Menuju konten utama
Mozaik

Pembangunan Jalur "Kereta Cepat" Jakarta-Surabaya Era Kolonial

Pembangunan jalur "kereta cepat" memangkas waktu tempuh Batavia-Surabaya dari dua hari menjadi hanya 13 jam.

Pembangunan Jalur
Header Mozaik Jalur KA Batavia Surabaya. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pembangunan jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah rampung. Sebelum dioperasikan secara optimal, belakangan sudah muncul wacana untuk memperpanjang jalur kereta cepat hingga Surabaya.

Dengan kereta api yang sekarang tersedia, rute Jakarta-Surabaya dapat ditempuh paling cepat sekitar 8 jam. Sementara jika menggunakan kereta cepat diperkirakan hanya butuh waktu sekitar 3 sampai 4 jam.

Riwayat upaya untuk memotong waktu tempuh dari Jakarta ke Surabaya dapat ditelusuri sejak masa Hindia Belanda.

Rute Batavia (Jakarta)-Surabaya telah lama terhubung dengan jaringan kereta api sejak 1 November 1894. Saat itu, jalur ini melewati beberapa kota, di antaranya Buitenzorg (Bogor), Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Yogyakarta, Madiun, hingga Surabaya.

“Kota-kota ini dipilih untuk dilewati jalur kereta api karena banyaknya jumlah penduduk yang bisa menjadi penumpang dan daerahnya yang subur,” ungkap Agus Mulyana dalam buku Sejarah Kereta Api di Priangan (2017, hlm. 101).

Rute ini mesti ditempuh selama dua hari. Lamanya waktu tempuh disebabkan beberapa alasan. Seperti ditulis S.A. Reitsma dalam Indische Spoorweg-politiek VII (1925), di antara penyebabnya adalah seringnya penumpang berpindah dari kereta milik perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) ke kereta milik Staatsspoorwegen (SS) di beberapa kota.

Penumpang dari Batavia menuju Buitenzorg menggunakan kereta milik NISM, kemudian berpindah ke kereta milik SS hingga Yogyakarta. Tiba di Yogyakarta penumpang kembali pindah ke kereta milik NISM dan berpindah lagi ke kereta milik SS saat tiba di Surakarta.

Faktor geografis juga membuat kereta api belum dapat dijalankan secara kencang di daerah-daerah dataran tinggi. Saat itu, kereta api juga tidak diizinkan melakukan perjalanan malam hari karena alasan keselamatan.

Pada 1 November 1929, Pemerintah Kolonial Hindia belanda melalui Staatsspoorwegen meluncurkan Eendaagsche Express, kereta api cepat yang menghubungkan Batavia hingga Surabaya dan sebaliknya. Kereta ini membuat jarak Batavia-Surabaya bisa ditempuh dalam 13 jam.

Pembangunan Jalur Cikampek-Cirebon

Sebelum mengoperasikan Eendaagsche Express, Staatsspoorwegen sudah melakukan berbagai cara untuk memangkas jarak tempuh Batava-Surabaya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun jalur-jalur baru, seperti jalur dari Karawang hingga Padalarang dan Cikampek hingga Kroya.

Pembangunan jalur dari Karawang hingga Padalarang mulai dilakukan Staatsspoorwegen pada 1901 dan selesai pada 1906. Jalur ini membuat penumpang dari Batavia tidak lagi harus melewati Buitenzorg, Sukabumi, dan Cianjur untuk ke Bandung dan seterusnya.

Meskipun jalur baru antara Karawang hingga Padalarang sudah dibangun, rute selanjutnya menuju Yogyakarta hingga Surabaya masih memakan waktu dua hari. Hal itu tidak terlepas dari kendala geografis Priangan yang merupakan dataran tinggi sehingga kereta api tidak dapat dipacu dengan maksimal.

Dari Bandung, kereta api biasanya hanya bisa berjalan sampai Stasiun Maos di Cilacap sebelum malam menjelang. Di Maos, penumpang dipersilakan mencari penginapan yang saat itu cukup banyak tersebar di sekitar stasiun.

"Kereta api tujuan Batavia dari Surabaya dan sebaliknya biasa berhenti di Maos dan baru melanjutkan perjalanan keesokan harinya,” ujar penulis buku panduan wisata Java the Wonderland (1900, hlm 13).

Pemerintah kolonial lalu mencari cara untuk mengatasi kelemahan ini. Lewat beberapa kajian, mereka lalu melirik potensi menghubungkan jalur-jalur yang masih terpisah di pantai utara Jawa. Salah satunya jalur antara Cikampek hingga Cirebon yang sama sekali belum terhubung kereta api.

Menurut S.A. Reitsma dalam Indische Spoorweg Politiek VII (1920), salah satu potensi ekonomi dari daerah itu adalah beras, mengingat Indramayu dan sekitarnya pada saat itu sudah dikenal sebagai daerah penghasil beras.

"Perputaran beras di Indramayu sangat tinggi yaitu mencapai 450.000-500.000 pikul per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 300.000-350.000 pikul diangkut ke Eropa dengan kapal uap," tulis Reitsma (1920, hlm. 124).

Pemerintah awalnya menawarkan pembangunan ini kepada perusahaan kereta api swasta, Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij atau SCS, namun urung dilakukan karena terkendala dana.

Infografik Mozaik Jalur KA Batavia Surabaya

Infografik Mozaik Jalur KA Batavia Surabaya. tirto.id/Ecun

Pemerintah kemudian menunjuk Staatsspoorwegen untuk membangun jalur ini. Mereka kemudian membentuk suatu tim untuk menyelidiki masalah-masalah terkait pembangunan jalur kereta api ini.

Dari hasil laporan tim diketahui bahwa jalur utama Cikampek-Cirebon akan memiliki percabangan ke arah Indramayu dari Jatibarang.

"Beberapa anggota berpendapat untuk menghubungkan Indramayu dengan jalur utama melalui jalur cabang dari Jatibarang atau tempat terdekat. Keduanya dihubungkan karena Indramayu merupakan daerah penghasil beras yang penting bagi ekspor,” tulis De Locomotief (5 Desember 1909).

Setelah itu, pemerintah kemudian mengeluarkan Indisch Staatsblad No. 447 tertanggal 14 Juni 1909 terkait pembangunan jalur kereta api dari Cikampek hingga Cirebon.

Pembangunan jalur sepanjang hampir 137 km ini dilakukan mulai 14 Juni 1909. Pembangunannya tidak memerlukan teknik khusus seperti pembangunan di jalur pergunungan di daerah Priangan. Hal itu karena kondisi antara Cikampek hingga Cirebon merupakan dataran rendah.

"Pembangunan jalur kereta api antara Cikampek-Cirebon dan jalur trem Jatibarang-Indramayu berlangsung di bawah pimpinan Chief Engineer J. van der Waerden," tulis S.A. Reitsma dalam Indische Spoorweg Politiek I (1916, hlm. 62).

Staatsspoorwegen juga membangun beberapa stasiun di sepanjang jalur ini, seperti Stasiun Terisi, Stasiun Jatibarang, Stasiun Indramayu, dan Stasiun Cirebon Kejaksan. Tepat tiga tahun kemudian jalur ini selesai dibangun dan diresmikan pada 3 Juni 1912. Total biaya yang dikeluarkan oleh Staatsspoorwegen sekitar 12,3 juta gulden.

Dari Cirebon, pemerintah kolonial lalu meneruskan proyek membuat jalur lanjutan hingga Kroya di Cilacap.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERETA API atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi