tirto.id - Pembicaraan soal Perjanjian Giyanti atau Perang Mangkubumen yang meletus kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu di Tanah Jawa, setidak-tidaknya pada banyak historiografi senantiasa berporos pada tiga tokoh kunci.
Mereka adalah Raden Mas Said atau yang di kemudian hari bergelar Pangeran Mangkunegara I, Pangeran Mangkubumi yang nantinya bergelar Sultan Hamengku Buwana I, dan Susuhunan Pakubuwana II yang bertakhta di Keraton Surakarta.
Satu dari tiga poros utama itu bahkan secara panjang lebar ditulis dalam magnum opus sejarawan Merle C. Ricklefs, yakni Sambernyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Nasional Indonesia Pangeran Mangkunegara I (1726-1795) (2021).
Pada buku itu ditemukan beberapa tokoh-tokoh “kecil” tetapi signifikan perannya selama periode Giyanti. Salah satunya adalah Pangeran Tirtakusuma.
Pangeran yang dalam banyak sumber filologis Jawa disebut sebagai Pangeran Pancuran ini memang tidak sering disinggung oleh Ricklefs, namun santer sekali disebut dalam teks babad. Nasib pangeran yang hampir menjadi penguasa Kerajaan Mataram Islam ini memang bisa dibilang unik.
Raden Mas Ngali
Menurut Babad Panambangan, Tirtakusuma bernama asli Raden Mas Ngali. Ia merupakan anak dari Pangeran Mangkunegara Sepuh—putra Sunan Amangkurat IV—dari perkawinannya dengan seorang Putri Madura bernama Raden Ayu Rana Asmara.
Mas Ngali adalah anak sulung laki-laki dari Pangeran Mangkunegara Sepuh, ia kakak beda ibu dari Raden Mas Said. Kedudukan Mas Said dalam jalan kehidupan Mas Ngali begitu penting, bahkan kelahiran Mas Said bisa dianggap kunci dari pintu jalan berliku nasib Mas Ngali.
Sekitar tahun 1728, Pangeran Mangkunegara Sepuh baru saja kehilangan istri tercinta, R.A. Wulan (ibu R.M. Said) yang membuatnya terjerat dalam kemurungan.
Peristiwa itu berdekatan waktunya dengan kenaikan takhta Sunan Pakubuwana II yang merasa terancam dengan kehadiran Pangeran Mangkunegara Sepuh yang dikenal karismatik dan dicintai rakyat.
Karena takut mengganggu stabilitas takhtanya, Sunan Pakubuwana II dan Patih Danureja menyusun siasat untuk menjebak Pangeran Mangkunegara Sepuh dengan memanfaatkan kesedihannya. Siasat di itu adalah berupa fitnah bahwa Pangeran Mangkunegara Sepuh telah menggoda salah satu selir Sunan Pakubuwana II.
Singkat cerita, sang sunan pun meminta pada VOC agar Pangeran Mangkunegara Sepuh diasingkan ke luar Pulau Jawa, tapi tidak langsung disetujui oleh Kompeni.
Sebagai jalan tengah, Pangeran Mangkunegara Sepuh diasingkan ke Batavia sebagai tahanan rumah VOC. Ia hanya diizinkan membawa seorang istri, seorang anak laki-laki, dan beberapa pengikut. Atas dasar persyaratan itu, maka Mas Ngali yang merupakan anak tertua akhirnya ikut diboyong ke Batavia untuk menemani ayahnya di pengasingan pada 1728.
Sejak saat itu Mas Ngali muda harus terpisah dari saudara-saudaranya yang masih tinggal di Kartasura dan hidup sendiri untuk mengabdi pada ayahnya. Nasib buruk kembali menghampiri Mas Ngali, karena tidak berapa lama Pangeran Mangkunegara Sepuh kemudian buang ke Sri Lanka sedangkan ia diminta untuk tetap di Batavia.
Pangeran remaja yang kemudian berubah nama menjadi Tirtakusuma itu oleh VOC kemudian ditempatkan di sebuah rumah di selatan Batavia, yakni di daerah bernama Pancuran. Tempat inilah yang kemudian sampai sekarang dikenal sebagai Pancoran, tempat bertenggernya patung Dirgantara di Jakarta Selatan.
Upaya Kembali dan Menetap di Semarang
Pangeran Tirtakusuma tidak pernah benar-benar nyaman tinggal di Pancoran, ia beberapa kali diketahui mencoba untuk kembali ke kampung halamannya. Keinginan Tirtakusuma untuk kembali ke Kerajaan Mataram di kemudian hari dimanfaatkan oleh VOC untuk mengintervensi dunia politik kerajaan tersebut.
Sumbu awal dari eksploitasi VOC terhadap Pangeran Tirtakusuma adalah peristiwa perjanjian VOC dengan Kerajaan Mataram pada tahun 1743. Disebutkan bahwa ketika itu VOC memberi tawaran bantuan terhadap Sunan Pakubuwana II yang keratonnya berhasil direbut oleh pemberontak.
Menurut D.W. Nurhajarini dkk. dalam Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (1999), bantuan itu akan diberikan kalau Pakubuwana II mau menyerahkan wilayah pesisir utara Jawa Timur pada VOC. Tawaran ini rupanya semacam jebakan, VOC mengharapkan Pakubuwana II menolak tawaran itu dan hal tersebut bisa dijadikan alasan VOC untuk menurunkan Pakubuwana II dari takhta.
Jika Pakubuwana II berhasil dimakzulkan, mereka berencana mendudukan Tirtakusuma di atas puing-puing takhta Mataram yang VOC anggap ideal menjadi raja boneka. Namun, di luar dugaan Pakubuwana II yang putus asa malah setuju dengan tawaran itu dan Tirtakusuma gagal untuk kembali ke Mataram sebagai susuhunan baru.
Setelah ditekennya perjanjian antara VOC dan Mataram (kemudian disebut Perjanjian Panaraga), Tirtakusuma secara aktif berkirim surat dengan Raden Mas Said yang rupanya juga terlibat dalam pemberontakan Geger Pacinan.
Menurut Babad Giyanti dan Babad Panambangan, Tirtakusuma berkali-kali meminta pada adiknya untuk mau mengalah dan berhenti memberontak melawan Kerajaan Mataram serta Kompeni. Sebagaimana diungkap oleh Riclefs (2021), tendensi Tirtakusuma yang dekat dengan adiknya ini juga dimanfaatkan oleh VOC.
VOC kerap mengirimkan surat negosiasi kepada R.M. Said dengan menyertakan surat pribadi Pangeran Tirtakusuma. Puncak dari siasat VOC itu terjadi pada 11 Mei 1753, yakni sewaktu VOC berupaya mengembalikan jenazah Pangeran Mangkunegara Sepuh—yang rupanya sudah meninggal di pengasingannya—untuk diserahkan pada R.M. Said. Dalam iring-iringan jenazah itu, Pangeran Tirtakusuma juga diikutsertakan sebagai “mahar” negosiasi.
Negosiasi berlangsung di Semarang, perwakilan R.M. Said telah menunggu rombongan VOC. Selama negosiasi berlangsung, R.M. Said bersikukuh agar dirinya dijadikan sebagai Raja Mataram. Ia juga mensyaratkan agar jenazah ayahnya beserta kakaknya Tirtakusuma segera dikembalikan pada dirinya.
Dari ketiga persyaratan itu, hanya pengembalian jenazah yang dipenuhi oleh VOC. Lantas mengapa VOC tidak memperbolehkan Tirtakusuma untuk pulang dan tinggal bersama adiknya? Alasannya ternyata karena sang pangeran sendiri yang menolak untuk bergabung dengan R.M. Said dan ingin tinggal di Semarang selamanya.
Walau alasan keengganan Tirtakusuma ini menurut Ricklefs menunjukan tendensi keberpihakan Tirtakusuma pada VOC, keterangan Babad Giyanti justru berkata lain.
Menurut babad itu, mengutip dari salah satu surat yang pernah Tirtakusuma kirim pada R.M. Said, ia pernah mengatakan “aja kongsi apêpanggih iya lawan Kumpêni bok dhèwèke kênèng apus, aja kèh kaya ingwang wus kadluwuk nèng Kumpêni”, kurang lebih artinya “jangan mau bertemu (bernegosiasi) dengan Kompeni, jangan seperti diriku yang dibohongi, jangan sepertiku yang telah disihir oleh kompeni”.
Jelas bahwa Tirtakusuma masih berpihak pada R.M. Said dan berusaha menjaga jarak dengan adiknya demi kelancaran pemberontakan adiknya. Seperti sudah ditakdirkan, empat tahun setelah kepindahan Tirtakusuma ke Semarang, R.M. Said berhasil naik takhta menjadi Adipati Arya Mangkunegara I dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Ketika sang adik telah mencapai puncak keberhasilan, Tirtakusuma justru tidak bisa ikut menikmatinya karena terlebih dahulu wafat di Semarang beberapa tahun sebelumnya.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi