Menuju konten utama
Mozaik

Syeh Kilang Ceh Didong, Seniman Serba Bisa Asal Gayo

Riwayat seorang pembaru kesenian Didong khas Gayo yang memadukan musik, tari, dan pembacaan syair. Penampilan Syeh Kilang selalu ditunggu warga Gayo.

Syeh Kilang Ceh Didong, Seniman Serba Bisa Asal Gayo
Header Mozaik Syeh Kilang Ceh Didong. tirto.id/Tino

tirto.id - Bagi masyarakat Gayo, Aceh Tengah, Didong merupakan salah satu sarana hiburan utama yang cukup populer dan sudah mendarah daging. Didong terdiri dari musik, dan pembacaan syair yang memiliki makna beragam yang dibawakan oleh seorang Ceh.

Didong kerap dibawakan dengan lirik-lirik jenaka namun tetap sering kali berkisar pada ajaran agama, nilai-nilai moral, dan hubungan dalam masyarakat. Seorang Ceh juga harus memiliki suara merdu dan lincah dalam penyampaiannya.

Selain itu, pengetahuan mendalam tentang adat istiadat budaya dan lingkungan sangat penting bagi seorang Ceh untuk menampilkan pertunjukan. Lain itu, suara-suara yang berbeda seperti Tuk, Denang, Guk, dan Jangin berperan penting dalam menyampaikan emosi dalam pertunjukan.

Didong merupakan representasi dari nilai-nilai budaya Gayo, seperti rasa kekeluargaan, gotong royong, dan semangat pantang menyerah.

"Didong berasal dari sistem ide berupa suatu sistem nilai, norma, dan aturan-aturan yang keseluruhannya menjadi acuan yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya,” ujar Agung Suryo dalam Didong:Tradisi Lisan Masyarakat Gayo (2018:28) pada Buletin Haba.

Pertunjukan Didong selalu dinanti-nantikan dan menjadi hiburan yang digemari oleh semua kalangan usia.

Salah satu seniman asal Gayo yang cukup populer melestarikan seni ini adalah Syeh Kilang, juga dikenal sebagai Abdullah. Ia seniman serba bisa yang unggul dalam seni budaya Gayo tradisional dan modern, termasuk komposisi musik, permainan alat musik, menjahit, melukis, bahkan seni fotografi.

Ia berperan penting dalam merevitalisasi bentuk kesenian Didong tradisional Gayo, memperkenalkan aransemen musik modern, dan menciptakan alat musik baru untuk meningkatkan unsur ritmenya.

Gelar Karena Terampil

Syeh Kilang lahir pada tahun 1929 di Tanoh Gayo. Ia seniman serba bisa dan pembaharu seni Gayo. Syeh Kilang merupakan julukan masyarakat Gayo, berasal dari kata "Syeh" yang berarti terampil dan "Kilang yang berarti mesin jahit, mengingat ia adalah satu-satunya pemilik mesin jahit kala itu, serta kepiawaiannya dalam menjahit.

Ia mahir menjahit Kerawang Gayo, yaitu busana tradisional Gayo yang cukup rumit dan sering membuatkannya untuk para pemain Didong dan penari Gayo lainnya.

Seturut Muchtaruddin Ibrahim dalam Enskiplodi Tokoh Kebudayaan IV (1999:154) saat remaja ia kerap disapa Hesy, yang jika dibalik menjadi Syeh.

"Sedang nama yang diberikan oleh orang tuanya adalah Abdullah," lanjut Muchtaruddin.

Dia merupakan anak sulung dari empat bersaudara dan menikah dengan Sairah yang akhirnya dikaruniai 8 orang anak. Ketertarikannya pada musik dimulai setelah menyelesaikan pendidikannya di Vervolg School dan Perguruan Persatuan Murid-murid (PPM), serta belajar memainkan alat musik seperti biola, saksofon, dan gitar.

Warsa 1937 hingga 1942, Syeh Kilang bergabung dalam perkumpulan Ale Bunge dan mulai aktif dalam pelestarian Didong yang pada awalnya terbatas pada acara keagamaan. Namun olehnya, Didong diperluas hingga dikenal dalam berbagai upacara budaya seperti pernikahan dan festival panen.

Sebagai pembawa dongeng atau Ceh, ia menciptakan lagu dan syair Didong yang indah dan sarat makna dengan iringan musik modern, memperkaya khazanah seni musik Gayo. Beberapa karyanya yang cukup populer seperti Diang-diang Manang-manang (1959),Kayu Medang Sengit (1968), Bunge Kemang (1974), Ringkeli Bintang (1980), dan Bagah Tagisa (1985).

Syeh Kilang termasuk seorang Ceh Didong yang ulung. Beliau memiliki suara yang merdu dan mampu membawakan lagu Didong dengan penuh penghayatan. Penampilannya di atas panggung selalu memukau para penonton.

Lain itu, ia juga dianggap sebagai pembaharu dengan melakukan beberapa perubahan pada seni Didong. Salah satunya dengan penggunaan bantal kecil sebagai pengiring syair yang sebelumnya menggunakan tepukan tangan. Cara ini kemudian membuat pertunjukan lebih hidup dan makin meriah.

Didong lantas makin mengakar bagi masyarakat Gayo. Ia dianggap sebagai bentuk kesenian daerah yang memadukan sastra, pertunjukan vokal, dan seni tari yang berfungsi sebagai refleksi teatrikal tradisi Gayo. Umumnya dengan skenario tak tertulis yang memandu interaksi di atas panggung dan di luar panggung.

Peran Syeh Kilang dalam menata panggung pertunjukan juga kerap membuat decak kagum penonton. Pada Pekan Kebudayaan Aceh II yang berlangsung di Banda Aceh pada 1972, Kabupaten Aceh Tengah meraih juara umum dan berulang pada Pekan Kebudayaan Aceh III pada 1980.

Pada 2011, Didong bersama Tari Saman (Hayo), Kerajinan Rencong (Aceh Besar), Tari Seudati (Pidie), Kerawang Gayo (Aceh Tengah), dan Kupiah Riman (Pidie), ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Infografik Mozaik Syeh Kilang Ceh Didong

Infografik Mozaik Syeh Kilang Ceh Didong. tirto.id/Tino

Transisi ke Musik

Syeh Kilang merupakan kolektor berbagai alat musik, mulai dari biola, piano, saxopon, gitar, juga alat-alat musik tradisional. Ia tidak hanya terpaku pada satu alat musik atau aliran musik tertentu.

Karena itu setelah kelahiran anak pertamanya, Syeh Kilang mulai mengalihkan fokusnya ke dunia musik dan bergabung dengan beberapa grup musik. Anak pertamanya bernama Zul dan panggilan saudara dan kerabatnya ialah Aman Zul, yang berarti Bapaknya Zul. Namun di atas panggung, nama Syeh Kilang tetap nama yang kerap ditunggu penampilannya.

Pada periode 1962-1964, ia memilih salah satu di antara beberapa grup musik yang nantinya ia pimpin, yakni Orkes Malam Dewa, salah satu orkes paling tua di kota Takengon.

Dalam perjalanannya, Syeh Kilang memperkaya musik daerah dengan memasukkan lagu-lagu tradisional sebagai wujud kontribusi terhadap warisan budaya masyarakat Gayo. Ia juga mahir memainkan alat musik tradisional Gayo seperti Gegedem (kendang) dan Repa'i (rebana), dan ia menciptakan tari Munalo untuk acara-acara khusus penyambutan tamu atau pengantin.

"Saya mau menari kalau yang menabuh kendangnya Syeh Kilang, kalau yang menabuh orang lain saya menjadi enggan menari karena badan saya menjadi pegal," tutur Aman Rabu, seorang penari Guel ternama.

Syeh Kilang tidak hanya piawai memainkan alat musik tradisional Gayo, tetapi juga mahir dalam musik modern. Selama bertahun-tahun, ia membentuk beberapa grup musik, menunjukkan bakatnya dalam memainkan berbagai alat musik dan berkontribusi di dunia musik.

Pada tahun 1987, Syeh Kilang menciptakan alat musik melodi tangga nada diatonis bernama Gerantung, terbuat dari bambu atau kayu untuk kerbau. Kreasi inovatif ini kemudian mendapat pengakuan dari Gatra Kencana Kebudayaan Nasional oleh yang diselenggarakan TVRI Pusat Jakarta.

Bakat lain dari sosok Syeh Kilang ialah kepandaiannya dalam melukis dan fotografi. Karya-karyanya banyak menggambarkan keindahan alam dan budaya Gayo. Ia juga fotografer pribumi Gayo pertama pada tahun 1953 yang terkenal dengan kerendahan dan kemurahan hatinya.

Kemahirannya itu acapkali mendapat tantangan finansial karena rasa tidak enak dan sifat kekeluargaan masyarakat Gayo yang mengakibatkan kurangnya pemasukan dari orang-orang sekitarnya. Terkadang ia harus rela foto hasil jepretannya tidak dibayar atau diutang dulu sebab ia kenal dengan kliennya.

Meski begitu karya fotografinya memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat Gayo.

Syeh Kilang meninggalkan warisan abadi dalam musik dan budaya Gayo. Kontribusinya terhadap pencapaian budaya dan warisan musik masyarakat terus diakui bahkan setelah kematiannya pada 3 Juni 1990.

Baca juga artikel terkait GAYO atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Artikel Terkait