tirto.id - Kereta Api Perintis melayani daerah baru atau daerah yang sudah ada jalur kereta api namun secara komersial belum menguntungkan.
Di Indonesia, terdapat lima rangkaian kereta api yang berstatus sebagai KA Perintis. Satu rangkaian berada di pulau Jawa, dan empat lainnya di Pulau Sumatra. Salah satunya adalah KA Cut Meutia yang menandakan kembali bergeraknya transportasi berbasis rel di Aceh.
Dalam brosur seri informasi sejarah berjudul “Aceh Tram, Kereta Api di Aceh” yang dikeluarkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, Essi Hermaliza dan Irini Dewi Wanti menyebut bahwa kereta api di Aceh berhenti beroperasi pada tahun 1982.
Penutupan ini terjadi karena kalah bersaing dengan angkutan darat lainnya. Selain itu, juga didorong oleh faktor sulitnya mendapatkan suku cadang untuk lokomotif-lokomotif uap peninggalan masa lalu.
Di masa jayanya, kereta api di Aceh terkenal dengan nama Atjeh Staatsspoorwegen atau ASS. Saat mengalami keterpurukan, singkatan ini dipelesetkan oleh masyarakat setempat menjadi Asal Sampai Saja.
Istilah ini muncul karena kereta api berjalan lambat, sekitar 25 kilometer/jam. Saking lambatnya, masyarakat mengeluarkan anekdot, orang yang mau buang air kecil tinggal turun dari kereta dan bisa menaikinya kembali.
Jalur kereta api di Aceh pernah akan dihidupkan kembali oleh Presiden Habibie pada tahun 1998. Namun rencana ini gagal.
Pada tahun 2012, pemerintah sempat menyiapkan anggaran untuk menghidupkan kembali jalur kereta api di Aceh. Tapi, anggaran tersebut ternyata dialihkan ke bidang irigasi.
Dalam artikel "Cerita Jalan Baja di Serambi Mekah 1876", keberadaan trem peninggalan zaman kolonial itu tinggal cerita. Selain jalur yang sudah raib, banyak bangunan stasiun dan balai yasa yang kini sudah berubah fungsi bahkan dibongkar.
Pembangunan jalur kereta api di Aceh berbeda dengan di Jawa bahkan wilayah Sumatra lainnya. Jika di sekitar Medan misalnya didorong oleh berkembangnya perkebunan tembakau, dan di Jawa untuk kebutuhan pengangkutan hasil perkebunan seperti teh dan gula, maka di Aceh justru untuk kepentingan perang.
Moda transportasi darat ini dibangun untuk memudahkan pengangkutan semua kebutuhan logistik dan peralatan perang, juga untuk memperluas wilayah Belanda dan memadamkan perlawanan di Aceh.
"Jalur Aceh merupakan anak dari peperangan", tulis Oerip Simeon dalam Sedjarah Kereta Api Negara (SS/DKA) di Indonesia.
Jalur kereta api pertama yang dibangun di Aceh adalah jalur Ulee Lheue-Kutaraja sepanjang 4 kilometer. Menurut Ansor Ridwan dalam buku Jalan Besi Di Tanah Rencong Perkembangan Trem Aceh 1874-1950 (2016), daerah Ulee Lheue dijadikan sebagai titik awal pembangunan karena daerah ini merupakan titik terdekat dengan Kutaraja dan menjadi tempat bagi merapatnya kapal-kapal Belanda.
Jalur yang dibuka pada November 1876 ini pada mulanya menggunakan rel dengan lebar 1067 milimeter. Oerip bercerita, ketika jalur mendekati Gleh Kambing, dekat Indrapuri, lebar rel diperkecil menjadi 750 milimeter.
Pengurangan ini dilakukan untuk menghemat biaya perang, juga untuk memberi ruang bagi pembangunan jalan di pinggir rel kereta api. Sejak pengecilan rel, orang-orang mulai menyebut jalur di seluruh Aceh dengan nama Trem Aceh.
Di tengah pembangunan jalur kereta api, para pejuang Aceh terus melakukan penyerangan hingga militer kolonial Hindia Belanda (KNIL) mengambil alihnya pada tahun 1890 dan melakukan pengawasan penuh.
Selama hampir setengah abad, pihak militer berhasil menghubungkan seluruh pesisir pantai utara dan pantai timur mulai dari Ulee Lheue, Banda Aceh, sampai Pangkalan Susu di Sumatra Utara. Panjang rel yang dibangun sekitar 551 kilometer.
Ketika Perang Aceh berakhir dan keamanan sudah mulai terkendali, jalur transportasi trem mulai dijadikan sebagai fasilitas pengangkutan publik.
Moda transportasi ini memadai untuk mobilitas umum dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu singkat. Selain itu, suasana dalam trem dan stasiun juga menjadi hiburan bagi para pelancong dan penumpang.
Sejak tahun 1916, orientasi trem di Aceh bergeser dari transportasi pendukung perang menjadi transportasi komersial. Ini berkaitan dengan pengambilalihan aset-aset perkeretaapian di Aceh oleh perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS).
Pada zaman Jepang, trem Aceh berada dalam penguasaan Kiata Sumataro Tetsudo di bawah Kantor Besar Urusan Pengangkutan di Darat atau Rikuyuu Sookyoku. Setelah itu kaum Republik berhasil menguasainya.
Setelah Konferensi Meja Bundar, kepemilikan trem Aceh yang semula berada di tangan Staatsspoorwegen beralih ke Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Pergantian pengelolaan ternyata tidak mampu menyelamatkan keberadaannya yang terus mengalami penurunan keuntungan dari tahun ke tahun. Sampai akhirnya jalur legendaris ini ditutup pada tahun 1982.
Setelah ditutup puluhan tahun, perkeretaapian di Aceh mulai bergerak kembali. Perusahaan kereta api asal Prancis, Société Nationale des Chemins de fer Français (SNCF), melakukan studi banding pada tahun 2005 dan merekomendasikan pembangunan jalur antara Bireuen dan Lhokseumawe dengan lebar rel 1435 milimeter.
Pembangunan jalur kereta api antara dua kota berjarak 57 kilometer ini ditandai dengan pembukaan lintasan antara Krueng Mane, Bungkaih, dan Krueng Geukueh pada 2013. Tiga tahun kemudian kereta api penumpang dengan nama Cut Meutia diluncurkan.
Masyarakat yang ingin menggunakan kereta api yang memakan waktu 32 menit ini dikenakan biaya Rp 2000 per orang. Warsa 2023, trayek kereta api ini rencananya akan diperpanjang dari Stasiun Kuta Blang menuju Stasiun Krueng Geukueh.
Kereta api Cut Meutia diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan RI melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Aktivasi Kereta Rel Diesel (KRD) ini merupakan bagian dari proyek besar pembangunan Trans Sumatra yang menghubungkan Aceh dan Lampung.
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi