tirto.id - Pada pertengahan abad ke-19, pasar pertama Bandung yang terletak di Ciguriang terbakar dalam peristiwa pembunuhan Asisten Residen Priangan. Pelakunya adalah Munada yang dibantu komplotannya. Pembunuhan berencana itu melibatkan Jaksa Bandung yang mendendam kepada Asisten Residen Pringan dan Bupati Bandung Wiranatakusumah III.
Asisten Residen Priangan yang bernama Carl Wilhelm August Nagel berhasil dibunuh. Sementara Bupati Bandung lolos dari maut karena pelaku berhasil diadang para prajurit kabupaten. Munada melarikan diri, tapi tak lama kemudian ia pun tewas dibunuh.
Kisah ini berdasarkan penelusuran Edi Suhardi Ekadjati, guru besar Fakultas Sastra Universitas Padjdjaran, yang terdapat dalam empat naskah, yakni Sejarah Timbanganten, Kitab Pancakaki, Babad Raden Adipati Aria Martanagara, dan Wawacan Carios Munada.
Jarak waktu antara peristiwa dengan penulisan keempat naskah ini berbeda-beda. Ada yang berdekatan, ada juga yang berjarak hingga puluhan tahun. Berdasarkan jenis kertas yang digunakan, Ekadjati menilai bahwa naskah Sejarah Timbanganten ditulis pada akhir abad ke-19. Artinya jarak antara peristiwa dan penulisan kurang lebih 50-an tahun, sebab peristiwa pembunuhan dan pembakaran pasar tersebut terjadi pada 1842.
“Naskahnya ditulis pada kertas bergaris berwarna kecoklatan dengan ukuran folio atau 35 x 21,3 cm. Tebal naskah 39 halaman dan tiap halaman berisi tulisan 36 baris,” tulisnya.
Sementara Kitab Pancakaki ditulis lebih awal oleh Raden Natadimaja, seorang bangsawan Sumedang, yang menulisnya sejak 24 Agustus 1846. Menurut Ekadjati, naskahnya ditulis pada kertas bergaris dengan menggunakan huruf Arab, bahasa Jawa, dan berbentuk prosa. Naskahnya setebal 100 halaman, dan tiap halaman ditulis sebanyak 32 baris.
Lain lagi dengan Babad Raden Adipati Aria Martanagara. Naskah ini selesai ditulis pada Oktober 1923 dan diterbitkan menjadi buku pada tahun yang sama, dan berjarak 81 tahun dari kejadian. Kisah tentang Munada terdapat dalam autobiografi mantan Bupati Bandung ini dan ditulis dengan huruf Latin, tebalnya 51 halaman.
Dan Wawacan Carios Munada yang merupakan naskah paling lengkap serta runut secara kronologis, tidak dijelaskan waktu penulisannya. Namun dalam pengantar penyajian naskah tersebut Ekadjati menjelaskan bahwa ia melakukan pengubahan ejaan dari naskah aslinya yang bisa menjadi petunjuk kapan naskah itu ditulis.
“Karena naskah Wawacan Carios Munada ditulis dengan menggunakan huruf latin, maka tidak dilakukan alih huruf. Yang diubah hanya ejaannya, yaitu dari huruf latin yang berlaku tahun 1910 menjadi ejaan sekarang yang terkenal dengan sebutan Ejaan Yang Disempurnakan,” imbuhnya.
Dari keempat naskah tersebut, Kitab Pancakaki jelas yang paling dekat dengan kejadian. Namun sayang naskah itu sangat sedikit menyebut peristiwa huru-hara Munada, bahkan tidak mencatat tewasnya Munada yang menjadi pokok bahasan artikel ini.
Yang Tersisa Hanya Tulang dan Keris
Timbanganten adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Salah satu wilayahnya bernama Ukur atau Tatar Ukur. Bandung tempo dulu masuk ke dalam Tatar Ukur, makanya di kota ini terkenal cerita Dipati Ukur. Sementara De Haan (1912) yang dikutip Ekadjati menyebut Timbanganten sebagai daerah pendahulu Kabupaten Bandung yang lokasi ibu kotanya berada di Tarogong, Garut.
Dalam Sejarah Timbanganten, Jaksa Bandung yang menyuruh Munada membunuh Asisten Residen Bandung bernama Mangunagara. Ia tidak disebutkan secara eksplisit sebagai orang yang membunuh Munada sehari setelah ia berhasil melakukan tugasnya. Namun, istri mudanya yang bernama Raden Sarimantri memberi keterangan kepada aparat bahwa Munada telah mati dan jenazahnya terkubur di tempat rahasia selama dua tahun.
“Munada tidak ditangkap hidup-hidup, karena dibunuh di dalam peti besar. Kemudian dia dikubur bersama petinya,” terang penulis naskah tersebut.
Saat kuburannya dibongkar, peti mayat yang terbuat dari kayu jati masih utuh. Sementara jasad Munada telah habis dan hanya menyisakan tulang-belulang. Di dalam peti juga terdapat sebilah keris yang dipakai untuk membunuh Munada.
Memilih Dibunuh daripada Digantung
Raden Adipati Aria Martanagara adalah Bupati Bandung yang memerintah dari 1893 sampai 1918. Setelah lengser dari jabatannya, ia berhasil menyelesaikan autobigrafi dalam bentuk babad yang ia tulis di Burujul, Sumedang.
Berdasarkan babad tersebut, Munada disembunyikan dan dibunuh oleh Jaksa Naranata yang menyuruhnya menghabisi Asisten Residen Bandung. Untuk mengelabui khalayak dan aparat, Naratata menyuruh juru tulisnya untuk mengaku sebagai Munada dan pergi ke arah Tarogong, Garut.
Maka pada pukul 7 pagi, sehari setelah Asisten Residen Bandung dibunuh dan pasar Bandung terbakar, seseorang yang disuruh Naranata telah berpakaian rapi dan menunggang kuda pergi menuju Sungai Citarum. Di bibir sungai, ia meminta kepada warga setempat untuk diseberangkan.
“Cepat saya seberangkan! Saya itu bernama Munada, pedagang di pasar Bandung dan terkenal pendukung adu ayam kanjeng Bupati!” ujarnya.
Setelah melewati Citarum—yang kini menjadi salah satu sungai paling tercemar di dunia, Munada palsu terus bergegas menuju Tarogong, melewati kampung demi kampung, dan beberapa kali minta diseberangkan setiap kali sungai mengadang laju perjalanannya.
Jelang tengah hari, para pembesar dan aparat di Bandung mendapat kabar tentang Munada palsu yang melarikan diri menunggangi kuda. Mereka segera mengejarnya, tapi terlambat. Para pengejar tak patah arang, mereka terus menggeledah tiap kampung dan hutan, juga bertanya kepada warga yang menyeberangkan Munada Palsu.
Pencarian mereka mulai menemukan titik terang saat seorang warga Tarogong mengabarkan bahwa seseorang yang mengendarai kuda dan mengaku sebagai Munada ternyata juru tulis Jaksa Bandung yang bernama Raden Wiria. Untuk memastikan kebenaran kabar itu, Raden Wiria dipertemukan dengan orang-orang yang menyeberangkan dirinya saat hendak melewati sungai. Gayung bersambut, orang-orang itu membenarkan bahwa Raden Wiria adalah orang yang mereka seberangkan.
Naranata segera ditangkap dan dibuang ke Surabaya. Namun, penangkapan Naranata ternyata tak berhasil mengungkap keberadaan Munada. Selama 7 bulan misteri tak terpecahkan, dan selama itu juga terjadi kekosongan jabatan jaksa. Dua orang sempat diajukan untuk menggantikan posisi Naranata selaku Jaksa Bandung, tapi pemerintah kolonial tak menyetujuinya.
Raden Suriadilaga, orang ketiga yang diajukan untuk menjadi Jaksa Bandung akhirnya disetujui. Setelah diangkat menjadi jaksa, ia menikahi seorang janda bekas istri Naranata. Dari istri barunya itulah Suriadilaga mendapat informasi bahwa Munada telah mati dan jasadnya dihanyutkan ke Sungai Citarum.
Perempuan itu juga menerangkan bahwa sebelum mati dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam peti besar dan lehernya dijerat dengan tali, Munada sempat ditanya oleh Naranata apakah ia memilih digantung atau bunuh diri.
“Hamba ingin dibunuh oleh Bapak Jaksa saja,” jawab Munada.
Jenazah dalam peti lalu digotong oleh empat orang dan dilarung.
Bau Pesing Menguar dari Peti
Cerita proses terbongkarnya pembunuh Munada dalam Babad Raden Adipati Aria Martanagara hampir serupa dengan yang dituturkan dalam Wawacan Carios Munada. Naskah yang menurut Ekadjati beredar pada 1910 itu menerangkan bahwa komplotan yang membantu Munada dalam menjalankan aksinya bertemu dengan Jaksa Bandung bernama Mangunagara.
Komplotan yang berjumlah 11 orang dan Jaksa Bandung bersepakat untuk mengutus salah seorang dari mereka yang bernama Sastradireja untuk mengaku sebagai Munada dan pergi ke Tarogong lewat Majalaya dan Leles. Sementara Munada bersembunyi di dalam peti di rumah jaksa tersebut.
Atas permintaan Munada sendiri, ia akhirnya dibunuh dan mayatnya dibuang ke Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung.
Munada yang dianggap melarikan diri membuat para pembesar mengerahkan banyak orang untuk mencokoknya, termasuk Jaksa Purwakarta, Surialaga. Jaksa inilah yang mencurigai Mangunagara dan memerintahkan untuk menggeledah rumah Jaksa Bandung tersebut.
“Peti tempat persembunyian Munada ditemukan dalam keadaan kosong, hanya tercium bau pesing. Sangkaan tersebut dilaporkan kepada Bupati Bandung,” tulis Ekadjati dalam Wawacan Carios Munada (hlm. 29)
Sebagai pelaku yang menyembunyikan dan membunuh Munada, Mangunagara tentu memegang rahasia. Namun, saat ia pergi keluar kota, istrinya dirayu dan dibujuk oleh Surialaga dan membocorkan rahasia, lalu Mangunagara dan komplotannya ditangkap.
“Semua tertuduh diperiksa dan perkaranya diproses. Ternyata mereka terbukti bersalah, karena itu dijatuhi hukuman buang ke Makassar, Ambon, dan Ternate selama 20 tahun, kecuali Demang Biskal dihukum ke Surabaya selama 25 tahun,” imbuh Ekadjati.
Editor: Ivan Aulia Ahsan