Menuju konten utama

Puji Sanjung Masa Lalu bagi Kota Bandung

Bandung menuai banyak pujian dan selalu dapat menarik minat banyak orang untuk datang dan singgah.

Puji Sanjung Masa Lalu bagi Kota Bandung
Header Mozaik Sanjungan Kota Bandung. tirto.id/Mojo

tirto.id - Saat ini, Kota Bandung sering jadi percakapan yang cukup ramai di sosial media. Beberapa anggota masyarakat dan pengamat membicarakan kondisi kota yang menyedihkan, seperti tata kota, transportasi, penerangan jalan, sampah, hingga senantiasa banjir saat hujan.

Percakapan di dunia maya ini berbanding lurus dengan hasil survei Daftar Kota Berkelanjutan di Indonesia yang dirilis oleh UI GreenMetric pada bulan Juli 2022. Dalam daftar itu, Kota Bandung tidak masuk sebagai kota yang berkelanjutan.

Menurut Ketua UI GreenMetric, Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, M.M., M.Sc., dalam “Pengumuman dan Pemberian Anugerah UI Greencitymetric Rankings 2022” pada Kamis (21/07), pemeringkatan kota/kabupaten pertama di Indonesia ini dilandasi atas tiga pilar, yakni Lingkungan Hidup, Ekonomi, dan Sosial.

Bobot indikator penilaiannya terdiri dari Penataan Ruang dan Infrastruktur, Energi dan Perubahan Iklim, Tata Kelola Sampah dan Limbah, Tata Kelola Air, Akses dan Mobilitas, Tatapamong/Governance.

Segala cerita buruk dan citra suram dari Kota Bandung belakangan ini tentu saja sangat kontras dengan keadaan Kota Bandung di masa lalu. Kota yang lahir pada 1810 ini mendapat begitu banyak pujian dan sanjungan di masa silam.

Di samping posisi Bandung yang berada di dataran tinggi dan mempunyai iklim yang sejuk, penataan kota yang apik menjadi daya tarik bagi orang Eropa. “Europe in de Tropen” begitu mereka memberi julukan saat itu.

Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, Haryoto Kunto bercerita bagaimana Hendrik P. Berlage, salah satu arsitek masyhur Belanda, memperkenalkan Kota Bandung dalam Congres Intenationaux d’Aarchitecture Moderne (CIAM) yang diselenggarakan di Swiss pada 1928. Arsitek dengan reputasi internasional ini menyebut Bandung sebagai prototipe “Kota Kolonial”, sebagai kota yang paling semarak dan terencana dengan baik.

Menjelang akhir abad ke-19, Kota Bandung masih dianggap sebagai sebuah desa pegunungan yang kecil dan sederhana. Keadaan ini berubah ketika kereta api memasuki Bandung pada tahun 1884. Moda transportasi darat ini memungkinkan orang-orang lebih mudah mengakses kota di pedalaman Priangan ini dan membantu dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sana.

Penunjukan R.A.A. Martanegara sebagai bupati Bandung pada 1893 merupakan titik penting lain dalam sejarah perkembangan Kota Bandung. Bupati Martanegara berhasil memodernisasi Kota Bandung dengan melakukan perubahan-perubahan fisik di sana. Karena telah membantu mengembangkan Bandung menjadi lebih modern, Bupati R.A.A. Martanegara mendapat julukan sebagai "Bapak modernisasi Bandung"

Menjelang tahun 1920-an, Kota Bandung mengalami kemajuan karena didorong keadaan ekonomi kota yang membaik, termasuk meningkatnya permintaan komoditas ekspor seperti teh, kopi, dan kina. Indikasi ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah tabungan para nasabah di Bank De Eerste Nederlandsch-Indische Spaarkas en. Hypotheekbank (DENIS). Jumlah tabungan nasabah Bank DENIS dalam kurun tahun 1925 sampai 1930 meningkat hampir 900 persen.

Karena perkembangan pesat, plus iklimnya yang sejuk dan dinilai sehat, Bandung sempat dicalonkan sebagai ibukota pengganti Batavia. Orang-orang Belanda bahkan melihat Bandung sebagai ibukota masa depan Hindia Belanda.

Sekitar tahun 1915, penataan kota di Bandung dirumuskan dalam konsep rancangan "Master Plan Gemeente Bandoeng 1918-1923". Rancangan tersebut mungkin merupakan upaya untuk menata kota Bandung agar lebih terorganisir dan terstruktur, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi masyarakat yang tinggal di sana. Sejak saat itu pembangunan kompleks perumahan dan taman-taman mulai dilakukan secara masif.

Infografik Mozaik Sanjungan Kota Bandung

Infografik Mozaik Sanjungan Kota Bandung. tirto.id/Mojo

Untuk menata kota saat itu, pemerintah kota berkolaborasi dengan beberapa pihak. Dengan perusahaan kereta api misalnya. Staatsspoorwegen sebagai perusahaan kereta api di Bandung membangun rel ganda antara Stasiun Padalarang dan Kiaracondong di pertengahan tahun 1920-an.

Di saat yang sama, mereka membangun Viaduct Pasirkaliki dan membangun stasiun Bandung Gudang. Pembangunan ini bertujuan untuk memperlancar mobilitas masyarakat dan barang yang diangkut menggunakan jasa kereta api.

Lalu juga ada kolaborasi antara pemerintah kota dan komunitas lokal, terutama Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken (Perkumpulan kesejahteraan masyarakat Bandung dan Sekitarnya). Komunitas yang kelak bernama Bandoeng Vooruit (Bandung Maju) ini bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan kebudayaan.

Perkumpulan ini menjadi rekanan pemerintah kota Bandung untuk membangun, menata, dan membenahi kota untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bandung. Komunitas ini banyak berjasa dalam pembangunan kota, termasuk bidang pariwisata. Menurut Rahmia Nurwulandari dan Kemas Ridwan Kurniawan, Bandung merupakan salah satu tujuan favorit para wisatawan di Hindia Belanda.

Di tahun 1917, Komite Bagi Pelestarian Alam Wilayah Kota Bandung dibentuk. Komite ini dipimpin oleh van Leeweun dengan anggotanya seperti K.A.R. Boscha dan W.H. Hoogland. Komite ini sempat bertanggung jawab untuk mengelola kawasan perbukitan Dago Atas dan mengubahnya menjadi museum terbuka alam Sunda.

Sayangnya, usaha untuk mengonservasi kawasan ini terhalang oleh gerak pemerintah kota yang mendirikan instalasi pembangkit listrik dan reservoir air ledeng. Komite ini akhirnya sulit untuk mencegah masuknya penduduk yang membuat pemukiman baru dalam kawasan tersebut.

Keadaan kota Bandung yang asri, indah, dan permai membuat orang Belanda menyebutnya sebagai surga. “Bandoeng is het paradijs der aardche schoonen, daarom is het goed daar te wonen”, ujar mereka. Kalimat ini mempunyai arti kurang lebih: “Bandung adalah sorga permai di atas dunia, oleh sebab itu, tingallah di sana”. Julukan ini selevel dengan julukan lain bagi kota Bandung, Garden of Allah.

Julukan bagi Bandung yang bertahan sampai sekarang adalah Bandung Kota kembang. Julukan ini berasal dari frasa Bandoeng Bloemenstad. Dalam satu tulisan di majalah Mooibandoeng, julukan ini muncul di Bandung karena bunga dapat ditemui di setiap sudut kota. Bahkan, bunga menjadi salah satu paket yang banyak dikirim melalui pesawat komersil ke Batavia. Tuinstad atau Kota Taman, begitulah Dr. W. Roosmale Nepveu Walikota Apeldoorn memberi julukan kepada Bandung di tahun 1936.

Selain Kota kembang, julukan buat Kota Bandung yang masih bertahan sampai saat ini adalah Parijs van Java. Menurut Haryoto Kunto, julukan Bandung sebagai Parijs van Java muncul di pasar malam tahunan “Jaarbeurs”. Julukan ini diangkat oleh pemilik toko mebel dan interior rumah, Tuan Roth, sebagai bagian dari promosi barang dagangannya. Julukan ini semakin melekat tatkala K.A.R. Bosscha sering mengutip frasa ini dalam pidato-pidatonya.

Seiring bertambahnya usia kota, Kota Bandung banyak menghadapi tantangan dan perubahan. Kepada Pikiran Rakyat, Ketua Komunitas Bidang Ilmu Arsitektur Kota dan Desain Perkotaan, Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Yohannes Karyadi Kusliansjah mengatakan, kebijakan tata ruang Kota Bandung terkesan tumpang tindih antara penataan secara tradisional sebelum kolonialisme, penataan zaman kolonialisme, lalu penataan pada setiap era pemerintahan yang berkuasa. Satu solusi yang diberikan adalah Kota Bandung harus segera berbenah diri mengimbangi percepatan pertumbuhan kota.

Saat berusia satu abad, Kota Bandung rajin bersolek dan memperindah diri. Bandung menuai banyak pujian dan selalu dapat menarik minat banyak orang untuk datang dan singgah. Saat berusia dua abad, Bandung kehilangan gairahnya untuk bersolek. Jangankan membuat diri makin rupawan, Kota Bandung terlihat enggan mengurus diri sendiri, sehingga terlihat renta, memiliki banyak masalah, dan makin tertinggal di antara kota-kota lainnya di Pulau Jawa.

Apakah kini, Bandung akan segera dijuluki kota seribu masalah?

Baca juga artikel terkait SEJARAH BANDUNG atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Nuran Wibisono