Menuju konten utama

Menelusuri Jejak dan Kisah Badak Jawa Terakhir di Priangan

Badak Jawa terakhir di Priangan ditembak mati dengan peluru mauser kaliber 9.3 di wilayah Sindangkerta, Tasikmalaya, pada 1934.

Menelusuri Jejak dan Kisah Badak Jawa Terakhir di Priangan
Header Mozaik Badak Priyangan. tirto.id/Tino

tirto.id - Euleung euy, euleung

Barudak urang ka jami (anak-anak mari ke ladang)

Embung euy, embung (tidak mau euy, tidak)

Sieun badak nu kamari (takut badak yang kemarin)

Euweuh euy, euweuh (tidak ada euy, tidak ada)

Geus dibedil ku si Jendil (sudah ditembak oleh si Jendil)

Dil long dil-dil long

Si Jendil dirawu kelong (Si Jendil diambil kelong/kalong wewe)

Kakawihan atau lagu permainan anak-anak berjudul "Si Jendil" ini melukiskan tentang seorang anak yang mengajak teman-temannya untuk pergi ke ladang, tapi mereka tidak mau karena takut badak. Kakawihan 8 padalisan dengan bentuk dialog ini biasanya dinyanyikan anak-anak ketika berkumpul sebagai pengisi waktu luang.

Dalam buku Pengukuhan Nilai-Nilai Budaya Melalui Lagu-Lagu Permainan Rakyat (Pada Masyarakat Sunda)yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1993, tak ada catatan soal siapa pencipta dan kapan lagu tersebut diciptakan. Sementara dalam buku Ajip Rosidi, Tembang jeung Kawih (2013), lagu tersebut berjudul "Euleung Euy, Euleung".

Menurut pakar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung cum anggota Masyarakat Geografi Nasional Indonesia, T. Bachtiar, lagu tersebut masih terdengar dinyanyikan anak-anak di Priangan, tepatnya di Garut Selatan, Jawa Barat, antara tahun 1967-1968. Lagu ini menunjukkan krisis populasi badak di Priangan akibat perburuan liar pada masa itu.

Penggunaan nama hewan badak juga terdapat dalam pantun sunda berjudul "Carita Badak Pemalang". Pantun ini sangat panjang sehingga ketika akan di-haleuangkeun (dinyanyikan) oleh Ki Samid pada 1971 di Cisolok, Sukabumi, ia bilang butuh waktu tiga malam untuk melantunkan seluruh pantun tersebut. Ketika dibukukan pada 1988, butuh dua volume buku untuk menampung semua isi pantun.

"Saya tidak menguasai isi pantunnya, mungkin ada semacam analogi atau apa gitu di situ," kata Bachtiar, Selasa (2/7/2024).

Selain dari kawih dan pantun, karya seni patung badak yang kini berada di Taman Balai Kota Bandung, Jawa Barat, juga jadi penanda keberadaan hewan soliter itu di priangan. Patung badak bercula satu tersebut berada di tengah kolam menghadap ke Jalan Merdeka dan Taman Panda di samping gedung Bank Indonesia (BI). Pada era kolonial Belanda, Taman Balai Kota Bandung bernama Pieters Park, lalu pernah berubah nama menjadi Taman Merdeka.

Zaman baheula, bekas badak berkubang memang kerap dijadikan permukiman hingga pusat pemerintahan. Jika ditelusuri, lokasi tersebut banyak tersebar di Kota Kembang.

"Kota ini didirikan di bekas paguyangan badak bodas, bekas tempat berkubangnya badak putih," kata Bachtiar.

Ia tidak mengetahui pasti keberadaan badak berwarna putih tersebut. Akan tetapi, ia menjelaskan lumpur yang menempel pada tubuh badak akan berwarna putih jika mengering terjemur matahari.

"Kalau berkubangnya di daerah yang padas, batuan cadas, bisa putih juga, ya. Tanah yang warnanya putih atau krem gitu kan banyak di Bandung. Makanya ada nama Cicadas, itu kan dari batuan padas, cadas," kata dia.

Menurut Bachtiar, cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat) dahulu menjadi habitat badak, harimau, macan, dan hewan liar lainnya.

"Daerah priangan ini cocok banget, ada hutan, lalu di pinggir hutan ada sungai, ada rawa-rawa, ada padang rumput, jadi cocok banget sebagai habitat hewan liar," ujarnya.

Menapak Jejak Badak Lewat Toponimi di Priangan

Hingga akhir abad ke-19, lanjut Bachtiar, penduduk Bandung masih bisa melihat badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Itu mengapa muncul nama Rancabadak, tempat berkubang atau mandi badak. Ranca dalam bahasa sunda artinya rawa.

Nama tempat yang mengacu pada badak itu ialah Rumah Sakit Rancabadak. Kini nama rumah sakit pusat rujukan di Jawa Barat itu berubah nama menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).

"Di sana (Rancabadak) ada rawa-rawa kecil, di sebelah kirinya ada Garunggang, sekarang Sukajadi. Ke sebelah timur itu sudah Cikapundung. Jadi lahan basahnya kecil, tapi dimanfaatkan oleh badak untuk berkubang," papar Bachtiar.

Tak jauh dari Rancabadak, ada daerah bernama Pamoyanan--dekat Istana Plaza, Cicendo, saat ini--yang merupakan tempat berjemur hewan buas seperti harimau.

Haryoto Kunto dalam bukunya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1985), juga menceritakan bahwa pada 1866 masyarakat sering melihat kawanan badak berkeliaran di Cisitu--daerah yang tak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) saat ini. Pada masa itu, Bandung masih penuh hutan belukar yang berpaya-paya. Badak dan harimau sering memasuki daerah permukiman penduduk.

Bachtiar menjelaskan setiap daerah memiliki toponimi yang khas dengan kondisi alam, budaya, hingga kehidupan sosial masyarakatnya.

"Nama-nama tempat yang memakai kata badak itu bisa dipetakan penyebarannya di Jawa Barat atau sampai Banten, ya," kata Bachtiar.

Di Bandung ada beberapa nama lain mengacu pada badak, seperti Jalan Cibadak di Astanaanyar. Dahulu, lokasi ini juga disebut sebagai tempat pemandian badak. Di sana terdapat kubangan dengan mata air yang konon tidak pernah surut meskipun kemarau panjang.

Kemudian, ada Gedong Cai Cibadak (Tjibadak) yang merupakan bak penampungan air yang berlokasi di Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. Leding ini dibangun oleh Wali Kota Bandung pertama, Bertus Coops, pada 1921. Beberapa sumber menyebut penamaan Cibadak berasal dari kondisi kawasan ini yang dulunya dihuni badak.

"Berdasarkan toponimi bisa dilihat bagaimana penyebaran badak pada masa lalu, walaupun itu tidak menunjukkan kondisi aslinya. Pasti ada tempat lain yang jadi habitat badak cuma tidak menjadi toponimi," kata Bachtiar.

Di wilayah lain, ada tempat bernama Kandang Badak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango--berlokasi di antara Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Nama Kandang Badak muncul sejak era kolonial Belanda. Waktu itu, lokasi yang merupakan area jelajah badak jawa menarik perhatian para peneliti.

Kandang Badak berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl). "Kandang Badak mencirikan daerah jelajah badak jawa sampai ke gunung-gunung," kata Bachtiar.

Badak jawa memiliki daya jelajah yang tinggi. Mamalia berpostur tegap itu memiliki tinggi sekitar 1,2-1,7 meter dengan bobot tubuh 900-2.300 kilogram. Cula satu berwarna abu-abu gelap atau hitam dengan ukuran panjang rata-rata 20–25 cm dan dapat mencapai 30,5 cm.

Kemudian di Tasikmalaya, Jawa Barat, jejak keberadaan badak diabadikan menjadi sejumlah nama kampung. Misalnya Badak Paeh (Badak Mati), Cibadak, Pasir Badak, dan lainnya. Ada pula Curug Badak yang berlokasi di Cisayong.

"Tidak bisa dipastikan jumlahnya (badak di Jawa Barat) karena dulu belum ada sensus, seperti yang sekarang dilakukan di Ujung Kulon," kata Bachtiar.

Infografik Mozaik Badak Priyangan

Infografik Mozaik Badak Priyangan. tirto.id/Tino

Badak Terakhir di Priangan

Tasikmalaya menjadi saksi sejarah matinya Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) terakhir di Priangan. Badak ini ditembak mati dengan peluru mauser kaliber 9.3 di wilayah Sindangkerta, Tasikmalaya, pada 1934.

Mengutip laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)--sekarang bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)--badak jantan itu awalnya hidup bersama pasangannya di Karangnunggal, Tasikmalaya. Namun pada 1914, nasib malang menimpa si betina, ia mati ditembak pemburu liar.

Pada masa itu, badak dianggap hama perusak ladang pertanian. Pemerintah Belanda pada abad ke-18 bahkan pernah membuat sayembara berhadiah bagi warga yang bisa memburu badak. Di sisi lain, cula badak dianggap memiliki khasiat untuk kesehatan, padahal tidak terbukti secara ilmiah.

S. Kalff (1918) dalam jurnal Indie, geillustreerd weekblad voor Nederland en Koloniën bertajuk “Bataviasche journaalposten” menyebutkan tanduk badak sangat berharga karena dapat digunakan sebagai obat dan menunjukkan simbol status sosial.

Kalff menuliskan habitat badak ditemukan di kawasan berhutan tinggi dan kawasan pesisir. Metode perburuan badak selain menggunakan senapan, ada juga yang pakai metode tradisional menggunakan jebakan dan senjata tajam.

Khawatir mengalami nasib yang sama seperti si betina, badak jantan di Tasikmalaya sempat akan dipindahkan ke Ujung Kulon yang saat itu masih berstatus Cagar Alam. Sayangnya, badak tersebut sudah tua dan dikhawatirkan tidak bisa berbaur dengan sesamanya.

Museum Zoologi Bogor yang kala itu dikelola Pemerintah Belanda memutuskan menjadikan badak jantan tersebut sebagai spesimen demi kepentingan ilmu pengetahuan. Akhirnya pada 31 Januari 1934, badak tersebut ditembak mati.

Foto dokumentasi perburuan si Badak Terakhir dari Priangan itu bisa dilihat di laman Rhino Resource Center. Terlihat seorang warga lokal dan warga Belanda berpose di belakang jasad badak. Tampak pula sepucuk senapan disandarkan di badan badak tersebut. Kini, spesimen seberat 2.280 kilogram tersebut dapat dilihat di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI), Bogor, Jawa Barat.

Habitat alami Badak Jawa yang tersisa saat ini hanya di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Populasi Badak Jawa pada 2024 diperkirakan hanya sekitar 81 ekor. Badak Jawa dikategorikan kritis (critically endangered) dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Pertambahan penduduk dan perburuan liar menggerus habitat mamalia besar tersebut.

Baca juga artikel terkait BADAK JAWA atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Gilang Ramadhan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Irfan Teguh Pribadi