Menuju konten utama

Mencari Jejak Film Nusantara

Loetoeng Kasaroeng adalah film yang pertama kali dibuat di Indonesia. Namun, sejarah Film Indonesia tak bisa lepas dari Usmar Ismail dan filmnya, Darah dan Doa. Darah dan Doa boleh jadi tonggak film nasional. Namun, film itu bukanlah film pertama di Indonesia. Membuat film di era modern bagai dua sisi mata uang yang berbeda, tak bertemu antara kualitas dan selera pasar.

Mencari Jejak Film Nusantara
Ilustrasi FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - Darah dan Doa adalah film pertama yang diproduksi Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film ini berkisah tentang pejuang revolusi Indonesia yang jatuh cinta dengan gadis Jerman. Usmar Ismail dan kru mulai syuting pada 30 Maret 1950. Pemerintah kemudian menetapkan tanggal mulainya syuting ini sebagai Hari Film Nasional. Belakangan Usmar Ismail pun didaulat sebagai Bapak Film Nasional.

Film ini dijadikan perhatian karena mengambil pendekatan unik, yakni tidak memakai aktor profesional. Pendekatan ini dianggap mencontoh gaya neo realisme film-film Italia pada masa itu.

"Usmar Ismail mengambil orang-orang jalanan untuk jadi pemain dalam filmnya. Seperti Del Yuzar, Awaludin Djamin (kelak Kapolri), Aedy Moward," tulis Rosihan Anwar dalam naskah Pengantar Pada Pertunjukkan Filem Retrospektif Usmar Ismail.

Meski lahir setelah kemerdekaan, Darah dan Doa tidak semata bicara soal heroiknya revolusi. Film ini bercerita tentang prajurit Siliwangi yang harus melalui perjalanan panjang ke Jawa Barat, setelah Yogya diserang dan diduduki Belanda. Namun, film tidak berkisah tentang perjuangan hijrah prajurit, melainkan sosok Kapten Sudarto yang terlibat cinta dengan dua gadis dalam perjalanannya.

Usmar memiliki cara pendekatan berbeda dalam menggambarkan revolusi. Jika dalam Darah dan Doa dia menggambarkan revolusi dan kisah cinta, maka melalui Djam Malam (1954) dan Anak-Anak Revolusi (1964), dia menggambarkan revolusi dan kritik sosial.

Dari ketiga film itu, Usmar tak menggambarkan pejuang dan bekas pejuang sebagai sosok sempurna. Usmar tampaknya enggan membuat cerita film yang klise, agar menghasilkan karya yang bermutu.

Mana Yang Pertama

Darah dan Doa boleh jadi tonggak film nasional. Namun, film itu jelas bukan film pertama di Indonesia. Bioskop gambar idoep pertama sudah ada sejak 5 Desember 1900 di Batavia. Sedangkan film Indonesia pertama adalah Loetoeng Kasaroeng yang dibuat pada 1926. Wujudnya masih berupa film bisu dengan gambar hitam putih saja.

Film ini diproduksi NV Java Film Co yang didirikan L Heuveldorp, warga Belanda totok Batavia (warga Belanda yang lama tinggal di Batavia) yang konon pernah bekerja dan belajar film di Amerika Serikat. Heuveldorp bertindak sebagai sutradara. Dia bekerja sama dengan G Krugers, Kepala Laboratorium Java Film yang sekaligus merangkap sebagai juru kamera. Krueger juga merupakan ipar F.A.A Buse, penguasa bioskop berpengaruh di Bandung.

Uniknya, meskipun sutradara, juru kamera, produser, dan kru lain adalah orang Belanda, penyunting film dan penanggung jawah sinematografinya adalah Muharam Wiranatakusmah V, Bupati Bandung kala itu. Para pelakon dalam film ini adalah orang-orang Indonesia. Di antara para pemain terdapat anak-anak sang Bupati juga. Bantuan Bupati Wiranatakusumah sangat besar dalam film itu.

Dia membantu menyediakan lokasi syuting di rumah Sunan Ambu, sekitar 2 kilometer arah barat Padalarang. Film ini dirilis 31 Desember 1926. Nampaknya, karena sutradara, juru kamera, dan produser bukan orang Indonesia film ini kerap dianggap bukan film nasional. Namun, pengamat film J.B Kristanto memposisikan film itu sebagai film Indonesia pertama.

"Loetoeng Kasaroeng adalah film cerita pertama yang menampilkan cerita asli Indonesia," kata Kristanto dalam bukunya Katalog Film Indonesia 1926-2005.

Lutung Kasarung, cerita rakyat masyarakat Sunda itu adalah cerita rakyat Indonesia pertama kali yang difilmkan. Heuveldorp barangkali orang film pertama yang membidik pasar golongan bawah rakyat pribumi dan keturunan Tionghoa. Itulah kenapa dia memilih cerita rakyat lokal sebagai ide cerita filmnya. Namun pemilihan cerita rakyat Sunda ini juga berdampak pada sempitnya pangsa pasar yang hanya berkisar di sekitar Bandung saja. Menurut Kristanto, film Indonesia terlaris pertama pada jaman Hindia Belanda adalah Terang Boelan karya Albert Balink pada 1937.

Karya Bermutu Generasi Baru

Apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail dalam film-filmnya seharusnya dilanjutkan oleh generasi muda sutradara film Indonesia. Sumandjaja, sutradara kondang yang film-filmnya berjaya pada 1970-an, selalu berusaha membuat film yang membuat penontonnya jadi pintar. Meski tak semua laris bak kacang goreng.

Beberapa film Sumandjaja, sebetulnya punya cerita yang sederhana tapi realis. Dia pernah membuat Si Doel Anak Betawi (1972), Si Doel Anak Modern (1976), dan Yang Muda Yang Bercinta (1976). Pembuat film yang satu angkatan dengan Sumandjaja adalah Teguh Karya. Sebagian orang yang muda di dekade 1970-an, barangkali pernah menonton Kawin Lari (1974), Badai Pasti Berlalu (1977) atau November 1928 (1978). Semua lahir dari tangan dingin Teguh Karya.

Deretan film mereka sering dianggap sebagai panutan bagi banyak pembuat film di Indonesia. Meski film-film Indonesia masa kini dinilai mengalami kemerosotan, selalu ada usaha-usaha untuk membuat film yang bagus.

Sayangnya, usaha untuk membuat film Indonesia yang bagus masih mempunyai banyak hambatan. Masalah klasik adalah pertentangan antara idealisme dan selera pasar. Belum lagi kalau bicara tentang persaingan dengan film-film Hollywood yang merajai layar bioskop di Indonesia.

Karena itu kita masih bisa menghitung jari film-film Indonesia berkualitas bagus yang laris di pasaran selama 20 tahun terakhir. Antara lain Petualangan Sherina (1999), Ada Apa Dengan Cinta (2001), Janji Joni (2005), Laskar Pelangi (2008), hingga Soegija (2012).

Berita baik justru datang dari beberapa film independen yang kerap tak mendapat layar di bioskop jaringan namun berjaya di festival-festival film bergengsi di luar negeri. Seperti Postcard From the Zoo (2012) yang menjadi film unggulan dalam Berlin Film Festival ke 62. Atau What They don’t Talk About When They Talk About Love (2013), film Indonesia pertama yang diputar di festival film terbesar, Sundance. Yang terbaru, film Maryam karya Sidi Saleh menyabet penghargaan Best Short Film di festival film internasional tertua di dunia, Venice Film Festival ke 71.

Membuat film di Indonesia era modern memang bagai dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, ada banyak kemudahan peralatan dan teknologi. Di sisi lain, para pembuat film masih harus berkutat dengan masalah klasik: tak kunjung bertemunya antara kualitas dan selera pasar.

Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan lainnya

tirto.id - Film
Reporter: Petrik Matanasi