Menuju konten utama
Mozaik

Operasi Postmaster: Misi Rahasia di Balik Film Baru Guy Ritchie

Cerita Gus March-Phillips, satuan operasi rahasia, dan sabotase yang menjadi inspirasi film Ministry of Ungentlemanly Warfare.

Operasi Postmaster: Misi Rahasia di Balik Film Baru Guy Ritchie
Header Mozaik Operation Postmaster. tirto.id/Tino

tirto.id - "Oh Lord, when my time is near, let the god in me rise up and break." - Gus March-Phillips.

Gus March-Phillips tahu persis bagaimana dia menjalani hidup. Baginya, rasa takut adalah omong kosong. Risiko bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. Dan untuk segala bravado yang dia pamerkan ke kanan-kiri, March-Phillips tahu bahwa itu semua dilakukannya semata-mata untuk Tuhan dan Rajanya.

Lahir pada 1908, March-Phillips sudah berpulang saat usianya baru menginjak 34 tahun. Di sebuah pesisir Prancis, dia dijemput oleh Malaikat Maut yang hadir dalam wujud berondongan senapan serdadu Jerman.

Kala itu, dia salah melakukan pendaratan. Sebagai konsekuensinya, March-Phillips bersama sebelas orang sekondannya terpaksa harus menghadapi satu divisi infanteri bersenjata lengkap. Saat hendak melarikan diri dengan cara berenang, tubuh March-Phillips koyak dihantam ratusan pelor dari senapan tentara musuh.

Usianya memang pendek, tapi nama March-Phillips abadi di buku sejarah, bahkan sebelum kematiannya. March-Phillips wafat pada 12 September 1942. Delapan bulan sebelumnya, dia sukses memimpin sebuah misi berkode nama Operation Postmaster—sebuah operasi militer skala kecil yang ikut membantu pasukan Sekutu memenangi Perang Dunia II.

Pasukan Khusus Winston Churchill

Ketika Perang Dunia II dimulai, pemerintahan Inggris dikendalikan oleh Perdana Menteri (PM) Neville Chamberlain. Namun, berbagai kegagalan yang dialami Inggris dalam perang menunjukkan bahwa Chamberlain bukan figur yang tepat untuk memimpin pemerintahan di masa perang.

Sosok yang menggantikan Chamberlain, Winston Churchill, pun sebetulnya tak punya rekam jejak bagus. Pada Perang Dunia I, Churchill bertanggung jawab atas kekalahan pasukan Inggris di Dardanella dan Gallipoli. Meski demikian, rentetan kegagalan tiga dasawarsa sebelumnya itu mengubah Churchill. "Segala yang terjadi padaku di masa lalu mempersiapkanku untuk menghadapi masa penuh cobaan ini," tulis Churchill tak lama setelah ditunjuk menjadi PM pada 1940.

Salah satu langkah pertama Churchill untuk memenangi perang adalah membentuk Special Operations Executive (SOE) untuk menjalankan misi rahasia di wilayah-wilayah yang dikuasai Nazi Jerman. Pembentukannya pun dilakukan dengan ekstra rahasia. Bahkan, menurut laporan National Geographic, saking rahasianya, para sekutu Britania Raya pun tidak mengetahui eksistensi satuan ini.

SOE dibentuk Churchill dengan menggabungkan tiga satuan operasi klandestin. Mereka yang terlibat dalam SOE pun kemudian diberi perintah oleh Churchill untuk "membakar Eropa." Total, ada sekitar 13.000 agen SOE yang diterjunkan ke wilayah perang. Para agen ini dilengkapi dengan beragam peralatan mata-mata spesial untuk menjalankan tugasnya.

Ada sepatu yang didesain untuk meninggalkan jejak palsu, radio yang terlihat seperti koper, pistol berperdam, senjata api berukuran kecil yang bisa disembunyikan dalam lengan baju, dan berbagai bahan peledak. Para agen SOE juga dilengkapi dengan identitas palsu—persis seperti gambaran mata-mata yang biasa kita lihat di film-film.

Kerahasiaan itulah yang kemudian membuat Churchill memberi nama tak resmi "Ministry of Ungentlemanly Warfare" kepada SOE. Sebab, tugas para agen rahasia ini memang tidak biasa dan sangat menekankan pada upaya tipu daya. Ada yang bertugas menjalin kontak dengan kelompok pemberontak, membangun jaringan radio, menghancurkan pabrik senjata, serta mencuri kapal.

Tugas mencuri kapal itu pernah dibebankan pada sebuah satuan super elite bernama No. 62 Commando atau Small Scale Raiding Force (SSRF) pada awal 1942. Operasi inilah yang diberi nama Operasi Postmaster.

Jika unit komando SOE lain beranggota sampai lebih dari 400 orang, SSRF hanya berisi 55 orang. Pemimpin dari unit komando ini tak lain adalah Mayor Gustavus Henry March-Phillips. March-Phillips sendiri ikut terjun dalam Operation Postmaster. Dia memimpin operasi ini bersama seorang serdadu asal Denmark bernama Anders Lassen.

Ceritanya, pada awal 1942 itu, intelijen Britania Raya mendapat informasi bahwa ada tiga kapal di Afrika yang digunakan untuk menyelundupkan senjata ke pasukan Poros (beranggotakan Jerman dan Italia di Eropa dan Jepang di Teater Pasifik). Ketiga kapal itu masing-masing adalah kapal niaga Duchessa d'Aosta berbendera Italia serta kapal tunda Likomba dan tongkang Bibundi yang sama-sama berbendera Jerman.

Ketika informasi didapatkan, ketiga kapal tersebut tengah berlabuh di Pulau Fernando Po di bagian barat Afrika. Pulau itu sendiri saat ini masuk ke dalam wilayah Guinea Khatulistiwa dan namanya telah diganti menjadi Pulau Bioko. Pulau tersebut, pada masa Perang Dunia II, dianggap punya lokasi strategis. Ada sekitar 500 pasukan yang berjaga di sana dengan dilengkapi selusin meriam berukuran empat inci.

Pulau itu sebenarnya dikuasai oleh Spanyol. Negeri Matador itu secara resmi memang bersikap netral pada Perang Dunia II. Namun, pemimpin Spanyol kala itu, Jenderal Francisco Franco, berhaluan fasis, sama seperti Jerman, Italia, dan Jepang. Oleh karena itu, secara teknis, Pulau Fernando Po adalah teritori musuh.

Misi Britania Raya sebenarnya sederhana: menyabotase tiga kapal penyelundup di Fernando Po sehingga tidak lagi bisa digunakan. Namun, status netral Spanyol menimbulkan kompleksitas tersendiri. Sesuai Konvensi Den Haag, negara netral seperti Spanyol memang tidak boleh diserang. Artinya, harus dicari cara lain supaya kapal-kapal itu dapat "dinetralkan" tanpa harus melancarkan serangan terbuka ke Fernando Po.

Di tengah situasi kompleks itulah No. 62 Commando mengambil peranan. Mereka berlayar dari Dorset ke Fernando Po dengan sebuah kapal corvette yang disulap seolah-olah itu merupakan kapal pesiar. Nama kapal itu Maid Honour dan di tiangnya berkibar bendera Swedia.

Mirip cerita film, ketika para agen rahasia itu tiba di Fernando Po, hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari kesenangan. Salah satu agen, Richard Lippett, berhasil membujuk istri dari seorang Jerman di sana untuk menggelar pesta bagi para tentara Poros di pulau tersebut.

Singkat cerita, pesta pun digelar. Alkohol mengalir tanpa henti. Para tentara Poros mabuk berat. Di tengah-tengah pesta, agen-agen rahasia No. 62 Commando bergerak cepat. March-Phillips, Lassen, dan kawan-kawan segera menyiapkan bahan peledak untuk meledakkan jangkar yang menahan kapal di pelabuhan.

Infografik Mozaik Operation Postmaster

Infografik Mozaik Operation Postmaster. tirto.id/Tino

Para agen No. 62 Commando itu masing-masing dibekali dengan pil bunuh diri (yang mereka sebut "komuni suci") yang akan mereka telan bersama-sama seandainya misi tidak berjalan sesuai rencana. Namun, pil itu tak pernah mereka konsumsi karena Operasi Postmaster berjalan amat sangat mulus.

Para kru kapal tak memberi perlawanan apa pun. Mereka dengan mudah diamankan dan kapal-kapal pun bisa dilayarkan ke Lagos, Nigeria, tanpa hambatan berarti. Mengapa kapal-kapal itu diarahkan ke Lagos? Karena waktu itu Nigeria masih menjadi bagian dari Britania Raya.

Meski tanpa hambatan berarti, diperlukan sebuah tipu daya lain agar kapal-kapal itu bisa dibawa ke Lagos. Ceritanya, setelah kapal-kapal itu hilang dari Fernando Po, Jerman langsung menuduh pasukan Sekutu telah melancarkan sebuah operasi di wilayah Spanyol. SOE pun dengan segera mengeluarkan kontra-narasi yang ditulis oleh Ian Fleming. Ya, Ian Fleming yang juga pengarang novel-novel James Bond itu.

Fleming menulis pernyataan resmi yang isinya kurang lebih seperti ini: "Menanggapi tuduhan Jerman bahwa angkatan laut Sekutu telah menjalankan operasi terhadap kapal-kapal Poros di pelabuhan Santa Isabel di Pulau Fernando Po milik Spanyol, Angkatan Laut Britania Raya merasa perlu menegaskan bahwa tidak ada satu kapal pun milik Britania maupun Sekutu yang ada di wilayah Fernando Po pada saat insiden itu disebut terjadi.

Meski demikian, berkat informasi yang didapat dari siaran berita Jerman, Britania telah mengirimkan kapal ke area yang dimaksud.

Kami mendapat laporan bahwa sebuah kapal besar yang tidak teridentifikasi telah terlihat dan kapal-kapal Britania saat ini sedang menginvestigasinya."

Pernyataan itu kemudian diterbitkan oleh berbagai media di Britania, termasuk Daily Mail dan menjadi versi resmi dari Operasi Postmaster.

Saat itu, Britania memang mengirim sebuah kapal destroyer bernama HMS Violet ke lokasi tiga kapal yang sukses dibajak oleh para agen rahasia No. 62 Commando. Namun, HMS Violet tentu saja tidak menginvestigasi kapal-kapal itu, melainkan mengawalnya sampai ke Lagos. Adapun, para pelaut Italia dan Jerman yang ada di kapal disebut telah melarikan diri.

Keberhasilan Operasi Postmaster, yang merupakan misi kedua dari SSRF atau No. 62 Commando, membuat Churchill girang bukan kepalang. March-Phillips dan Lassen kemudian mendapat berbagai penghargaan. March-Phillips mendapat gelar MBE, sementara Lassen (yang wafat pada 1945) diberi gelar Victoria Cross.

Namun, penghargaan “terbesar” bagi March-Phillips barangkali adalah yang diberikan oleh Fleming dengan menjadikannya sebagai inspirasi untuk tokoh James Bond.

Pada 2014, seorang penulis bernama Damien Lewis menceritakan detail dari Operasi Postmaster dalam sebuah buku berjudul Ministry of Ungentlemanly Warfare: How Churchill's Secret Warriors Set Europe Ablaze and Gave Birth to Modern Black Ops. Buku ini kemudian diadaptasi menjadi film oleh sutradara beken Guy Ritchie.

Film berjudul Ministry of Ungentlemanly Warfare itu dibintangi oleh Henry Cavill yang berperan menjadi Gus March Phillips dan Alan Ritchson yang memerankan Anders Lassen. Meski didasarkan pada kisah nyata, film ini diberi banyak bumbu aksi dan komedi layaknya film-film Guy Ritchie pada umumnya. Film ini sudah lulus sensor dan seharusnya, tak lama lagi, ia sudah bisa disaksikan di bioskop-bioskop di Indonesia.

Baca juga artikel terkait INGGRIS atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi