tirto.id - Cut Meutia tengah berduka. Suaminya, Pang Nangroe, tewas ditembak tentara Belanda dalam peperangan yang terjadi pada 26 September 1910. Namun, kematian sang suami tidak menyurutkan nyali Cut Meutia untuk terus melawan dengan harapan bisa mengusir kaum penjajah dari bumi Aceh Darussalam.
Memimpin pasukan yang ditinggalkan suami tercinta, Cut Meutia harus segera melupakan kesedihannya, mengangkat senjata untuk bersiap turun ke gelanggang. Strategi gerilya tetap menjadi tumpuan. Tidak semestinya menyerang terang-terangan jika tidak ingin mati konyol karena Belanda nyaris unggul segala-galanya.
Terlebih lagi, kekuatan Cut Meutia tergerus lantaran tidak sedikit anak buahnya yang terpaksa menyerah sepeninggal Pang Nangroe. Dengan daya yang tersisa, Cut Meutia tetap melawan kendati dalam kondisi yang serba terbatas.
Tanggal 24 Oktober 1910, tepat hari ini 108 tahun silam, atau hampir sebulan setelah kematian suaminya, Cut Meutia terkepung di pedalaman rimba Aceh sisi utara. Bersama sejumlah pengikut yang masih setia, ia berupaya bertahan dengan sepucuk rencong di tangan.
Dalam situasi mencekam itu, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Tiga kali suara letusan, tiga butir peluru pula menerjang raga Cut Meutia: dua terkena badan, satu menembus kepala. Tubuh wanita pemberani itu ambruk memeluk alam. Cut Meutia gugur di medan laga.
Balada Asmara Sang Mutiara
Cut Nyak Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak (Perlak), Aceh Utara, pada 1870. Belum diketahui waktu tepatnya ia membuka mata untuk pertama kali. Yang jelas, dikutip dari buku Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya (1993), Meutia lahir tiga tahun sebelum pecahnya perang Aceh-Belanda (hlm. 47).
Maka, sejak kecil Cut Meutia sudah amat akrab dengan nuansa pertempuran. Perang Aceh ternyata berkecamuk sangat lama, dimulai pada 1873 dan berlangsung hingga lebih dari tiga dekade kemudian.
Sepanjang hidupnya, Cut Meutia telah menikah tiga kali. Ia berparas sangat cantik dan anggun. Sampai-sampai, H.C. Zentgraaff dalam buku Atjeh Geschreven door en oud Atjehmen (1938) yang diterbitkan ulang pada 1985 setelah dialih-bahasakan oleh Aboe Bakar dengan judul Aceh, menuliskan kesan sekaligus kekagumannya:
“Cut Meutia bukan saja amat cantik parasnya, tetapi ia memiliki tubuh yang indah… wanita itu benar-benar seorang bidadari yang mempesona.”
Zentgraaff, yang pernah terlibat langsung dalam Perang Aceh, juga menggambarkan Cut Meutia dengan catatan: “[...] namanya bersesuaian dengan penampilannya yang seperti mutiara.”
Kata meutia dalam bahasa Aceh memang bermakna “mutiara”.
Perkawinan pertama Cut Meutia terjadi pada 1870 saat ia berusia 20. Ia dijodohkan dengan seorang putra uleebalang bernama Teuku Syamsarif. Dikisahkan dalam buku Prominent Women in the Glimpse of History (1994) karya Ismail Sofyan, M. Hasan Basry, dan Teuku Ibrahim Alfian, pernikahan agung itu dirayakan besar-besaran dalam adat Aceh.
Namun, Cut Meutia kurang bahagia. Suaminya cenderung tunduk terhadap Belanda kendati sebelumnya juga sempat menentang bangsa asing itu. Berkali-kali Cut Meutia mengingatkan sang suami, namun tidak pernah digubris.
Bahkan, seperti disebutkan M.H. Du Croo dalam buku Marechausee in Atjeh (1943), Teuku Syamsarif kemudian diangkat oleh Belanda sebagai pejabat tinggi dengan gelar Teuku Chik Bintara yang membawahi wilayah Keureutoe (hlm. 94).
Hal ini membuat hati Cut Meutia terpukul karena suaminya tampak bersuka-cita menerima pengangkatan itu. Cut Meutia memilih pulang ke rumah orang tuanya hingga akhirnya perkawinan mereka dianggap usai lantaran Teuku Syamsarif tidak pernah menjenguk serta menafkahinya.
Selepas perceraian itu, Cut Meutia ingin turut berjuang melawan Belanda. Namun, keinginan tersebut tidak begitu saja terkabul karena ia kini berstatus janda. Seorang perempuan yang belum atau tidak bersuami tidak boleh sembarangan berkeliaran.
Maka, ungkap Muhammad Vandestra dalam buku Pahlawan Wanita Muslimah dari Kerajaan Aceh yang Melegenda (2018), Cut Meutia menikah lagi. Calon suaminya kali ini adalah seorang pejuang Aceh bernama Teuku Chik Muhammad yang dikenal pula dengan nama Teuku Chik Tunon (hlm. 29).
Dari sinilah, kisah perjuangan Cut Meutia yang heroik dan legendaris itu dimulai.
Perempuan Berkalung Perang
Awal abad ke-20 menjadi titik penting bagi Cut Meutia. Tahun 1901, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk melawan Belanda yang amat berambisi menguasai Serambi Mekah. Spirit para pejuang di tanah rencong, termasuk Cut Meutia, pun kian terlecut dengan keberanian pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam itu.
Sejak itulah Cut Meutia dengan setia mendampingi suaminya, Teuku Chik Tunong, berperang. Tidak hanya berperan sebagai pendukung di garis belakang, Cut Meutia seringkali ikut memberikan saran mengenai taktik yang akan digunakan untuk meladeni Belanda.
Tercatat, sepanjang tahun 1901, 1902, hingga 1905, Belanda kewalahan menghadapi serangan-serangan sporadis yang diotaki oleh Cut Meutia dan suaminya. Cukup banyak unit senjata, amunisi, dan perlengkapan tempur lainnya yang dirampas dari Belanda.
Namun, Teuku Chik Tunong tertangkap pada awal 1905 setelah terjadi insiden yang menewaskan petugas patroli Belanda. Dicatat Ibrahim Alfian dalam buku Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (1999), suami kedua Cut Meutia itu menjalani hukuman mati pada Maret 1905 di pesisir Lhokseumawe (hlm. 164).
Sebelum dieksekusi, seperti dikutip dari buku Cut Meutia: Pahlawan Nasional dan Puteranya (1979) karya Ismail Yakub, Teuku Chik Tunong menitipkan pesan terakhir kepada sahabatnya, Pang Nanggroe, dengan mengucapkan kalimat wasiat:
“[...] sudah tiba masanya aku tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau, dan teruskanlah perjuangan.”
Sesuai amanat almarhum, Pang Nanggroe lalu menikahi Cut Meutia. Pernikahan ini diperkirakan terlaksana pada 1907. Perjuangan pun dilanjutkan di bawah komando duet Pang Nanggroe dan Cut Meutia yang berkali-kali merepotkan Belanda.
Cut Meutia kehilangan suami untuk ketiga kalinya pada 26 September 1910. Dalam suatu pertempuran sengit di perbukitan Hague, Aceh Utara, Pang Nanggroe tewas di tangan tentara Belanda. Beruntung, Cut Meutia mampu lolos bersama putranya, Teuku Raja Sabi.
Belanda terus mengejar Cut Meutia dan sisa-sisa pengikutnya yang masuk ke hutan belantara. Tanggal 24 Oktober 1910, posisi Cut Meutia terkepung. Namun, ia tidak sudi menyerahkan diri kendati harus bertarung sampai titik darah terakhir. Zentgraaff masih ingat fragmen menegangkan itu:
“Saya melihat rupa wanita putih kuning itu dengan wajahnya yang cerdas, didorong oleh perasaannya yang menyala-nyala untuk tewas sebagai seorang syahid. Dengan mata yang liar dan rambut yang terurai di kepalanya, ia mengayunkan kelewangnya menyerbu kami,” tulisnya.
Dan kemudian, dor! dor! dor! Tiga butir timah panas dimuntahkan untuk memungkasi hidup sang srikandi Aceh penerus perjuangan Cut Nyak Dien ini. Cut Meutia gugur dalam kemuliaan sebagai kusuma bangsa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan