjadi "Priangan Regent-Governed Area". Ibu kotanya yang semula di Cianjur dipindahkan ke Bandung pada pertengahan 1800-an setelah Cianjur dilanda bencana alam hebat.
Lewat perubahan ini, Belanda berupaya mendorong warganya untuk menjadi warga tetap Hindia Belanda. Hidup sebagai masyarakat "Greater Netherland" cabang khatulistiwa alias "Tropical Netherlands."
Pada awalnya tak banyak orang Belanda yang mau hidup dan menetap di Hindia Belanda. Namun, tutur Pauline K. M. van Roosmalen dalam "Designing Colonial Cities" (The Study, Vol. 7 2011), kenyataan sebaliknya terjadi mulai 1870.
Kala itu, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pertanian atau Agrarusche Wet yang memungkinkan siapapun menyewa lahan dalam jangka panjang, masyarakat Belanda tertarik datang ke Hindia Belanda, termasuk ke Jawa bagian barat untuk membangun perkebunan privat.
Akibatnya, jika sebelum 1870 orang-orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda mayoritas adalah laki-laki (sebagai prajurit atau petugas kolonial), maka setelah 1870 berbeda. Laki-laki, perempuan, tua, dan muda berbondong-bondong datang ke Hindia Belanda.
Pada akhir abad ke-19, Bandung sebagai pusat Priangan diisi lebih dari 10.000 orang Belanda.
Besarnya arus migrasi warga Belanda ke Hindia Belanda, khususnya ke Bandung, kian menjadi-jadi pada abad ke-20 dengan dikeluarkannya peraturan tentang desentralisasi (Decentralisatiewet) pada 1903 dan pembentukan Dewan Lokal (Locale Radenordonnantie) pada 1905. Dua aturan yang memungkinkan pemerintah untuk mendesentralisasikan administrasi kepulauan ke entitas administratif lokal.
Pada 1906, Bandung ditetapkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai atau gemeente atau kotamadya, selain Batavia (Jakarta), Butenzorg (Bogor), Makasar, Padang, Palembang, Semarang, dan Surabaya. Atas penetapan ini, Bandung yang awalnya diberikan dana otonomi sebesar 41.655 gulden meningkat menjadi 15 juta gulden.
Menurut Abidin Kusno dalam "Professional Dreams" (Colonialism and the Modern World, 2002), perubahan ini, yakni desentralisasi sebagai pelecut pembangunan kota, didasari terutama oleh kian menggeloranya paham liberal di tanah Belanda.
Dari paham ini muncul "pencerahan" berupa perasaan bersalah atas penjajahan yang dilakukan, yang menggiring munculnya Politik Etis sejak abad ke-20. Namun, alih-alih memerdekakan tanah jajahannya, Politik Etis muncul sebagai cara membungkam kaum liberal Belanda. Di saat bersamaan, memunculkan semangat nasionalisme di kalangan pribumi.
Akhirnya, Ethical Policy diterjemahkan dengan melakukan modernisasi kota ala Belanda. Bukan untuk mensejahterakan warga pribumi, tetapi untuk membuat semakin banyak warga Belanda datang dan mendominasi pelbagai wilayah Hindia Belanda.
Di Bandung, misalnya, dengan dana otonomi yang besar, menggandeng ahli tata kota bernama Thomas Karsten dan R. L. Schoemaker, sebagaimana dituturkan Gustaaf Reenrink dalam "From Autonomous Village to ‘Informal Slum’" (2015), dibentuk tata ruang kota yang memisahkan antara penduduk Belanda dan Eropa lainnya dengan etnis lain, khususnya pribumi.
Di bagian utara Bandung, yang didesain sangat apik nan bergaya Eropa, dibuat untuk orang Belanda dan Eropa lainnya. Sebaliknya, di sisi selatan, hampir tak ada pembangunan berarti karena diisi pribumi.
Dalam pembangunan Bandung, meskipun populasi orang Eropa hanya 12 persen, mereka menempati lebih dari setengah tanah perkotaan. Akibatnya, bagian utara relatif luas. Di sisi lain, di banyak kampung di bagian selatan, kondisinya sangat berbeda.
Mayoritas penduduk pribumi di selatan tinggal di permukiman sempit, yang kian menyempit karena banyak lahan kemudian dialokasikan untuk infrastruktur perkotaan dan pembentukan distrik-distrik Eropa lain. Praktis, sebagai penyumbang 77 persen populasi Bandung, pribumi menempati kurang dari 40 persen total tanah.
Demi semakin mendorong warga Belanda tinggal dan menetap di Hindia Belanda khususnya Bandung, juga sebagai alat Belanda mencegah pribumi hijrah ke Eropa untuk menimba ilmu--karena dikhawatirkan terpapar semangat nasionalisme--Technische Hoogeschool te Bandoeng atau ITB sekarang dibentuk pada 1920.
Hal ini juga didorong oleh rencana Pemerintah Kolonial Belanda memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung.
Dengan semangat "Indies Architecture" atau "Syncretic Modernism", segala infrastruktur yang dibangun menampilkan gaya khas Belanda (Eropa) dengan aksen Nusantara. Inilah alasan mengapa sejumlah atap gedung di kampus ITB, misalnya, berbentuk mirip atap rumah-rumah tradisional Minangkabau.
Pada 1920, Bandung merupakan kota termodern di Hindia Belanda. Lalu, mengapa Belanda terlihat menganakemaskan Bandung dibandingkan kota-kota lain dalam memodernisasi Hindia Belanda?
Bandung disanjung Belanda salah satunya karena kota ini beriklim sejuk. Mirip seperti kondisi suhu di pelbagai tempat di Eropa. Dan tak hanya Belanda, kekuasaan Barat lain di Asia Tenggara juga melakukannya, seperti Baguio yang diistimewakan di Filipina oleh Amerika Serikat, dan Dalat di Vietnam oleh Prancis.
Dalam kasus Bandung, lewat studi yang dilakukan Panitia Aksi atau "Comite van Actie" bentukan Belanda dalam "Bandoeng: De Stad op de Hootevlanke" (1918), misalnya, iklim sejuk dianggap berhubungan erat dengan efisiensi, kerja keras, kebahagiaan, dan kesehatan.
Itulah mengapa KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) alias Royal Dutch Airlines mewajibkan para pegawainya beristirahat di Bandung.
Editor: Irfan Teguh Pribadi