tirto.id - Layar menunjukkan suasana ruang tengah dari rumah zaman dulu. Beberapa perabotan lawas tampak menghiasi interiornya. Tiba-tiba tiga orang gadis masuk dan bernyanyi riang melintasi ruangan.
“Ini kasih kami tiga saudara....Kami hidup berkasih mesra...Ini kisah tiga dara...tiga-tiga terpikat asmara...apakah daya kami yang bertiga.. dilamun cinta oh tiga dara...”
Itulah cuplikan film Tiga Dara yang diunggah di Youtube. Tidak seperti film-film lawas pada umumnya, adegan-adegan dalam cuplikan tersebut bisa kita saksikan dengan resolusi gambar yang tajam dan mulus. Berbagai detail terekam dengan sangat baik, mulai dari wajah para pemeran, latar belakang, hingga pakaian yang mereka kenakan.
Film karya Usmar Ismail ini baru saja melewati proses restorasi di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia. Lembaga tersebut merupakan satu-satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Restorasi Tiga Dara berlangsung selama tujuh bulan, dengan menghabiskan 2.500 jam reparasi digital dan biaya sekitar 2,5 miliar rupiah.
Berbeda dengan Lewat Djam Malam yang sepenuhnya dikerjakan di Italia, sebagian restorasi Tiga Dara yang mencakup pembersihan seluloid film dan digitalisasi sudah bisa dilakukan di Indonesia. Dua pegiat film asal Indonesia, Lisabona Rachman dan Lintang Gitomartoyo, merupakan tenaga lokal yang terlibat dalam restorasi ini.
Kondisi seluloid film bergenre drama-musikal ini sebelumnya terhitung parah. Seluloid film mengalami vinegar syndrome (proses kimiawi yang menurunkan kualitas seluloid dan menimbulkan bau menyengat), patah-patah di beberapa bagian, serta berjamur. Kondisi ini sempat menjadi tantangan tersendiri, meskipun akhirnya berhasil diatasi dengan baik.
“Anak Haram” Usmar Ismail
Tiga Dara seringkali dianggap sebagai salah satu film terbaik Usmar Ismail. Untuk ukuran masa itu, Tiga Dara memiliki standar estetika yang cukup tinggi dengan penggarapan yang tidak main-main. Beberapa nama besar turut dilibatkan ke dalamnya, seperti komponis kenamaan Ismail Marzuki yang menyumbangkan satu lagu tema, Max Tera (salah satu penata kamera terbaik Indonesia) sebagai kameramen, dan legenda dunia pertunjukan Indonesia, Bing Slamet, sebagai pengisi suara.
“Film itu kan memang rapih bukan main, ya. Aktornya bagus, musiknya bagus. Sinematografinya barangkali nggak perfect, tapi bagus,” papar Lisabona Rachman yang terlibat dalam restorasi Tiga Dara kepada Majalah Cobra edisi Maret 2012.
Saat beredar di bioskop, Tiga Dara juga sukses menangguk keuntungan yang cukup besar. Seperti diungkapkan Usmar Ismail dalam buku "Mengupas Film", Tiga Dara merupakan film produksi Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) yang terlaris. Tiga Dara berhasil membukukan penjualan sebesar 10 juta rupiah dan keuntungan bersih hingga 3 juta rupiah, jumlah yang terhitung tinggi untuk masa itu.
Tiga Dara sukses diputar selama delapan minggu berturut-turut dan menembus bioskop AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia), berdampingan dengan film-film Holywood. Film ini juga sukses memicu “demam tiga dara” lewat banyaknya kontes kecantikan“tiga dara” di berbagai wilayah Indonesia. Tiga Dara juga digunakan sebagai nama toko, minuman, hingga merek batik.
Di sisi lain, Usmar Ismail berkali-kali mengungkapkan ketidaksukaannya kepada Tiga Dara. Usmar Ismail, yang dikenal sangat idealis dan zakelijk dalam berkarya, menganggap Tiga Dara hanyalah film yang dibuat untuk tujuan komersial. Tiga Dara memang diproduksi saat Perfini—yang didirikan oleh Usmar Ismail—tengah mengalami kesulitan keuangan. Krisis Perfini disebabkan oleh gagalnya dua film Perfini yang mendahului Tiga Dara: Lagi-Lagi Krisis dan Tamu Agung (keduanya dirilis pada 1955).
Djadoeg Djajakusuma, sesama pendiri Perfini, turut menyampaikan kekesalan Usmar kepada Tiga Dara. “Usmar sangat malu dengan film itu. Niatnya menjual Tiga Dara ketika masih dalam tahap pembikinan memperlihatkan betapa beratnya bagi dia menerima kenyataan bahwa harus membuat film seperti itu,” ujarnya seperti dikutip dari buku "Profil Dunia Film Indonesia".
Pascapembuatan Tiga Dara, Usmar Ismail seakan diperah untuk memproduksi film-film yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Produksi Tiga Dara selanjutnya diikuti oleh peluncuran Delapan Pendjuru Angin dan Asmara Dara yang juga sukses secara komersial. Kedua film tersebut memiliki genre yang sama dengan Tiga Dara. Hati Usmar Ismail pun kian gusar.
”Meskipun uang masuk, Perfini toh tidak lagi membikin film-film seperti yang dicita-citakan Usmar semula,” imbuh Djajakusuma. Usmar Ismail memang tidak pernah menikmati sepenuhnya kesuksesan Tiga Dara.
Restorasi sebagai kebutuhan
Restorasi film, secara teknis, telah menjadi kebutuhan tersendiri bagi Indonesia. “Indonesia terletak di Asia Tenggara yang iklimnya tropis. Karena itu, faktor humidity (kelembaban) berpotensi merusak film apabila cara penyimpanannya tidak tepat,” ujar Budi Irawanto, dosen Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada dan Direktur Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) kepada tirto.id.
Seluloid film seharusnya disimpan pada suhu 9 hingga 12 derajat Celsius dan kelembapan antara 45 sampai 65 persen. Kedua kondisi itu harus dijaga agar tetap stabil. Dalam kondisi tersebut, seluloid bisa bertahan hingga 100 tahun.
Untuk menghindari kerusakan lebih lanjut, pemerintah Indonesia lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013 menggelar program digitalisasi 29 film klasik Indonesia. Beberapa judul yang turut dalam program ini antara lain Violetta karya sutradara Lekra, Bachtiar Siagian, Si Doel Anak Betawi karya Sjuman Djaja, dan Naga Bonar karya MT Risyaf. Di sisi lain, program digitalisasi ini juga menjadi bukti bahwa pemerintah sebenarnya gagal dalam menjaga film-film lawas kita.
“Restorasi selama ini dipandang sebagai rencana kontingensi setelah semua cara lain tidak bekerja dengan baik,” tandas Adrian Jonathan Pasaribu dari Cinemapoetica kepada Jakarta Post edisi Maret 2015.
Belajar, Bukan Bernostalgia
Saat itu tahun 2012. Penulis berkesempatan menonton Lewat Djam Malam, film pertama Indonesia yang berhasil direstorasi. Dalam satu adegan, terdengar sayup-sayup lagu “Potong Bebek Angsa” dimainkan.
“Potong bebek angsa...masak di kuali...nona minta dansa...dansa empat kali”.
Yang cukup mengherankan bagi penulis, ternyata lagu tersebut digunakan untuk mengiringi acara dansa pemuda-pemudi. Para pemuda dan pemudi yang berkelebatan di layar tampak sumringah menarikan berbagai macam pose dansa dengan diiringi lagu itu. Sesekali mereka bertukar tawa dan kerlingan mata.
Penulis dan sebagian besar penonton menggumam keheranan. Beberapa di antaranya bahkan tertawa. Sependek ingatan penulis—dan mungkin sebagian besar dari penonton-- lagu “Potong Bebek Angsa” umumnya dinyanyikan oleh anak usia TK atau playgroup. Lagu itu adalah lagu anak-anak. Tetapi, pada tahun '50an, lagu itu ternyata merupakan lagu pergaulan yang populer di kalangan anak muda.
“Yah itulah fungsi utama dari restorasi film sebenarnya. Sebagai upaya untuk mempertahankan nilai kesejarahan yang terkandung dalam film, sekaligus mengawetkan penanda jaman. Kita bisa secara gamblang menyaksikan aspek sosiologis dan antropologis dari masyarakat pada saat film itu dibuat,” papar Budi Irawanto.
Hal senada diungkapkan oleh Lisabona Rachman. Ia beranggapan, menonton film-film lama tidak bisa diartikan sebagai nostalgia. Nostalgia, menurutnya, hanya berlaku bagi mereka yang pernah mengalami secara langsung masa-masa yang terekam dalam film.
“Gue rasa bahkan orang-orang pingin lihat film di masa dulu karena pingin dapet inspirasi. Lagi-lagi ini bukan nostalgia, tapi kita pingin ngelihat yang di masa lalu buat masa yang akan datang. Dan gue pikir itu yang bikin orang minta lagi, minta lagi,” paparnya kepada Majalah Cobra edisi Maret 2012.
Di sisi lain, Windu Jusuf, kritikus film dari Cinemapoetica menjabarkan alasan lain yang lebih romantik. “Kenangan, mas. Film itu, khususnya yang pop, itu kan bagian dari memori kultural,” bebernya sendu kepada Tirto.id.
Penulis sempat meminta kedua narasumber untuk menyebutkan satu judul film yang menurut mereka layak direstorasi.
“Waduh, susah ya. Banyak film yang saya tidak tahu apakah seluloidnya masih ada,” ungkap Budi Irawanto. “Gini deh, kalau saya pribadi ingin supaya kita bisa mendapatkan film-film di era '50an sampai '60an. Pada masa-masa itu, iklim seni dan politik sangat bebas dan dinamis. Kondisi itu belum tercemar polarisasi politik yang belakangan muncul waktu Demokrasi Terpimpin. Intinya, kita tidak banyak tahu tentang iklim kesenian dan masyarakat di masa itu. Nah, ini yang menarik untuk dicari tahu,” pungkasnya.
Jawaban berbeda disampaikan oleh Windu Jusuf.
“Kalo aku pengen nonton Turang. Itu film Bachtiar Siagian tahun 1957. Kenapa menarik? Karena film itu adalah hasil kerja sama antara Lekra dan TNI, dalam konteks politik Sumatera Utara masa itu yang sangat kompleks," bebernya bersemangat.
Sebagai catatan, Lekra dan TNI kelak dikenal memiliki ideologi dan posisi politik yang berseberangan, khususnya menjelang peristiwa Gerakan 30 September pada 1965. Lekra akhirnya diberangus bersamaan dengan banyak elemen kiri melalui inisiatif pihak militer.
Di sisi lain, menurut Windu, film Turang adalah film yang langka. "Film itu kental nuansa realisme-sosialisnya. Nah kita kan selama ini nggak tahu corak realisme sosialis yang berkembang di Indonesia pada masa itu,” imbuhnya.
Sebelum mengakhiri pembicaraan, tiba-tiba pria yang akrab disapa mas Ndundu itu teringat satu judul lagi.
“Oh...satu lagi. Aku pengen nonton Tragedi Tante Sexy.”
Hingga saat ini, saya masih gagal mencari judul film yang ia maksud.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti