Menuju konten utama
31 Desember 1926

Bupati Bandung Wiranatakusumah V: Naik Haji, Lalu Bikin Film

Cerita lama. 
Seekor kera sisih
di belantara.

Bupati Bandung Wiranatakusumah V: Naik Haji, Lalu Bikin Film
Ilustrasi R.A.A. Wiranatakusumah V. tirto.id/Gery

tirto.id - Demi memeriahkan Kongres Java Instituut pada 18 Juni 1921, Bupati Raden Adipati Aria Wiranatakusumah V menggelar sebuah tonil (sandiwara) di pekarangan Pendopo Kabupaten Bandung. Lakon yang dipentaskan adalah Lutung Kasarung, sebuah cerita rakyat Sunda.

Cerita itu mengisahkan perjalanan Sanghyang Gurumada dari Kahyangan yang turun ke bumi dalam wujud seekor lutung (kera) yang buruk rupa. Dalam perjalanan tersebut, dia bertemu Putri Purbasari yang terusir. Pada akhir cerita, lutung itu berubah jadi pangeran tampan dan mengawini Purbasari. Lutung kasarung artinya "kera yang tersesat". Cerita yang diangkat sang bupati ini pun menarik perhatian.

Baca juga: Bupati Bandung Baik Haji dan Dijamu Penguasa Mekkah

Pementasan teater ini terbilang spektakuler karena ditampilkan di ruang terbuka. Dimulai pada jam 21.00 dan ditonton ribuan orang, tonil itu dilukiskan sangat memukau,” tulis Iip D. Yahya dalam R.A.A.H.M. Wiranatakusumah V: Kedalaman yang Belum Terselami (2011: 13).

Orang Belanda yang menonton terpukau juga. Apalagi dipentaskan di panggung terbuka, yang juga sedang trend di Eropa. Wiranatakusumah dan koleganya berhasil menyajikan pertunjukan ala Eropa di Bandung. Tonil 18 babak yang diiringi musik silih berganti itu adalah kolaborasi antara Wiranatakusumah, Kartabrata, DK. Ardiwinata, dan Yudadibrata. Musiknya diiringi degung, renteng, angklung, tarawangsa, dan celempung.

“Kesucian riwayat itu nyata benar-benar pada bahagian 13, pada waktu hendak memotong padi. Pada bagian itu, tatkala beberapa orang dewa turun dari kayangan, membawa segala keperluan untuk memotong padi, seorang-seorang berlutut dan menyembah dengan tertib dan saksama; kesunyian lakon itu terasa meresap ke dalam tulang dan sumsum menghentikan napas dan debar jantung […] Orang yang beribu-ribu itu diam tidak berkata, sehingga di komidi halaman itu sunyi dan sepi sekali rasanya,” puji majalah Sri Poestaka tahun 1921, seperti dikutip Iip D. Yahya (hlm. 13-14).

Rupanya, Lutung Kasarung tak berhenti pada tonil saja. Di tahun-tahun setelah Wiranatakusumah pulang naik haji (1924), cerita rakyat ini digarap lagi olehnya. Tentu saja di sela-sela pekerjaannya sebagai Bupati Bandung.

Lahirnya Film Pertama Hindia Belanda

Di Bandung, menurut Eddy Iskandar dalam Bandung: Tonggak Sejarah Film Indonesia (2006) menyebut, “[...] permulaan tahun 1920, di Bandung berdiri perusahaan film NV Java Film Company, yang didirikan L Heuveldorp dan G Krugers” (hlm. 19).

Menurut Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (2009), Krugers bertindak sebagai pemimpin laboratorium yang mencuci dan mencetak film. Salah satu film dokumenter yang pernah dikerjakan perusahaan itu adalah Inlanders op de Krokodillen—yang panjang rol filmnya mencapai 400 meter (hlm. 60).

Baca juga: Gambar Idoep yang Menghidupkan Nusantara

Tahun 1926, perusahaan ini membuat perbedaan dengan membuat film cerita. Kisah Lutung Kasarung lah yang akan diangkat sebagai cerita film itu. Gagasan membikin film cerita di Hindia Belanda pernah diwacanakan surat kabar De Locomotief.

Direncanakan, menurut catatan Misbach, “panjangnya tak kurang dari 2.600 meter dengan masa putarnya sekitar satu jam.” Dalam produksinya, L. Heuveldorp—yang berpengalaman di bidang perfilman Amerika—bertindak sebagai sutradara dan pimpinan produksi.

Para pemain film berasal dari kalangan priayi Bandung. Menurut Misbach, Raden Kartabrata, yang dikenal sebagai Guru Kepala, ditugasi untuk menjadi pengarah para pemain yang priayi. “Pembuatan film ini mendapat dukungan dan bantuan besar dari Bupati Bandung, Wiranatakusamah V, sehingga segalanya berjalan lancar,” tulis Misbach (hlm. 61).

Wiranatakusamah tak hanya menjadi otak dari film ini, tapi juga penyandang dananya. Pengambilan gambar dilakukan di rumah Sunan Ambu, Bukit Karang, dua kilometer dari Padalarang. Direktur L. Heuveldorp tak lupa mengundang tokoh masyarakat terkemuka, orang-orang pemerintahan, dan perusahaan untuk melihat pengambilan gambar pada 15 Agustus 1926.

Menurut Iip D. Yahya, “Wiranatakusmah bekerjasama dengan raja bioskop Bandung F.A.A. Buse ikut membiayai film bisu yang dibesut duet sutradara G. Krugers dan L. Heuveldorp, di bawah NV. Java Film Company” (hlm. 14).

Pihak militer dari satuan Zeni, menurut Misbach, ikut membantu dengan meminjamkan lampu sorot besar. Departemen Peperangan meminjamkan mobil-mobil. Sempat ada halangan karena pemeran wanita awalnya enggan memakai kemben di dalam film. Di antara pemain, terdapat anak-anak Wiranatakusmah (hlm. 64-68).

Baca juga: Mencari Jejak Film Nusantara

Infografik Mozaik Loetoeng Kasaroeng

Setelah Pemberontakan PKI meletus dan gagal pada tengah November 1926 di beberapa daerah di Jawa, film ini akhirnya selesai. Ia lalu dirilis dengan judul Loetoeng Kasaroeng. Surat kabar Kaoem Moeda (30/12/1926) menayangkan iklan berbunyi: “Loetoeng Kasaroeng yang sudah lama di tunggu-tunggu oleh penduduk di Bandung, akan mulai dimainken dalam Elita dan Orientalbioscoop dan Feestterrein Elita.” Maksudnya besok adalah Jumat malam 31 Desember 1926 jelang tahun baru, atau tepat hari ini 91 tahun lampau.

Bioskop Elita, menurut Misbach, adalah bioskop kelas atas. Dalam iklannya, disebut bahwa pertunjukan dipersembahkan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal, orang yang paling berkuasa di Hindia Belanda. Di mana Wiranatakusamah V secara administratif adalah bawahannya.

Baca juga: Mengawetkan Kala dalam Restorasi Tiga Dara

"Loetoeng Kasaroeng adalah film cerita pertama yang menampilkan cerita asli Indonesia," kata J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005).

Satu dekade setelah Loetoeng Kasaroeng ditayangkan, film Terang Boelan dirilis pada 1937. Menurut Fandy Hutari dalam Sandiwara dan Perang: Politisasi Terhadap Aktivitas Sandiwara Modern Masa Jepang di Jakarta, 1942-1945 (2009), kedua film tersebut memengaruhi dunia hiburan Hindia Belanda (hlm. 30). Sejak keduanya diproduksi, muncullah persaingan antara film dan sandiwara. Bahkan terjadi hijrah pemain besar-besaran setelah 1937.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan