Menuju konten utama
Mozaik

Cerita di Balik Tetenger Pergerakan Nasional di Solo dan Padang

Selain bermuara pada proklamasi kemerdekaan, era pergerakan nasional juga meninggalkan sejumput tengara berupa tugu peringatan di Surakarta dan Padang.

Cerita di Balik Tetenger Pergerakan Nasional di Solo dan Padang
Header mozaik tugu pengingat pergerakan nasional. tirto.id/Tino

tirto.id - Pergerakan nasional merupakan babak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Di luar gagasan para tokohnya yang menghablur dan melahirkan kemerdekaan, fase ini juga ditandai dengan hadirnya tinggalan fisik berupa tugu sebagai pengingat, yang sampai kiwari keberadaannya masih terjaga, yakni Tugu Lilin Surakarta dan Tugu Jong Sumatranen Bond.

Sebelum Indonesia merdeka, hari lahir Budi Utomo sebagai cikal bakal pergerakan kebangsaan Indonesia sudah diperingati. Hal itu diketahui dari sebuah prasasti yang terdapat pada sebuah tugu di daerah Penumping, Laweyan, Surakarta.

Pada badan tugu yang berbentuk lilin tersebut terdapat prasasti bertuliskan "Tugu Kebangkitan Nasional. Peringatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, 25 Tahun, 20 Mei. 1908-1933."

Masyarakat Surakarta mengenal tugu ini dengan sebutan Tugu Lilin, sesuai dengan bentuknya yang menyerupai lilin dengan api yang menyala di bagian atasnya.

Keberadaan tugu ini tidak lepas dari Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Organisasi ini didirikan pada 1927 dan terdiri atas gabungan beberapa organisasi politik.

"Sukarno berhasil membentuk badan politik Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada tanggal 17 Desember 1927," tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan I (2008, hlm. 291). Tujuan Sukarno membentuk PPPKI adalah demi persatuan dan kesatuan di antara para perkumpulan pemuda.

Selanjutnya pada 1933, PPPKI mengadakan rapat di Surakarta. Dalam rapat itu muncul satu gagasan pembuatan tetenger untuk memperingati dimulainya pergerakan kebangsaan yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo.

Gagasan ini mendapatkan sambutan yang positif dari para anggota PPPKI. Setelah itu, PPPKI membentuk panitia untuk mengurus pembuatan tetenger tersebut. Panitia ini mengadakan sayembara untuk mencari rancangan tugu yang akan dibangun.

Panitia lalu memilih rancangan tugu berbentuk lilin yang dibuat oleh Ir. Soetedjo. Menurut Bambang Eryudhawan dalam buku 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Jejak Boedi Oetomo: Peristiwa, Tokoh dan Tempat (2008), bentuk tugu rancangan Ir. Soetedjo menggambarkan kekuatan, sementara lilin memiliki arti sebagai penerang jalan. Namun, usaha untuk membangun tugu peringatan ini tidak mudah karena berbagai hambatan.

Pertama, tugu gagal dibangun di kota-kota besar sampai akhirnya diputuskan dibangun di Surakarta. Lain itu, Pemerintah Hindia Belanda juga menolak rencana pembangunan tugu tersebut.

Bahkan Sri Susuhan Pakubuwono X yang mendukung pembangunan tugu sampai harus membicarakan masalah ini dengan Gubernur Jenderal Bonaficus Cornelis de Jonge. Hal ini membuat rencana pembangunan tugu yang awalnya akan dilakukan pada Desember 1933 menjadi mundur, seperti diwartakan Soerabaijasch Handelsblad edisi 22 Desember 1933.

Di tengah segala hambatan, pembangunan tugu tetap dilanjutkan hingga akhirnya selesai pada Oktober 1934 dengan nama "Toegoe peringatan pergerakan kebangsaan 1908-1933”.

Rupanya, nama tugu tersebut kembali ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda dan meminta nama tugu diganti. Lagi-lagi Sri Susuhan Pakubuwono X kembali bertemu dengan Gubernur Jenderal Bonaficus Cornelis de Jonge sampai akhirnya usulan penggantian nama mau tidak mau harus disetujui.

Akhirnya, nama tugu diubah menjadi "Toegoe Peringatan Kemadjoean Ra’jat 1908-1933" sampai akhirnya dikenal dengan nama Tugu Kebangkitan Nasional. Lalu pada 1953, tugu ini dijadikan sebagai lambang Kota Surakarta.

Kehadiran Jong Sumatranen Bond

Masa pergerakan nasional diwarnai berbagai macam organisasi, termasuk organisasi kepemudaan, salah satunya Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini didirikan oleh para pemuda dan pelajar dari Sumatra yang ada di Batavia pada 9 Desember 1917. Pendiriannya digagas oleh Muhammad Anas, Tengku Mansur, dan Alinudin.

Eddy Suwardi dalam tesisnya di Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Jong Sumatranen Bond: Dari Nasionalisme Etnik Menuju Nasionalisme Indonesia (2007), setidaknya menyebut tiga tujuan didirikannya Jong Sumatranen Bond.

Pertama, sebagai sarana untuk memperkokoh hubungan sesama pelajar Sumatra di Batavia. Kedua, untuk menanamkan kesadaran bahwa mereka (para pemuda dan pelajar) kelak akan menjadi pemimpin. Ketiga, untuk membangkitkan perhatian terhadap adat istiadat, seni, bahasa, kerajinan, pertanian, dan sejarah Sumatra.

infografik mozaik tugu pengingat pergerakan nasional

infografik mozaik tugu pengingat pergerakan nasional. tirto.id/Tino

Pengurus Jong Sumatranen Bond yang terpilih segera membentuk cabang organisasi di berbagai kota dan menambah jumlah anggota. Usaha itu dilakukan dengan memanfaatkan para anggota aktif di Batavia untuk memberikan informasi keberadaan Jong Sumatranen Bond di daerahnya masing-masing.

"Para anggota yang kembali ke daerahnya masing-masing, diharuskan membawa kabar atau melakukan propaganda ke daerah asalnya dengan sasaran untuk mengembangkan organisasi ini melalui pembukaan cabang-cabang," tambah Eddy.

Hasilnya, dalam waktu sekitar satu tahun setelah berdiri, Jong Sumatranen Bond memiliki 9 cabang di berbagai kota dengan jumlah anggota yang cukup banyak.

Dalam buku Jong Sumatranen Bond, Perjuangan dalam Membangun Persatuan (1917-1931) (2010), disebutkan cabang Batavia memiliki 138 anggota, cabang Sukabumi 17 anggota, Buitenzorg (Bogor) 30 anggota, Padang 37 anggota, Fort de Kock atau Bukittinggi 126 anggota, Serang 48 anggota, Medan 12 anggota, Purworejo 7 anggota, dan Bandung 4 anggota. Selanjutnya pada 4-9 Juli 1919, Jong Sumatranen Bond mengadakan kongres yang pertama di Padang.

Tugu Peringatan Kongres Pertama JSB

Pada kongres pertamanya, Jong Sumatranen Bond membahas berbagai isu yang terkait dengan organisasinya dan pemuda. Tak hanya itu, pada akhir kongres mereka juga mendirikan satu tugu peringatan.

"Pidato penutupan [kongres] dilakukan sekitar pukul 12. Kemudian dilakukan prosesi di Lapangan Michiels, tempat peletakan batu pertama [tugu] yang dilakukan oleh Nyonya Arends," tulis De Sumatra Post edisi 23 Juli 1919. Tugu ini berbentuk menyerupai obelisk dan pada bagian atasnya terdapat bentuk bola.

Pada bagian atas tugu terdapat beberapa prasasti dengan berbagai tulisan. Eddy Suwardi dalam tesisnya juga mencatat ada tulisan "Ter herinnering aan het 1ste Congres van de Jong Sumatranen Bond 1919" di bagian atas tugu.

Selanjutnya, terdapat tanda tahun 1917 dan 1930. Tahun 1917 menunjukkan tahun pendirian Jong Sumatranen Bond, sedangkan tahun 1930 menunjukkan tahun berakhirnya keberadaan Jong Sumatranen Bond.

Setelah itu, terdapat beberapa perubahan pada tulisan-tulisan yang terdapat pada badan tugu yang dapat ditemui pada kondisi tugu yang sekarang. Tugu ini dianggap sebagai tugu pertama yang berhubungan dengan pergerakan pemuda di Indonesia. Kiwari tugu ini lebih dikenal dengan nama Tugu Jong Sumatranen Bond atau Tugu Pemoeda.

Baca juga artikel terkait PERGERAKAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Politik
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi