tirto.id - Tertangkapnya Cut Nyak Dhien pada 4 November 1905 bukan berarti memungkasi perlawanan rakyat Aceh seluruhnya. Masih ada satu lagi perempuan yang sanggup membuat Belanda kewalahan. Ia bernama Pocut Baren.
Pocut Baren lahir pada 1880 dari keluarga bangsawan lokal di Aceh Barat. Ayahnya, Teuku Cut Anmat Tungkop, merupakan seorang uleebalang yang sangat disegani dan menjadi salah satu pemimpin rakyat melawan penjajah.
Garis nasib Pocut Baren nyaris mirip dengan Cut Nyak Dhien. Nantinya, setelah kiprah Cut Nyak Dhien terhenti karena sakit-sakitan lalu ditangkap, Pocut Baren melanjutkan perjuangan seniornya itu mengusir Belanda dari Serambi Mekkah.
Senasib dengan Cut Nyak Dhien
Tekad Cut Nyak Dhien dalam mengobarkan perlawanan terhadap penjajah terlecut setelah kehilangan orang-orang yang dicintainya. Suami pertama Dhien, Ibrahim Lamnga, meninggal dunia dalam pertempuran melawan Belanda pada 29 Juni 1878.
Cut Nyak Dhien kemudian menikah untuk kedua kalinya, dengan Teuku Umar. Namun sekali lagi ia ditinggal pergi sang suami untuk selama-lamanya. Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899 dengan penyebab yang serupa: tewas dibedil Belanda. Setelah itu, Dhien mengambil peran yang lebih penting, memimpin perjuangan rakyat Aceh.
Demikian pula dengan Pocut Baren. Suaminya yang seorang tokoh adat dan pemimpin rakyat di Aceh Barat menghembuskan nafas penghabisan di medan pertempuran. Sama seperti Cut Nyak Dhien, Pocut Baren pun tergerak untuk menggantikan andil orang yang amat disayanginya itu. Ia tampil di garis terdepan dalam perlawanan terhadap penjajah.
Buku berjudul Atjeh karya H. C. Zentgraaff (1983) memaparkan ciri khas perempuan tangguh ini. Dalam bertempur, tulisnya, Pocut Baren diiringi oleh para pengawal setianya yang terdiri dari sekitar 30 orang pria. Ke mana-mana Pocut Baren menyandang peudeueng (pedang) tajam, sejenis kelewang bengkok, mirip pedang Turki yang sangat terkenal (hlm. 140).
Mental dan kepribadian Pocut Baren yang sekeras baja sudah terpupuk sejak kecil. Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, akan tetapi ia tidak lantas menjadi putri nan manja. Sebaliknya, Pocut Baren dibesarkan dalam suasana perang yang membentuk karakternya sebagai sosok perempuan tangguh dan pemberani.
Pocut Baren dan suaminya berjuang bersama Cut Nyak Dhien sejak tahun-tahun terakhir abad ke-19. Ibrahim Alfian (1994) dalam Prominent Women in the Glimpse of History mengungkapkan, Pocut Baren menunjukkan kesetiaan tinggi kepada Cut Nyak Dhien, termasuk ketika harus mengembara dari satu tempat ke tempat lain, dari satu gunung ke gunung lain, dengan menahan lapar dan penderitaan.
Pengalaman bertempur dari perjuangan bersama Cut Nyak Dien membuat Pocut Baren semakin tegar dalam melancarkan perlawanan terhadap Belanda, terutama ketika ia memimpin sendiri pasukannya setelah suaminya gugur di medan laga. Pocut Baren terinsipirasi keteguhan hati Cut Nyak Dhien sepeninggal Teuku Umar.
Belanda Dibikin Kewalahan
Pasukan rakyat Aceh tercerai-berai setelah ditangkapnya Cut Nyak Dhien pada 1905. Laskar yang dipimpin Pocut Baren lolos saat Belanda menggelar penyerbuan besar-besaran ke markas Cut Nyak Dhien yang berujung dengan penangkapan itu. Putri Cut Nyak Dhien, Cut Gambang, juga berhasil diselamatkan.
Pocut Baren memimpin pasukannya masuk keluar hutan demi menghindari kejaran tentara Belanda selama berbulan-bulan. Sampai kemudian, pada 1906, pelarian ini menemukan sebuah gua tersembunyi di lereng Gunung Mancang, Aceh Selatan. Pocut Baren menjadikan gua tersebut sebagai markas pasukannya (Jaya Suprana, Kelirumologi Genderisme, 2014:78).
Dari situ, Pocut Baren mengkonsolidasi pasukannya yang sempat tercerai-berai selama pelarian. Setelah kekuatannya dirasa cukup membaik, Pocut Baren mulai meracik strategi untuk kembali melancarkan perlawanan terhadap Belanda, meskipun tidak secara frontal, melainkan dengan siasat gerilya.
Selain berfungsi sebagai markas, gua di Gunung Mancang juga digunakan sebagai benteng pertahanan bagi pasukan Pocut Baren. Setiap usai menyerang pos-pos militer, tangsi-tangsi, menyergap patroli Belanda, atau menemukan tentara musuh dan lantas menggempurnya, orang-orang Pocut Baren langsung masuk ke dalam hutan, lantas berkumpul lagi di markas sebelum bergerak kembali.
Gaya gerilya ala Pocut Baren benar-benar membuat Belanda kerepotan, seperti yang ditulis Zentgraaff: “Begitulah selama bertahun-tahun ia hidup dalam pertempuran yang diselingi jeda sejenak ke tempat-tempat yang jauh terpencil yang belum lagi didatangi kompeni, masih merupakan masa yang menyenangkan baginya. Cara bertempur seperti ini, Anda berhenti dulu kalau merasa bosan bertempur (hlm. 137).
Belanda benar-benar dibikin pusing dan terpaksa harus mendatangkan balabantuan dari Batavia untuk mengejar pejuang-pejuang Aceh yang dipimpin Pocut Baren (Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong, 2008:100). Belasan perwira militer Belanda didatangkan untuk bergantian memimpin operasi pengejaran Pocut Baren, tetapi tidak tidak pernah berhasil menangkap Srikandi Aceh penerus Cut Nyak Dhien ini.
Doup, salah seorang tentara Belanda yang turut dalam operasi penangkapan Pocut Baren, mengakui perempuan Aceh ini memang sangat sulit ditaklukkan. “Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda terkemuka dan terkenal berpengalaman dalam peperangan. Ini menunjukkan wanita itu memang lawan tangguh bagi Belanda,” kenangnya dalam Gedenkboek van het Korps Marechaussee van Atjeh (1940).
Membuat Lawan Terkesan
Belanda butuh waktu yang cukup lama untuk menemukan tempat persembunyian Pocut Baren. Kurang lebih 5 tahun setelah penangkapan Cut Nyak Dhien, barulah Belanda bisa mengetahui markas Pocut Baren yang berada di pedalaman Gunung Mancang. Itupun tidak mudah mencapainya karena benteng pertahanan pasukan Pocut Baren sangat sulit untuk ditembus.
Setiap kali terlihat tentara Belanda yang mendekat dan mendaki gunung, orang-orang Pocut Baren segera meluncurkan batu-batu berukuran besar. Akibatnya, banyak serdadu Belanda yang tewas mengenaskan, tertimpa terjangan batu dari atas. Berkali-kali mereka terpaksa mundur, berpikir keras untuk bisa menaklukkan Pocut Baren dan para pengikutnya yang bernyali tinggi itu.
Belanda akhirnya mempersiapkan serangan besar-besaran sekaligus upaya pengepungan. Untuk mempersempit ruang gerak pasukan Aceh di Gunung Mancang, Belanda membangun tangsi besar di dua lokasi yang menjepit posisi markas Pocut Baren. Dari kedua tempat pertahanan inilah pasukan Belanda bergerak untuk memburu orang-orang Pocut Baren (Zentgraaff, 1981:138).
Namun, sebisa-bisanya Pocut Baren bertahan, cepat atau lambat pasti bakal melemah juga menghadapi Belanda yang lebih unggul jumlah personel, dan selalu ditambah, serta persenjataan. Apalagi laskar pimpinan Pocut Baren semakin terisolasi di pedalaman Gunung Mancang.
Ruang gerak Pocut Baren semakin sempit, posisinya pun kian terjepit. Belanda kemudian menyirami daerah sekeliling area yang diperkirakan ditempati Pocut Baren dan para pengikutnya dengan minyak dan membakarnya (Jaya Suprana, 2014:79). Panas, asap, abu, juga debu, membuat orang-orang Pocut Baren kelimpungan dan sulit berkonsentrasi untuk membalas serangan.
Dalam situasi tersebut, Letnan W. Hoogers memimpin operasi penyergapan. Pocut Baren yang sebenarnya kesulitan karena pasukannya tercerai-berai terus berusaha melawan. Namun sayang, kakinya terkena tembakan sehingga akhirnya Hoogers bisa menangkapnya. Banyak pengikut Pocut Baren yang gugur dalam pertempuran ini.
Pocut Baren selanjutnya dibawa ke markas Belanda di Kutaraja, Banda Aceh. Di dalam tahanan, kondisi kaki Pocut Baren yang tertembak semakin memburuk dan mulai membusuk. Dokter dari pihak Belanda kemudian memutuskan untuk mengamputasi kakinya (Muhammad Vandestra Pahlawan Wanita Muslimah dari Kerajaan Aceh yang Melegenda, 2018:31).
Terkait nasib Pocut Baren selanjutnya, muncul perbedaan pendapat di kalangan petinggi militer Belanda sendiri. Ada yang mengusulkan agar Pocut Baren diasingkan ke luar Aceh, seperti halnya Cut Nyak Dhien. Namun, ada pula yang menyarankan supaya Pocut Baren diampuni, mengingat kondisinya yang dirasa sudah tidak memungkinkan untuk terus melawan setelah kakinya diamputasi.
Opsi kedua yang akhirnya dipilih, sekaligus untuk menghormati Pocut Baren sebagai sosok perempuan tangguh yang pantang menyerah. Belanda kemudian memulangkan Pocut Baren ke kampung halamannya. Ia juga dihadiahi kaki palsu yang khusus didatangkan dari negeri Belanda, untuk sedikit memudahkannya berjalan.
Pocut Baren menerima pemberian itu dan bersedia dipulangkan. Namun, dari tanah kelahirannya, ia tetap mengobarkan perlawanan meskipun tidak dengan senjata lagi. Pocut Baren menciptakan puisi dan syair untuk menggelorakan semangat perjuangan rakyat Aceh, hingga wafatnya pada 1933.
Bagi Belanda, Pocut Baren memang amat merepotkan, tetapi sekaligus sosok perempuan yang menakjubkan, seperti yang diakui Zentgraaff (1981:381) dalam tulisannya, “… ia (Pocut Baren) senantiasa melawan dengan layaknya. Ia selalu bergerak sangat cepat dan berkuasa setaraf dengan laki-laki yang paling kuat.”
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti