tirto.id - Sebagai salah satu bahasa yang paling banyak digunakan bangsa Tionghoa di Asia Tenggara, baik pada masa lalu maupun kiwari, perhatian terhadap kajian bahasa Hokkien masih minim. Padahal, jumlah etnis Tionghoa Hokkien diperkirakan 1 persen dari penduduk Indonesia atau 2 sekitar juta jiwa.
Hingga saat ini, belum ada kamus representatif Hokkien-Indonesia atau Hokkien-Melayu yang bisa dijadikan rujukan untuk mempelajari bahasa ini. Bahkan cukup sulit untuk menemukan kamus Hokkien-English, walaupun penyusunan kamus semacam itu beberapa kali telah dilakukan pada abad ke-19.
Misalnya karya Walter Henry Medhurst (A Dictionary of the Hok-këèn Dialect of the Chinese Language, terbit 1832), tulisan misionaris Elihu Doty (Anglo-Chinese Manual with Romanized Colloquial in the Amoy Dialect, terbitan 1853) dan karya Carstairs Douglas (Chinese-English of the Vernacular or Spoken Language of Amoy, terbit 1873).
Kamus paling baru untuk dijadikan rujukan adalah Penang Hokkien Dictionary oleh Luc de Gijzel, terbitan 2013. Kemudian, satu kamus lain yang juga bisa diunduh bebas adalah Practical English–Hokkien Dictionary (1950) oleh Chiang Ker Chiu.
Namun, dalam konteks sejarah Hindia Belanda, ada satu usaha penyusunan kamus Hokkien yang telah luput dari perhatian banyak orang. Kamus Hokkien-Belanda ternyata pernah diupayakan oleh Het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga milik Kerajaan Belanda ini fokus menggali kekayaan alam dan budaya Hindia Belanda secara ilmiah dengan pengetahuan paling modern di masa itu.
Didirikan pada 24 april 1778, asosiasi ini beberapa kali pindah markas. Awalnya berada di Het Huis Reinier de Klerk (sekarang Gedung Arsip Nasional), lalu di masa Thomas Stamford Raffles dipindah ke bangunan di belakang sociëteit De Harmonie, kemudian ke gedung baru di Koningsplein (Medan Merdeka, Jakarta).
Kamus yang dimaksud berjudul Chineesch-Hollandsch Woordenboek van het Emoi Dialekt, karangan J. J. C. Francken dan C. F. M. de Grijs, diterbitkan oleh Landsdrukkerij di Batavia pada 1882. Kata Emoi dalam kamus tersebut merujuk kepada bahasa Hokkien dialek Emoi (Amoy).
Motif Penyusunan Kamus
Penyusunan kamus Hokkien yang cukup spesifik tersebut lahir dari kebutuhan yang bersifat praktis. Meski tidak menyebut misi sesungguhnya secara eksplisit, kemungkinan ada unsur politis di samping murni ilmiah untuk mempelajari bahasa etnis Tionghoa yang paling banyak dipakai di Hindia Belanda kala itu.
Sebab, bangsa Tionghoa dari beragam etnis (Hokkien, Hakka, Kanton, Teochew dan Hainan) berperan besar dalam perdagangan, sosial budaya, bahkan politik di Hindia Belanda pada abad ke-19. Menjadi karakter Pemerintah Hindia Belanda untuk mempelajari suku-suku bangsa di wilayahnya agar dapat dipahami hingga dikendalikan dengan lebih baik.
Pada 1856, salah seorang penulis kamus tersebut (C. F. M. de Grijs ) dikirim dari Batavia ke Cina untuk belajar bahasa Cina. Karena dia mengetahui kebanyakan orang Cina di Jawa dan sekitarnya berasal dari Emoi (Amoy), dia memutuskan untuk tinggal di Emoi, yakni kota Xiamen sekarang, Provinsi Fujian, guna mendalami bahasa dialek sana.
Beberapa tahun kemudian, J. J. C Francken dan G. Schlegel menyusul untuk tujuan yang sama. Namun, mereka semua terkendala ketiadaan kamus Amoy yang memadai. Karya Douglas tahun 1873 tentu belum terbit saat itu. Oleh karena itu, mereka pelan-pelan menyusun kosakata dari sejumlah penerjemah pribumi dalam lidah mereka sendiri.
Selain itu, mereka juga merujuk karya Elihu Doty dan Medhurst. Sekembalinya ke Jawa, para penerjemah bahasa Hokkien tempatan membantu mereka semakin memperkaya kosakata dan pemahaman akan bahasa Amoy Hokkien. Khususnya J. J. C Francken begitu bersemangat untuk menyusun kamus representatif Hokkien-Belanda, dia menghabiskan banyak waktu di Surabaya bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat Cina.
Sayangnya, Francken keburu meninggal sebelum menuntaskan publikasi, sehingga kerjanya dilanjutkan oleh Dr. Schlegel. Yang terakhir ini pun akhirnya pulang ke Eropa, sehingga Presiden Het Bataviasch Genootschap meminta de Grijs untuk melakukan publikasi kamus ini secara tuntas.
Keunggulan Kamus Hokkien-Belanda
Dalam pandangan penulis kamus, bahasa Emoi bukan lagi dialek, tapi sudah bisa disebut bahasa (Emoi-taal), dan terdiri dari belasan dialek di antaranya Tsiang-tsiu, Tsin-tsiu, Tang-oa dan Tai-wan. Dalam pengantarnya, penyusun kamus menyampaikan bahwa dalam bahasa Emoi ada bunyi (im), tulisan (dzi) dan pengucapan, kemudian ada karakteristik bunyi nasal dan aspirasi.
Hal berikutnya yang menjadi karakteristik dari seluruh bahasa Cina adalah ragam nada. Dalam pandangan penyusun, seluruh bahasa Cina pada dasarnya memiliki 4 nada (tinggi-datar, naik, melengkung dan nada jatuh). Namun, dalam bahasa Emoi, 4 nada itu dipecah hingga menjadi total 8 corak nada: tsiu pia (tinggi datar), e pia (rendah datar), tsiu tsia (tinggi-tinggi), e tsiu (rendah-rendah), tsiu kiu (menaik), e ki (me-nurun), tsiu dzip (naik lalu turun) dan e dzip (turun lalu naik).
Jika dibandingkan dengan kamus-kamus Hokkien lainnya dalam bahasa Eropa lain, yakni Inggris, maka kamus Hokkien-Belanda ini dapat dikatakan lebih baik. Jumlah halamannya mencapai 796, dengan huruf-huruf cukup kecil sehingga bisa 42 baris halaman dalam dua kolom.
Meskipun Medhurst memiliki halaman 900-an, tapi yang terakhir ini memiliki huruf besar-besar, sehingga rerata hanya 35 baris per halaman. Tambahan lagi, 80 halaman pertama kamus Medhurst hanya berisi pendahuluan. Banyaknya kutipan puisi lama membuat karya Medhurst kurang kontekstual.
Dan dibanding kamus Doty yang hanya 200-an halaman, Chiang Ker Chiu 98 halaman atau yang paling modern Luc de Gijzel 500-an halaman, jelas kamus Hokkien-Belanda memuat lema paling banyak. Yang bisa menyaingi hanyalah kamus susunan Douglas, tapi yang terakhir ini tidak memberikan karakter Cina tiap kata sama sekali, sehingga rentan menimbulkan kesalahpahaman.
Kata-kata dalam bahasa Emoi dalam kamus Hokkien-Belanda itu disusun menurut abjad, mulai dari A, dengan frasa-frasanya dan konteks kata dalam ungkapan dan kalimat lalu disertai terjemahan dalam bahasa Belanda.
Penulis juga memberikan karakter Cina seluruh kata yang diterjemahkan dengan menggunakan ortografi yang berbeda dari yang dipakai para penyusun kamus Hokkien-Inggris seperti Medhurst dan Doty, yang terakhir ini mengkreasikan ortografi khas gereja yang disebut Pe̍h-ōe-jī.
Tiap kata yang diterjemah Grijs dan rekan-rekan juga diberi konteks, misalnya kata ang (ortografinya kita buat simpel), berarti suami, juga bisa nama famili, dan jika difrasakan dengan kata lain: ang bo/ ang po berarti suami istri, ang kong gambar dewa.
Penyusun juga memberi makna penerapannya dalam ungkapan, seperti ke ang tsiah ang (artinya: jika perempuan nikah, maka biayanya ditanggung suami) dan ho ang ho tit to (bij een goeden man is men gelukkig: sungguh beruntung memiliki suami yang baik) serta pai ang put dzu bo (lebih baik tak bersuami daripada dapat suami berkarakter jelek).
Urgensi Kamus dan Tata Bahasa Hokkien Baru
Denganmengambil sumber para penutur Hokkien di Cina dan Hindia Belanda pada waktu bersamaan, kamus Hokkien ini menjadi sangat berharga dalam memahami kaitan etnis Cina di tempat asal dan perantauan Hindia Belanda, dari segi bahasa dan aspek kehidupan sehari-hari.
Kamus itu juga bisa jadi rujukan valid bagaimana etnis Cina Emoi memahami dunianya di akhir abad ke-19, yang boleh jadi mengalami perubahan-perubahan cara pandang hingga keturunan sekarang.
Meski belum diketahui sejauh mana orang-orang Hokkien memanfaatkan kamus itu untuk belajar bahasa Belanda, atau sebaliknya belajar Hokkien lewat bahasa Belanda, tapi tidak mengurangi signifikansi karya tersebut.
Antara lain sebagai imbas dari kebijakan politik di masa lampau (Orde Baru), semakin sedikit etnis Hokkien Indonesia yang dapat berkomunikasi atau bahkan sekadar memahami bahasa yang sejatinya menjadi identitas mereka.
Bangsa Tionghoa di Malaysia, misalnya, merasa heran betapa fasihnya orang-orang Cina dari Indonesia dalam berbahasa Indonesia, kebalikan dengan mereka yang banyak masih canggung berbahasa Melayu.
Namun, apabila diajak untuk komunikasi dalam bahasa etnis mereka, seperti Hokkien, akan terlihat bahwa bagi kebanyakan orang Cina Indonesia, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa komunikasi sehari-hari, baik di rumah maupun di lingkungan tinggal dan kerja.
Akhir-akhir ini memang terjadi peningkatan antusiasme untuk belajar bahasa Mandarin, tapi tentu mereka menyadari nenek moyang mereka bukanlah berbahasa ibu bahasa Mandarin.
Kamus Hokkien Emoi-Belanda sebagai upaya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dan dikerjakan belasan tahun tentu sangat sayang jika hanya disia-siakan.
Fakta keberadaan kamus ini kiranya dapat menjadi pendorong bagi mereka yang peduli melestarikan bahasa Hokkien untuk menyusun kamus Hokkien-Indonesia yang paling update, dengan ortografi modern, selain ikut merujuk berbagai kamus Hokkien-Inggris dan Hokkien-Mandarin yang telah ada.
Selain itu, juga bisa diupayakan penyusunan buku tata bahasa Hokkien dalam bahasa Indonesia. Sebab, bahasa ini bukan bahasa masa lalu, tapi bahasa yang masih dipakai sehari-hari oleh lebih dari tiga puluhan jutaan bangsa Tionghoa di Asia Tenggara, Cina Daratan dan Taiwan.
Memahaminya menjadi relevan tidak hanya bagi etnis Hokkien, tapi juga bagi mereka yang ingin mempelajarinya sebagai salah satu bahasa asing yang strategis.
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi